Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik, M.A menyatakan bahwa rokok berkaitan dengan hak asasi anak.
Paparan rokok sejak masa kanak-kanak berdampak buruk bagi kesehatannya di masa depan. Akibat rokok, anak juga tak bisa tumbuh dengan optimal.
Advertisement
Untuk itu, Komnas HAM sudah mengajukan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), tujuannya agar anak lebih terlindungi dari bahaya rokok. Baik itu dari pengaruh sosial untuk ikut berperilaku merokok, bahaya asap rokok dari lingkungan sekitar, di rumah, di tempat umum maupun di transportasi umum.
“Namun, hingga saat ini Indonesia masih belum meratifikasi FCTC tersebut,” kata Ahmad Taufan dalam konferensi pers bersama Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) belum lama ini.
FCTC ini membahas terkait kebijakan pengaturan rokok yang dikembangkan secara progresif dan bertahap. Misalnya terkait iklan, promosi, dan sponsorship dari rokok ini semestinya dilarang di Indonesia.
Industri rokok masih sangat bisa membangun iklan saat ini. Padahal, mestinya sudah lebih dibatasi terutama di ruang-ruang yang dekat dengan lokasi anak-anak yang dapat dilanjutkan lebih luas ke ruang-ruang publik.
“Pemerintah juga harus melakukan pembatasan yang tegas berupa pelarangan adanya rokok di sekitar sekolah atau misalnya taman untuk semakin melindungi anak.” tambah Ahmad Taufan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rokok Harus Mahal
Masih dalam upaya pengendalian rokok, PKJS-UI dan Yayasan KAKAK bekerja sama dengan 42 organisasi pemerhati anak.
Menurut organisasi-organisasi tersebut, pengendalian konsumsi rokok pada anak bertujuan untuk menciptakan generasi unggul. Sehingga perlu adanya peningkatan kesadaran pemerintah untuk menguatkan kebijakan pengendalian tembakau.
Organisasi pemerhati anak pun memberikan pernyataan sikap dan dukungan dalam pengendalian konsumsi rokok, terutama mendorong rokok harus mahal, untuk melindungi anak dan remaja dari keterjangkauan rokok.
Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan RI (2018) menunjukkan angka perokok pada kelompok usia 10-18 tahun meningkat dari 7,2 persen (2013) menjadi 9,1 persen (2018). Padahal Pemerintah memiliki target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 yaitu menurunkan persentase perokok anak usia 10-18 tahun menjadi 8,7 persen.
Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 Pasal 28B Ayat (2) mengamanatkan agar negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, serta hak atas perlindungan dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Namun, konsumsi rokok merenggut hak-hak anak menjadi tidak dapat bertumbuh kembang secara optimal.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Jika Murah dan Mudah Dijangkau
Jika akses untuk membeli rokok masih sangat mudah dijangkau oleh anak-
anak, terutama dengan harga yang murah, maka dikhawatirkan mereka akan menjadi perokok pemula.
Mereka pun rentan terjerat dalam produk adiktif yang secara perlahan akan merusak kesehatan dan berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) di masa mendatang.
Shoim Sahriyati, S.T. (Ketua Yayasan KAKAK) menyampaikan bahwa rokok mengandung zat adiktif. Anak yang terpengaruh oleh zat adiktif termasuk kategori anak yang membutuhkan perlindungan khusus.
Upaya pencegahan harus dilakukan oleh pemerintah untuk menekan jumlah perokok usia anak. Edukasi di semua lini harus dilakukan, tetapi kebijakan tersebut harus berpihak pada kepentingan terbaik bagi anak.
Negara harus hadir untuk memberikan perlindungan anak dari rokok. Di antaranya dengan menaikkan harga rokok menjadi mahal sehingga tidak terjangkau oleh anak-anak ditambah dengan kebijakan pengendalian lainnya.
Dalam kesempatan yang sama, Peneliti PKJS-UI Risky Kusuma Hartono, Ph.D menyampaikan bahwa studi PKJS-UI tahun 2020 menunjukkan selain efek teman sebaya, efek harga berhubungan dengan peluang seorang anak menjadi perokok.
Semakin Mahal, Prevalesi Semakin Turun
Dari efek harga, diperoleh jika semakin mahal harga rokok maka semakin turun prevalensi anak merokok, lanjut Risky. Apalagi saat ini rokok masih bisa dibeli secara batangan atau ketengan.
“Studi PKJS-UI tahun 2021 menunjukkan anak usia sekolah sangat mudah membeli rokok batangan karena sebanyak 61,2 persen warung rokok berada pada radius 100 meter di sekitar area sekolah, dengan harga rokok batangan yang dijual pun masih terjangkau oleh uang saku anak, yaitu pada kisaran Rp1.500 per batang,” tambah Risky.
Keterjangkauan akses untuk membeli rokok yang masih sangat murah dan mudah oleh anak-anak dan remaja akan membuat Indonesia kesulitan untuk mencapai penurunan prevalensi perokok anak pada RPJMN 2020-2024.
Koordinator End Child Prostitution, Child Pornography and the Trafficking of Children for Sexual Purposes/ECPAT Indonesia Dr. Ahmad Sofian, S.H., M.A. menambahkan bahwa rokok saat ini masih sangat mudah didapatkan secara daring.
Rokok bisa didapatkan oleh anak-anak melalui e-commerce dan hanya penyedia tertentu yang memverifikasi bahwa rokok ini diperuntukkan bagi usia di atas 18 tahun (bukan untuk anak).
“Selain itu, selama ini yang terkena teguran ketika menjual rokok kepada anak adalah kasir dan SPG, tetapi industri rokok belum mendapatkan sanksi mengenai adanya kasus ini. Orang pada lapis bawah yang kena denda tetapi industri rokok tidak ikut terkena denda dalam kasus.”
“Ditambah, Peraturan Pemerintah (PP) 109/2012 belum harmonis dengan perlindungan anak dan PP ini sudah kedaluwarsa. PP ini juga sudah tidak sinkron dengan UU ITE karena penjualan rokok sekarang banyak yang menggunakan e-commerce,” jelas Dr. Ahmad Sofian.
Advertisement