Mengenal 5 Pahlawan Nasional Muslim Masa Perjuangan Kemerdekaan Indonesia

Sebentar lagi kita akan memperingati HUT kemerdekaan RI yang ke 77. Tentunya kemerdekaan yang kita capai saat ini tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa perjuangan para pahlawan nasional yang tak kenal lelah dan menyerah.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Agu 2022, 18:30 WIB
Presiden Joko Widodo (kiri) dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin (kanan) melihat-lihat foto Pahlawan Nasional di Istana Negara, Jakarta, Jumat (8/11/2019). Jokowi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada 6 tokoh yang dianggap berjasa untuk Indonesia. (Foto: Lukas-Biro Pers Sekretariat Presiden)

Liputan6.com, Banyumas - Sebentar lagi kita akan memperingati HUT kemerdekaan ke-76 RI. Tentunya kemerdekaan yang kita capai saat ini tidak bisa dilepaskan dari jasa-jasa perjuangan para pahlawan nasional yang tak kenal lelah dan menyerah. 

Untuk merebut negeri Indonesia tercinta dari penjajah dibutuhkan keberanian dan pengorbanan yang sangat besar. Sebab bukan hanya pengorbanan harta benda yang dilakukan, akan tetapi juga nyawa.

Mengutip Buku Ensiklopedia Pahlawan Nasional yang diterbitkan Dirjen Kebudayaan tahun 1995, berikut ini nama-nama pahlawan muslim Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia:

1. Sultan Agung

Sultan Agung Anyokrokusumo lahir tahun 1591 di Yogyakarta. Ia adalah cucu dari Sutawijaya atau yang lebih dikenal dengan Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram.

Sejak tahun 1613 Sultan Agung berkuasa di kerajaan Mataram dengan keagungan dan kebijaksanaannya ia berusaha mempersatukan seluruh Jawa. Wawasannya tidak terbatas pada bidang politik dan ekonomi tetapi juga pada bidang kebudayaan yang luas dan menjangkau jauh ke depan.Sultan Agung merupakan putra Indonesia pertamayang menyerang Belanda secara teratur dan besarbesaran.

Ketika itu kompeni Belanda telah menguasai beberapa daerah di Indonesia, antara lain Batavia. Hak monopoli dagang yang dituntut Belanda sangat bertentangan dengan pendirian Sultan Agung, apalagi setelah Belanda mengadakan perampokan di Bandar Jepara.

Pertentangan ini semakin meruncing, sehingga peperangan tak dapat dihindarkan lagi. Dua kali serangan dilakukan oleh pasukan Mataram ke Batavia.

Setelah serangan pertama tahun 1628 mengalami kegagalan, maka Sultan Agung menyiapkan serangan keduanya, Persiapan dilakukan dengan teliti dan seksama dan serangan kedua dimulai pada 22 Agustus 1629 dan sasarannya benteng-benteng Belanda antara lain Pare,Holland,Robijn, dan Safier dan Diamant.

Namun serangan kedua inipun gagal. Sultan Agung wafat 1645. Ia adalah seorang yang anti penjajah dan penganut agama Islam yang taat.

2. Sultan Hasanuddin

Sultan Hasanuddin lahir pada tahun 1631 di Ujung Pandang. Ia putera kedua Sultan Malikusaid, Raja Gowa ke-15.

Sultan Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa,ketika Belanda sedang berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Gowa merupakan kerajaanbesar di wilayah Timur Indonesia yang menguasailalu Untas perdagangan.

Pada tahun 1666 dibawah pimpinan Cornelis Speelman Belanda berusaha menundukkan kerajaankerajaan kecil, tapi belum berhasil menundukkan Gowa. Pertempuran terus berlangsung, sehingga Gowa semakin lemah dan tanggal 18 November 1667 bersedia mengadakan perdamaian Bongaya.

Gowa merasa dirugikan karena itu Sultan Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Belanda (dibawah pimpinan Speelman) minta bantuan tentara ke Batavia.

Akibatnya Belanda berhasil menerobos benteng terkuat Gowa yaituSamba Opu tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diridan wafat tanggal 12 Juni 1670.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Imam Bonjol hingga Pangeran Diponegoro

Foto ilustrasi dan lukisan tentang Pangeran Diponegoro (Foto koleksi Peter Carey)

 

3. Tuanku Imam Bonjol

Peto Syarif yang lebih dikenal dengan Tuanku Imam Bonjol, lahir pada tahun 1772 di Kampung Tanjung Bunga, Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat. Ia juga pendiri negeri Bonjol, sebuah desa kecil yang diperkuat dengan benteng dari tanah liat.

Pertentangan kaum adat dengan kaum paderi (kaum agama) melibatkan Imam Bonjol dalam perlawanan melawan Belanda.

Belanda memihak kaum adat, sedang kaum paderi di bawah pimpinan Imam Bonjol. Tahun 1824, Belanda mencoba berdamai dengan kaum paderidengan "perjanjian masang" tetapi dilanggar oleh Belanda sendiri.

Belanda menyerang Sumatera Barat dan dapat menguasai Bonjol pada tahun 1832, tiga bulan kemudian Bonjol dapat direbut kembali.Setelah berulangkali mencoba selama 3 tahun Bonjol dapat diserbu Belanda tanggal 16 Agustus 1837.

Imam Bonjol terjebak oleh penghianatan Belanda, dia ditangkap dan diasingkan ke Cianjur, kemudian ke Ambon, dan terakhir Manado hinggawafat tanggal 6 November 1864 dalam usia 92 tahun.

4. Pangeran Diponegoro

Pangeran Diponegoro, nama kecilnya Raden Mas Ontowiryo lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Ia adalah putera Sultan Hamengkubuwono Ill.Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan.

Ia kemudian bertekad melawan Belanda. Kediaman Pangeran di Tegalrejo diserang Belanda pada 20 Juli 1825. Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya.

Perjuangan Diponegoro mendapat dukungan dari kalangan bangsawan, ulama maupun petani. Ulama besar Kyai Mojo dan Sentot Ali Basah Prawirodirdjo pun menggabungkan diri pada barisan Pangeran Diponegoro dengan menjanjikan uang sebesar 20.000 ringgit Belanda mencoba menangkap Pangeran Diponegoro.

Usaha Belanda ini gagal, Belanda kemudian menjalankan siasat licik dengan pura-pura mengajak berunding di Magelang tahun 1830. Dalam perundingan tersebut PangeranDiponegoro ditangkap dan dibuang ke Manadoselanjutnya dipindah ke Ujung Pandang dan meninggal disana tanggal 8 Januari 1855.

5. Teungku Cik Di Tiro

Muhammad Saman, yang kemudian dikenal dengan nama Teungku Cik Di Tiro, adalah pahlawan dari Aceh. Ia adalah putra dari Teungku Sjech Ubaidillah.

Sedangkan ibunya bernama SitiAisyah, putri Teungku Sjech Abdussalam Muda Tiro. Ia lahir pada tahun 1836, bertepatan dengan1251 Hijriah di Dajah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo, Tiro, daerah Piciie, Aceh.

Ia dibesarkan dalam lingkungan agama yang ketat. Ketika ia menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu agamanya. Selain itu tidakl upa ia menjumpai pimpinan-pimpinan Islam yang ada di sana, sehingga ia mulai tahu tentang perjuangan para pemimpin tersebut dalam berjuang melawan imperialisme dan kolonialisme.

Sesuaidengan ajaran agama yang diyakininya, Teungku Cik Di Tiro sanggup berkorban apa saja baik harta benda, kedudukan, maupun nyawanya demi tegaknya agama dan bangsa. Keyakinanya ini dibuktikan dengan kehidupan nyata, yang kemudian lebih dikenal dengan Perang Sabil.

Dengan Perang Sabilnya, satu persatu benteng Belanda dapat direbut. Begitu pula wilayah-wilayah yang selama ini diduduki Belanda jatuh ke tangan pasukan Cik Di Tiro. Pada bulan Mei tahun 1881, pasukan Cik Di Tiro dapat merebut benteng Belanda Lambaro, Aneuk Galong dan lain-lain.

Belanda merasa kewalahan akhirnya memakai "siasat liuk" dengan mengirim makanan yang sudah dibubuhi racun.Tanpa curiga sedikitpun Cik Di Tiro memakannya, akhirnya meninggal pada bulan Januari 1891 dibenteng Aneuk Galong.

Penulis: Khazim Mahrur

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya