Liputan6.com, Jakarta - Indonesia dan Maladewa memang terpisah jarak lebih dari 4.500 kilometer. Tapi siapa sangka, di negara yang terkenal dengan destinasi bulan madu itu saya bisa menemukan 'Indonesia'.
Kesempatan itu terjadi saat saya bersama rombongan diundang Maldives Marketing and Public Relations Corporation berkunjung pada akhir Juni 2022. Salah satu titik perhentian kami adalah resor bernama Pullman Maamutaa Maldives Resort yang berada di Pulau Maamutaa, selatan Maladewa.
Baca Juga
Advertisement
Berawal dari percakapan tak sengaja, kami dipertemukan dengan seorang koki asli Karangasem, Bali, I Wayan Bayu Wibisono. Ia bertugas sebagai Chef Departy di Pat Chameleon, restoran yang spesialis menyajikan hidangan berbasis nabati di resor tersebut.
"Kebetulan saya diajak Bu Nyoman kerja di sini," ujar Wayan, saat itu. Nama dimaksud adalah Executive Chef hotel tersebut. Ia perempuan asli Bali dan menjadi satu-satunya orang Indonesia yang duduk di jajaran top management.
Wayan pindah ke Maladewa sekitar sembilan bulan lalu. Ia sengaja pindah ke negeri kepulauan itu setelah hotel tempatnya bekerja di Bali, ikut terimbas pandemi Covid-19. Berbekal pengalaman karir di berbagai tempat, ia pun diterima.
Di restoran itu, ia bertanggung jawab memastikan kualitas makanan yang disajikan. Posisinya juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan cita rasa Indonesia kepada tamu yang mayoritas dari luar Maladewa. Tempe, salah satunya. Sumber protein asli Indonesia itu diolah menjadi hidangan fusion. Terlebih, tempe lagi naik daun sebagai sumber protein nabati untuk mereka yang vegetarian atau vegan.
"Kita buat tempenya sendiri di sini, tapi kedelainya kita impor," ia menjelaskan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rempah Indonesia
Bila sedang istirahat, ia juga memanfaatkannya untuk mengenalkan hidangan Indonesia kepada rekan-rekan kerjanya di dapur. Ia pernah membuatkan lawar untuk mereka yang ternyata disukai.
"Justru mereka senang dengan taste kita. Kita kan banyak rempah-rempahnya. Rempahnya didatangkan dari Indonesia," kata dia.
Hari berikutnya, saya mendapati masakan Indonesia terhidang di buffet Restoran Melange, masih di resor yang sama. Masakan bertuliskan Ayam Bakar itu menjadi konter makanan Asia untuk menu sarapan para tamu. Tak hanya itu, saya juga menemukan orang Indonesia yang bertugas di dapur restoran tersebut.
Freddy Novalny Risany, pria asal Surabaya yang berlatar belakang sebagai akuntan. Ia sudah pernah bekerja di berbagai tempat di Indonesia, termasuk Batam dan Jakarta, sebelum akhirnya mendarat di Maladewa sejak sebelum resor itu dibuka pada Agustus 2019.
"Ini negara asing saya pertama," kata Freddy.
Ia menyebut makanan Indonesia pada dasarnya mudah diterima oleh lidah asing karena paletnya kaya. Itu karena beragam rempah yang digunakan di dalamnya. Dengan keberadaan orang Indonesia di sana, sedikit demi sedikit makanan Indonesia juga diperkenalkan kepada tamu asing.
"Kita infuse sedikit-sedikit dengan presentasi bintang lima," ucapnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Menantang
Bukan hal mudah menyajikan makanan Indonesia di luar negeri. Salah satunya faktor bumbu. Menurut Freddy, mendatangkan bahan ke resor di lokasi terpencil membutuhkan biaya tinggi.
"Mahal di transport. Kalau untuk satu barang kuantitas kecil, enggak kepake yang lain, sayang," ujarnya.
Karena itu, mereka hanya bisa mendatangkan bahan baku yang diperkirakan akan dipakai oleh semua outlet. Kedelai sebagai bahan baku tempe, contohnya. Pihak hotel mendatangkan dari Male, ibu kota Maladewa, karena dipastikan akan bisa dipakai untuk menu lainnya.
"Male sendiri enggak ada pertanian. Tanahnya kan berpasir. Enggak bisa untuk bercocok tanam. Jadi, sebenarnya mereka juga impor, entah dari mana," kata Freddy.
Cerita Freddy dan Wayan membuktikan bahwa makanan Indonesia punya potensi mendunia. Namun, soal bahan baku menjadi pekerjaan rumah utama yang terus dibenahi pemerintah, terlebih setelah meluncurkan gerakan multisektoral Indonesia Spice Up The World pada tahun lalu.
Pemerintah menargetkan 4.000 restoran Indonesia di seluruh dunia bisa bergabung dalam jaringan Indonesia Spice Up The World hingga 2024, baik yang sudah eksis maupun baru akan diisiniasi. Di samping, ekspor bumbu dan rempah ditargetkan akan meningkat hingga 2 miliar dolar AS pada 2024.
Tren Positif
Berdasarkan data Kemenparekraf, ekspor bumbu/rempah olahan dan komoditas/rempah segar Indonesia mengalami tren positif dengan rata-rata pertumbuhan 2,95 persen selama lima tahun terakhir. Hingga 2020 saja, nilai ekspor komoditas itu tercatat sejumlah 1,02 miliar dolar AS atau Rp14 triliun.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno menjelaskan, jenis-jenis bumbu yang akan dipromosikan adalah rendang, nasi goreng, satai, soto, gado-gado, serta bumbu pendukung lainnya seperti kecap manis dan kacang tanah. Sementara, rempah prioritas untuk ekspor adalah lada, pala, cengkeh, jahe, kayu manis, dan vanilla.
AS merupakan 20--25 persen pasar ekspor rempah-rempah Indonesia, dengan pasar terbesar adalah restoran. Karena itu, New York dipilih sebagai lokasi pertama peluncuran kampanye tersebut lantaran memiliki ikatan sejarah dengan Pulau Rhun di Maluku dengan Manhattan, New York. Kedua pulau itu jadi objek penukaran antara Belanda dan Inggris dalam persaingan menguasai jalur rempah-rempah.
Dalam pertemuan kementerian dan diaspora Indonesia pada pertengahan 2021 lalu, menurut Sandiaga, banyak warga dan diaspora Indonesia yang tertarik untuk membuka restoran Indonesia di tempatnya masing-masing. Hanya saja, mereka terkendala pemodalan. Untuk itu, Indonesia menawarkan bantuan permodalan.
"Pembiayaannya akan merangkul baik BNI maupun lembaga pembiayaan ekspor Indonesia. Teman-teman yang sudah jalan dan ingin kembangkan usahanya, tetapi butuh pendanaan, kita akan mudahkan," ujar Sandiaga.
Advertisement