Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2022, sepertinya sudah menjadi titik awal keberlangsungan tahun politik jelang pemilu 2024. Bagaimana tidak, tahun ini banyak terjadi peristiwa politik yang secara langsung telah memperlihatkan manuver politik elite, mulai dari isu koalisi partai politik hingga upaya pengusungan tokoh atau pejabat publik yang kian ramai diperbincangkan.
Tak seperti tahun 2019, warna-warni gestur politik parpol maupun pejabat publik saat ini sepertinya semakin memiliki keberagaman. hal ini dibuktikan dengan banyaknya teka-teki poros parpol yang kerap mengisi pemberitaan soal politik di berbagai media.
Advertisement
Baru-baru ini jagat publik kembali diramaikan dengan pemberitaan soal pendaftaran parpol peserta pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum atau KPU telah menyampaikan, pihaknya telah resmi membuka Pendaftaran Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024. Menurutnya, hal itu sebagaimana telah diamanatkan dalam Peraturan KPU (PKPU) nomor 3 dan 4 tahun 2022 tentang tahapan dan jadwal pemilu 2024.
Pada hari pertama pendaftaran, setidaknya sebanyak sembilan parpol sudah menyerahkan dokumen pendaftaran partai calon peserta Pemilu 2024. Kesembilan partai tersebut adalah PDI Perjuangan, Partai Keadilan Persatuan (PKP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Reformasi, Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA), Perindo, NasDem, Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Daulat Indonesia (Pandai).
Menariknya, Selama Prosesi Pendaftaran di Kantor KPU RI, beberapa partai melakukan parade budaya seperti yang dilakukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP yang membawa Jajaran Marching Band dan Angklung yang mengiringi dengan lagu-lagu di luar halaman Kantor KPU RI.
Dijadwalkan, usai proses pendaftaran di KPU, rombongan long march kebudayaan PDIP akan kembali berjalan ke arah kantor pusat partai di Diponegoro.
Selain PDIP, partai lain yang turut meramaikan proses pendaftaran calon peserta pemilu 2024 dengan parade budaya adalah Partai Keadilan Sejahtera atau PKS, Ya... diketahui PKS turut membawa serta tradisi Palang Pintu Betawi sebagai bagian dari seremoni. Tidak hanya palang pintu PKS juga membawa serta kelompok penabuh rebana.
Geliat partai politik dalam pendaftaran di KPU tersebut boleh jadi dapat dikatakan sebagai cara mereka dalam memanaskan mesin politik jelang pemilu 2024, khusunya agar dapat disorot sebagai fenomena yang menarik terkait identitas partai.
Mengutip Paul Goren dalam Party Identification and Core Political Values, menerangkan bahwa Identifikasi partai politik dan nilai-nilai politik inti adalah elemen sentral dalam sistem kepercayaan politik warga negara.
Berkaca pada perkataan Paul Tersebut, boleh jadi cara yang dilakukan oleh PDIP dan PKS adalah untuk menarik kepercayaan politik warga negara terhadap kedua partai tersebut. terlebih keduanya menggunakan budaya nasional Indonesia untuk mengiring prosesi pendaftaran di KPU.
Jika merunut lebih dalam mengenai konteks tersebut, dalam sejarah politik Indonesia, unsur kebudayaan sejatinya tidak bisa ditinggalkan khususnya sebagai pengaruh untuk menarik simpati masyarakat terhadap partai politik di Indonesia.
Fernandi Aris dalam tulisannya yang berjudul Kesenian Reog Sebagai Alat Propaganda Politik dan Mobilisasi Massa Partai Politik di Ponorogo Tahun 1955-1965, menerangkan bagaimana sejarah kebudayaan memiliki signifikasi politik untuk dapat menarik dukungan masyarakat terhadap partai politik tertentu.
Lebih lanjut, Fernandi menjelaskan bahwa peran Kebudayaan Reog dalam sejarah politik Indonesia telah teruji dapat memberikan pengaruh terhadap partai politik untuk menarik dukungan masyarakat. hal ini sebagaimana dibuktikan dengan semakin maraknya lembaga kesenian nasional yang telah terafiliasi dengan partai politik pada tahun tersebut.
Tidak hanya di Indonesia, pengaruh kebudayaan dalam politik juga terjadi di berbagai negara. Di China misalnya, Partai Komunisme China menggunakan retorika kebudayaan konfusianisme untuk menjadi sarana pengembangan tatanan politik tradisional China ditengah kontestasi ideologi antara Marxisme, Liberalisme, dan Neo-tradisionalisme.
Terlepas dari hal tersebut, dalam faktanya di tengah keramaian soal pendaftaran parpol tersebut apakah modernisasi politik dalam konteks parpol sudah mulai berlangsung? Mengingat, hal ini menjadi penting apabila merujuk pada kondisi politik Indonesia saat ini, di mana semakin banyaknya geliat partai baru yang ikut mewarnai isu perpolitikan nasional.
Modernisasi Politik Indonesia
Samuel Huntington dalam Political Modernization: America Vs Europe, membagi penjelasan terkait modernisasi politik menjadi tiga pola. Pertama, rasionalisasi otoritas atau wewenang. hal ini merujuk pada penggantian sejumlah wewenang otoritas politik seperti agama, keluarga, dan etis dengan wewenang politik yang sekuler.
Kedua, modernisasi politik melibatkan diferensiasi fungsi politik. hal ini merujuk pada adanya pemisahan lembaga-lemabaga seperti hukum, militer, administratif, dan ilmiah dari ranah politik dan organ-organ otonom.
Ketiga, modernisasi politik melibatkan peningkatan partisipasi politik oleh kelompok-kelompok sosial di seluruh masyarakat dan pengembangan lembaga-lembaga politik baru—seperti partai politik dan asosiasi kelompok kepentingan—untuk mengorganisir partisipasi ini.
Menelisisk lebih jauh terkait ketiga konsep yang dikemukakan oleh Huntington tersebut, dalam konteks partai politik di Indonesia mungkin boleh disebut bahwa modernisasi politik model Huntington ini sudah berlangsung sejak lama, Misalnya dalam diferensiasi fungsi politik, sistem pemerintahan Indonesia sudah memisahkan fungsi militer dari ranah politik.
Selain itu, modernisasi politik yang melibatkan adanya peningkatan partai politik di Indonesia juga sudah mulai berlangsung sejak dari berakhirnya era orde baru. Sebagaimana dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah parpol disetiap periodesasi pemilu, termasuk pada periode pemilu 2024. Sebagaimana KPU telah menyebutkan bahwa 41 parpol sudah masuk di data Sipol KPU.
Hal ini berarti bahwa partai politik dianggap sebagai instrumen penting dalam mencapai modernisasi politik. Dengan kelembagaan yang modern, maka fungsi parpol tidak hanya berkutat pada fungsi sosialisasi dan komunikasi politik saja melainkan juga dapat membangun partisipasi politik rakyat yang lebih beragam.
Kendati demikian, dalam perjalanan modernisasi politik di Indonesia khususnya yang terkait dengan fungsi partai politik, faktanya masih menemui ganjalan yang membuat fungsi parpol kerap dipertanyakan publik.
Mengutip Moch Nurhasim dalam tulisannya yang berjudul Kegagalan Modernisasi Partai Politik di Era Reformasi, mungkin dapat memberikan gambaran terkait perjalanan modernisasi politik khususnya parpol di Indonesia.
Nurhasim menerangkan bahwa pertumbuhan partai politik di Indonesia khususnya pasca-reformasi, menurutnya parpol memiliki kecenderungan sebagai wadah partisipasi publik yang tidak memiliki basis kelas (class-based parties). Dengan kata lain, kondisi parpol saat ini lebih mirip sebagai catch all party.
Selain itu, Nurhasim menjelaskan bahwa kondisi parpol dibayang-bayangi oleh personalisasi yang muncul dari tokoh atau orang yang memiliki pengaruh kuat di tubuh parpol. Hal ini yang kemudian menyebabkan struktur dalam parpol tidak berfungsi bahkan hampir tidak memiliki institusi kelembagaan.
Berkaca pada tulisan Nurhasim, dalam faktanya personalisasi tokoh di tubuh partai maupun di luar partai memang kerap muncul, bahkan tak sedikit yang menyebut nama tokoh potensial justru lebih besar dibandingkan dengan nama partainya sendiri. Hal ini yang kemudian membuat parpol memiliki tendensi khusus untuk lebih mengusung tokoh yang memiliki personalisasi kuat dibandingkan dengan kadernya sendiri.
Partai NasDem misalnya, dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai NasDem, Ketua Umum NasDem Surya Paloh menyampaikan rekomendasi steering committee Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Partai Nasdem 2022 terkait bakal calon presiden yang diusung Partai Nasdem pada Pemilu 2024. Alih-alih mengusung kadernya sendiri NasDem justru lebih memilih tokoh di luar NasDem, seperti Anies Baswedan, Jendral TNI Andika Perkasa, dan Ganjar Pranowo.
Hal ini menjadi indikasi bahwa fungsi partai sebagai wadah partisipasi politik masih memiliki ganjalan besar khususnya dengan adanya budaya personalisasi kuat yang dapat dijadikan sebagai strategi dalam mendulang suara dalam ajang pemilu.
Advertisement
Isu Polarisasi
Kembali pada modernisasi politik, selain isu tentang penokohan atau personalisasi kuat seseorang, isu tentang polarisasi masyarakat juga dapat disebut sebagai ganjalan modernisasi politik Indonesia khususnya menjelang pemilu 2024 ini.
Polarisasi bukan fenomena baru dalam perpolitikan di Indonesia. Sejak 2014, polarisasi yang identik dengan politik identitas ini berlanjut hingga 2019. Hal ini kemudian menjadi satu perhatian khusus bagi dosen komunikasi digital di UPN Veteran Jawa Timur, Irwan Dwi Arianto untuk menelaah data tersebut.
Menurut Irwan, masalah polarisasi atau pembelahan sosial di Indonesia, kalau kita lihat sejarahnya itu sejak pilihan presiden di 2014, terus kemudian menguat di pilkada 2017. Lalu terulang kembali dan tetap berjalan 2014 ke 2019 hingga sekarang masih berjalan ke arah 2024.
Lebih lanjut, polarisasi yang terbentuk oleh netizen salah satunya juga dapat terlihat dari ‘nama panggilan’ yang sudah melekat dan terus diperbincangkan oleh netizen. Penambangan data yang dilakukan pada periode 21–23 Juni 2022 setidaknya terdapat 13.380 cuitan yang mengandung keyword kadrun, cebong, buzzerrp, dan kampret.
Senada dengan Irwan, Pendiri Drone Emprit and Media Kernels Indonesia, Ismail Fahmi mengungkapkan istilah-istilah panggilan terhadap nama kelompok masih bakal menghiasi di Jagat Media Sosial khususnya yang terkait dengan Kadrun, Cebong, BuzzerRp, dan BuzzeRp untuk melebeli suatu kelompok tertentu.
Ismail menerangkan istilah-istilah tersebut masih ada dan akan berpotensi menjadi pemecah sehingga polarisasi akan terus terbawa. Dia juga menerangkan dari beberapa panggilan tersebut, Istilah Kadrun paling sering muncul dan dilakukan oleh Netizen.
Ismail memprediksi seiring dengan masih banyaknya sebutan-sebutan tersebut, maka besar kemungkinan polarisasi akan tetap terjadi. Hal ini disebut akan menjadi Pr bersama untuk dapat mengurangi panggilan tersebut agar masalah polarisasi netizen jelang Pemilu 2024 dapat terselesaikan.
Menelisik lebih dalam terkait isu polarisasi di tengah keberlangsungan modernisasi politik di Indonesia, Murad Merican memberikan analisis tentang polarisasi dengan menggunakan teori modern dalam tulisannya yang berjudul New modernisation theory can explain polarisation, yang dilansir dari New Straits Times.
Dalam argumentasinya, Murad menggunakan konsepsi teori modern David E. Apter yang menurutnya dapat berguna dalam menganalisis pluralisme negatif. pluralisme negatif dapat mengubah kepentingan menjadi prinsip dan klaim menjadi hak, dan memaksimalkan politik perpecahan. Hal ini memperkuat komunitarianisme parokial dan individualisme kolektivis.
Artinya, polarisasi sebagai pluralisme negatif dapat merujuk pada pengubahan mindset kepentingan menjadi prinsip dan klaim menjadi suatu hak. dalam konteks di Indonesia hal ini dapat dilihat melalui bagaimana kepentingan politik telah menjadi prinsip politik seperti penggunaan buzzer dalam politik yang secara tidak langsung sudah menjadi suatu prinsip yang harus ada dalam politik di Indonesia khususnya di Media Sosial.
Mengutip Ary Hermawan dalam tulisannya yang berjudul Commentary: Bigger threat than ITE Law? Political ‘buzzers’ crowding our cyberspace, menerangkan bahwa secara politik buzzer bekerja layaknya suatu virus yang mereplikasi DNA demokrasi dalam komunitas netizen, tujuan utama buzzer hanyalah untuk memecah solidaritas netizen, Dilansir dari The Jakarta Post.
Atas dasar hal tersebut, mungkin dapat disimpulkan bahwa konsepsi tentang modernisasi politik Indonesia khususnya di dalam tubuh parpol, pada dewasa ini sepertinya masih menemui ganjalan. di mana budaya politik nasional seperti personalisasi tokoh dan polarisasi hingga saat ini masih terus berkembang, baik di ruang nyata maupun di jagat maya. Tak ayal hal ini juga disebut sebagai suatu persoalan nasional yang kerap digemakan parpol dalam pengarungan koalisi di Pemilu 2024.
Lantas hal ini dapat menjadi pertanyaan besar, apakah sebenarnya masalah modernisasi politik Indonesia ini sengaja dipelihara agar dapat dijadikan bahan kampanye oleh parpol kedepan?