Liputan6.com, Jakarta Merokok sudah lama terkenal dengan dampak buruknya pada kesehatan. Kini, negara tetangga Malaysia tengah merencanakan larangan merokok melalui RUU yang sedang digodok untuk mengurangi risiko kanker pada masyarakatnya.
Inisiatif dari Kementerian Kesehatan Malaysia tersebut tertuang dalam RUU Pengendalian Tembakau dan Merokok 2022, yang berisi larangan untuk penjualan tembakau dan produk terkait terutama bagi mereka yang lahir pada tahun 2007 keatas.
Advertisement
Upaya ini dijuluki dengan Generational Endgame (GEG) dan diajukan pada pihak majelis pada Rabu, 27 Juli 2022 dan dibacakan pertama kali oleh Menteri Kesehatan Malaysia, Khairy Jamaluddin.
Pembacaan RUU kedua dan ketiga juga telah dilakukan pada Senin, 1 Agustus 2022. Jika para anggota parlemen menyetujui RUU tersebut, maka Malaysia akan menjadi negara kedua di dunia yang memberlakukan undang-undang berkaitan dengan rokok, setelah Selandia Baru (New Zealand).
Dalam sebuah unggahannya di laman Twitter, Khairy mengungkapkan bahwa Malaysia harus menghabiskan sekitar 1,4 miliar USD pada tahun 2020 untuk mengobati tiga penyakit yang disebabkan oleh rokok. Ketiganya adalah kanker paru-paru, penyakit jantung, dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
Biaya tersebut kemudian diperkirakan akan meningkat menjadi 8,8 miliar RM pada tahun 2030 mendatang. Padahal, pajak yang dikumpulkan dari industri tembakau per tahunnya hanya sekitar 3 miliar RM.
"6 miliar RM untuk dirawat dan 3 miliar RM pendapatan dari pajak. Coba lakukan perhitungan matematika. Negara ini menderita kerugian besar," ujar Khairy dikutip Channel News Asia pada Senin, (8/8/2022).
Kerugian Akibat Rokok Elektrik (Vape)
Lebih lanjut Khairy mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami penyakit paru-paru akibat rokok elektrik atau vape juga menghabiskan sekitar 150 ribu RM selama 12 hari perawatan di rumah sakit.
Salah satu yang menjadi korban akibat rokok adalah Syamsul Rizal Ramli. Pria berusia 46 tahun tersebut kehilangan kotak suaranya akibat rokok usai didiagnosis mengalami kanker laring stadium tiga.
Kanker laring merupakan kanker yang tumbuh di laring atau kotak suara manusia. Akibatnya, Syamsul harus mengganti kotak suaranya setiap satu hingga dua tahun sekali untuk mencegah risiko infeksi.
"Alat itu selalu mengingatkan saya akan kesalahan saya dengan rokok. Ini adalah pelajaran bahwa bahaya merokok itu nyata dan sangat mengerikan," ujar Syamsul.
Kini, Syamsul pun masih belum bisa berbicara karena baru pulih usai operasi. Syamsul mengungkapkan bahwa ada pilihan alat lain yang bisa membuatnya tidak perlu gonta-ganti dan melakukan operasi untuk suaranya.
"Saya menggunakan perangkat lain yang disebut electrolarynx yang cenderung tidak rusak dan tidak perlu sering diubah, tetapi Anda akan terdengar seperti robot. Dengan prostesis, Anda terdengar lebih manusiawi," kata Syamsul.
Advertisement
Sudah Merokok Sejak Usia 15 Tahun
Syamsul mengungkapkan bahwa dirinya pertama kali mencoba rokok pada usia 15 tahun dan menjadi perokok rutin saat mulai bekerja. Sejak saat itu, kebiasaannya untuk merokok tumbuh hingga dirinya mengonsumsi tiga bungkus rokok per hari.
Ia pun bukan tidak pernah berupaya berhenti merokok. Pada tahun 2009 lalu, Syamsul pernah berhenti merokok. Namun tak lama, ia kembali karena tidak tahan untuk menghisap rokok sampai akhirnya diagnosis kankernya muncul.
"Saya berhenti bukan karena kemauan, tapi karena penyakit," ujar Syamsul.
Alhasil, sebagai penyintas kanker, Syamsul pun mendukung upaya Kementerian Kesehatan Malaysia tersebut untuk meresmikan RUU yang berkaitan dengan rokok.
Dilawan oleh Industri Tembakau
RUU yang tengah direncanakan ini didukung oleh para kelompok kesehatan. Namun, pihak industri tembakau masih berupaya untuk tidak menyetujuinya. Salah satunya oleh managign director British American Tobacco (Malaysia) Bhd, Nedal Salem.
Menurutnya, larangan yang diusulkan tersebut merupakan larangan yang belum pernah diuji di dunia nyata. Dia mengatakan kebijakan yang diusulkan tidak memiliki bukti ilmiah tentang efektivitas dan kemungkinan akan merugikan agenda kesehatan negara.
"Larangan itu akan memicu pasar tembakau ilegal, yang sudah menyumbang hampir 60 persen dari tembakau yang dijual di Malaysia, dan karenanya akan memiliki konsekuensi negatif bagi kesehatan masyarakat," ujar Nedal.
Beberapa pemain industri vape mengatakan mereka menentang larangan vaping bagi mereka yang lahir setelah tahun 2007. Rizani Zakari, presiden dari Malaysian Vape Industry Advocacy (MVIA) mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut tidak boleh diterapkan dengan tergesa-gesa karena banyak yang bingung tentang hal itu.
“Banyak yang tidak mengikuti sesi dengan Menkes belakangan ini tidak setuju dengan kebijakan GEG, khususnya pengusaha kecil dan menengah di industri vape. Hal ini perlu dikaji ulang karena akan berdampak pada pengusaha lokal,” kata Rizani.
Advertisement