Liputan6.com, Jakarta - Pasar negara berkembang, termasuk Indonesia disebut menjadi pasar potensial saat terjadi resesi global. Indonesia memiliki daya tarik tersendiri di mata investor asing lantaran memiliki persediaan komoditas yang melimpah.
Seperti diketahui, harga komoditas saat ini tengah dalam tren naik. Kondisi itu menyusul kelangkaan komoditas akibat gangguan logistik di beberapa negara, buntut konflik Rusia—Ukraina.
Advertisement
Direktur PT Ashmore Asset Management Tbk (AMOR), Steven Satya Yudha menilai, surplus yang terjadi akibat ekspor komoditas, dampaknya masih belum terasa secara optimal. Ia menilai, beberapa sektor masih mengalami perlambatan pertumbuhan.
"Saya melihat surplus yang terjadi akibat ekspor komoditi ini, limpahannya belum optimal. kita belum melihat harga properti naik gila-gilaan. Penjualan otomotif sudah mulai membaik, tapi kalau di sektor lain belum terlihat signifikan,” kata dia dalam webinar Money Buzz, Selasa (9/8/2022).
Seperti diketahui, selain sentimen komoditas, saat ini pasar juga tengah berjibaku dengan kenaikan suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat atau The Federal Reserve (the Fed). Steven mengatakan situasi ini merupakan momentum yang tepat untuk mulai menabung dan investasi.
"Tapi pesan saya jangan masuk investasi bodong. Itu sudah pasti. Harus bijak pilih investasi yang memang prudent sesuai dengan profil risiko. Jangan sampai menyalahi atau melanggar profil risikonya sendiri,” kata dia.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Didukung Kinerja Emiten
Steven menilai, dengan investasi di masa-masa seperti ini, investor akan mendapat potensi imbal hasil yang lebih besar. Misalnya seperti imbal hasil obligasi dan deposito, didorong kenaikan suku bunga.
Selain itu, di pasar saham investor juga bisa mengantongi return yang lebih besar dari dividen yang besar, seiring kinerja yang mentereng pada paruh pertama tahun ini.
"Profit emiten tumbuhnya sedang tinggi-tingginya. Semester pertama kemarin profitabilitas dari emiten-emiten yang kita pantau, itu pertumbuhannya bisa 40—50 persen yoy. Semestinya pergerakan dari pasar saham ini inline dengan profitabilitas emiten-emiten," ujar Steven.
Di samping itu, tren kenaikan harga komoditas masih diperkirakan berlanjut. Meski kemungkinan turun tetap ada, tetapi sepanjang pemerintah Indonesia bisa memanfaatkan momentum ini, kelangsungan usaha emiten sektor komoditas dinilai juga akan moncer. Sehingga diharapkan juga bisa menopang pasar dalam negeri.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Ketegangan Geopolitik hingga Harga Minyak Ciptakan Ketidakpastian
Sebelumnya, negara maju saat ini dinilai fokus meredam inflasi. Ekonom melihat bantuan jangka pendek seiring inflasi tinggi dan kebijakan suku bunga sehingga menimbulkan resesi ringan sebagai puncak inflasi Amerika Serikat tampaknya terjadi pada kuartal III 2022.
Hal itu sebagai bagian dari rangkuman pertemuan tahunan forum investasi Ashmore pertama setelah pandemi COVID-19 yang dihadiri Mantan Menteri Keuangan Indonesia Dr Muhammad Chatib Basri, dan Strategist Asia FI/FX Rohit Arora. Chatib Basri bersama Rohit Arora membagikan pandangan tentang ekonomi global dan ekonomi domestik sebagai pembicara dalam forum tahunan tersebut, dikutip Minggu (7/8/2022).
Di tengah tingkat pengangguran rendah menjadi katalis positif, ekonom melihat bantuan jangka pendek seiring inflasi dan tingkat kebijakan suku bunga menimbulkan resesi ringan sebagai puncak inflasi Amerika Serikat tampaknya terjadi pada kuartal III 2022.
Namun, ketegangan geopolitik dan kenaikan harga minyak akan terus menciptakan ketidakpastian dan dapat menyebabkan beberapa pengalihan pada kuartal mendatang terutama memasuki musim dingin.
Di sisi lain, pasar negara berkembang tidak akan terlindung seluruhnya. Di Indonesia, kondisi makro lebih konstruktif dan tangguh dibandingkan regional.
“Surplus tiga kali lipat antara lain surplus fiskal, surplus neraca perdagangan, dan surplus transaksi berjalan yang dihasilkan dari pemulihan konsumsi domestik dan komoditas lebih tinggi,” demikian mengutip dari Ashmore.
Ashmore menyebutkan, pemerintah Indonesia bagaimana pun akan harus memilih dengan benar untuk membiayai salah satu subsidi bahan bakar dan sembako dalam rangka menjamin stabilitas.
Diharapkan Saham Lebih Unggul
Sementara itu terkait portofolio aset, alokasi asing masuk ke obligasi negara berkembang dan Indonesia kemungkinan tetap, jika tidak, aksi jual jangka pendek karena peningkatan risiko mata uang.
“Stabilitas rupiah mungkin berisiko mengingat siklus pengetatan agresif Amerika Serikat. Tapi kami yakin surplus transaksi berjalan akan dipertahankan seiring harga komoditas akan terus meningkat dalam satu tahun ke depan,” tulis Ashmore.
Kepemilikan obligasi Indonesia saat ini 80 persen lebih dipegang lembaga dalam negeri. Hal ini menjadi alasan ketahanan relatif baik pada imbal hasil dan mata uang. “Obligasi jangka panjang terlihat menarik dalam waktu jangka panjang dibandingkan berjangka pendek,” tulis Ashmore.
Kepemilikan yang merata juga diuntungkan dari likuiditas domestik sehingga memungkinkan defensif dalam kinerjanya. Namun, mengingat pandangan global dengan likuiditas yang mongering, strategi manajemen aktif dinilai akan unggul ketimbang manajemen pasifi.
“Kami berharap saham mengungguli obligasi dalam waktu dekat seperti yang telah terjadi year to date, kami sarankan untuk tetap investasi dan menambah bobot selama pasar alami koreksi,” tulis Ashmore.
Advertisement