Liputan6.com, Jakarta - Kuda menjadi bagian penting kebudayaan manusia sejak ribuan tahun lalu. Fungsinya beragam, mulai dari dari kuda penarik pedati, kuda tunggangan, diperah susunya, hingga kuda perang.
Pada zaman Rasulullah SAW, kuda menjadi alat transportasi penting setelah unta. Kuda Arab memang dikenal kuat, lincah, dan memiliki mental juara.
Pada masa kenabian, kuda juga merupakan kendaraan perang. Salah satu panglima perang yang juga komandan pasukan berkuda paling terkenal pada masa itu adalah Khalid bin Walid.
Karena pentingnya fungsi kuda ini pula, Rasulullah pernah melarang umat Islam dengan sengaja mengonsumsi daging kuda. Ulama meriwayatkan, masa itu terjadi menjelang perang Khaibar.
Baca Juga
Advertisement
Perang ini terjadi di kawasan Oasis Khaibar, sekitar 150 kilometer dari Madinah. Karena pentingnya peperangan ini, Nabi Muhammad SAW bahkan memimpin sendiri pasukan muslim.
Khaibar adalah daerah subur yang menjadi benteng utama Yahudi di jazirah Arab. Terutama setelah Yahudi di Madinah ditaklukkan oleh Rasulullah SAW.
Kala itu kaum Yahudi tak punya kekuatan untuk menggempur daerah muslim. Namun, mereka berhasil menghimpun kekuatan musuh-musuh Islam hingga terkumpul pasukan yang besar dan kuat.
Diperkirakan pasukan gabungan Yahudi berjumlah 10 ribu orang. Sementara, pasukan muslim hanya berkekuatan sekitar 1.600 pejuang.
Karena itu, sumber daya lain, seperti alat peperangan, menjadi sangat penting karena akan menjadi pendukung kemenangan Islam. Itu termasuk kuda, yang menjadi salah satu kendaraan penting para pejuang Islam.
Periode ini menjadi sangat penting karena bisa jadi akan menentukan perkembangan Islam di masa depan. Pertempuran Khaibar berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Kaum Yahudi tetap diberlakukan dengan baik, asal mengakui dan mengikuti pemerintahan Islam.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pendapat Ulama tentang Larangan Konsumsi Daging Kuda
Terkait larangan mengonsumsi daging kuda, mengutip mui.or.id, Nabi SAW melarangnya secara temporer, bersifat sementara. Karena adanya kebutuhan kondisional pada saat itu. Yakni dibutuhkan sebagai bagian dari alat atau sarana perang.
Konteks larangan memakan daging kuda di masa itu adalah dalam rangka untuk kebutuhan perang. Dalam kaidah Ushul-Fiqh disebutkan, “Al-Hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi, wujudan wa ‘adaman”. Ketetapan hukum itu tergantung pada ‘illat-nya, adanya atau tiadanya ‘illat itu.
Sama dengan kondisi sekarang, misalnya, di mana pemerintah membuat peraturan yang melarang menyembelih sapi betina yang masih produktif. Karena akan mengganggu bahkan menghambat perkembang-biakan ternak sapi domestik, yang sangat diperlukan untuk menunjang kebutuhan protein hewani masyarakat.
Kalau ada yang melanggarnya, maka dapat dihukum denda, atau malah dihukum penjara. Dalam bahasa atau kaidah Fiqhiyyah hal itu termasuk kategori Makruh Tahrim. Ketentuan hukumnya secara Fiqhiyyah bersifat Makruh, tetapi dalam prakteknya terlarang dilakukan,
Dalam hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia mengatakan, “Pada penaklukan Khoibar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang makan daging keledai jinak, dan beliau membolehkan daging kuda.” (HR. Bukhari 3982 dan Muslim 1941).
Dalam hadis lain yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah, ia menceritakan: “Kami pernah bersafar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan kami makan daging kuda dan minum susunya.” (HR. Ad-Daruquthni, al-Baihaqi. An-Nawawi mengatakan: Sanadnya shahih).
Advertisement
Pendapat Hukum Makruh
Meski demikian, menurut pendapat Abu Hanifah dan dua murid dekatnya: Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani, daging kuda hukumnya makruh untuk dimakan. Kalangan ulama Hanafiyah mengatakan bahwa makan daging kuda adalah makruh.
Dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah disebutkan sebagai berikut; “Dan halal dari hewan adalah makan kuda dan zirafah (jerapah). Ulama Hanafiyah berkata, ‘Makan kuda adalah Makruh (dengan kategori Makruh) Tanzih.”
Makruh Tanzih itu sendiri ialah segala sesuatu yang (dipahami) bersifat terlarang oleh Syara’ namun secara tidak tegas. Hanya dipaham dengan melalui dalil yang masih bersifat Zhanni. Dalam penjelasan lain, Makruh Tanzih itu didefinisikan dengan meninggalkannya lebih baik daripada melakukannya, meskipun tidak ada hukuman dalam melakukannya. (Al-Mustashfa, 1/215-216).
Pendapat mereka yang memakruhkan memakan daging kuda, berdasarkan dalil di surat An-Nahl ayat 5 sampai 7, Allah menyebutkan tentang Bahimatul An’am (unta, sapi, dan kambing). Allah sebutkan manfaat yang didapat oleh manusia dengan binatang itu, termasuk manfaat untuk dimakan. Kemudian di ayat ke-8 Allah menyebutkan jenis hewan yang lain:
“Dia menciptakan kuda, bighal (peranakan kuda dengan keledai), dan keledai, agar bisa kalian tunggangi dan sebagai hiasan. Dia juga menciptakan makhluk yang tidak kalian ketahui.” (QS. An-Nahl: 8).
Di ayat ke-8 ini Allah tidak menyebutkan fungsi mereka (hewan-hewan itu) untuk dimakan. Padahal Allah sebutkan manfaat ‘dimakan’ pada Bahimatul An’am yang disebutkan di ayat sebelumnya.
Namun pendalilan ini disanggah. Berdalil dengan ayat ini untuk menghukumi makruhnya makan daging kuda adalah menyimpulkan dalil yang kurang tepat. Karena penyebutan fungsi kuda, bighal, dan khimar untuk dinaiki dan sebagai hiasan, sama sekali tidak menunjukkan bahwa binatang ini tidak boleh dimanfaatkan untuk yang lainnya (untuk dimakan). Disebutkan manfaat ‘bisa tunggangi dan sebagai hiasan’ karena itulah umumnya manfaat yang diambil dari kuda.
Tim Rembulan