Liputan6.com, Palembang - Ketergantungan penggunaan pupuk anorganik di lingkungan para petani di Sumatera Selatan (Sumsel), berdampak besar pada penurunan kualitas lingkungan. Penggunaan pupuk anorganik secara berkelanjutan, akan sulit untuk mewujudkan program Green Economy, yang sedang digalakkan pemerintah.
Dosen Fakultas Pertanian (FP) Universitas Sriwijaya (Unsri) Sumatera Selatan (Sumsel) Mirza Antoni mengharapkan, jangan sampai Indonesia memiliki orientasi ke pupuk anorganik. Karena ada pupuk organik yang bahan pembuatannya sudah pasti tersedia di dalam negeri, sehingga tidak perlu untuk impor
"Petani kita pemikirannya, jika tidak Urea, tidak mupuk. Jadi ketergantungan pupuk kimia tinggi. Kalau secara lingkungan, apalagi Green Economy ke depan, harusnya pupuk organik digalakkan," ucapnya, Rabu (10/8/2022).
Baca Juga
Advertisement
Sebenarnya, sambung Mirza, pupuk organik yang paling bagus, karena pupuk anorganik cenderung bermasalah untuk lingkungan. Menurutnya, petani di Indonesia harus menghilangkan ketergantungannya terhadap pupuk anorganik.
Bahkan ada penggerak petani di Kabupaten Musi Banyuasin Sumsel, yang mengedukasi kelompok petani termasuk petani padi, untuk membuat pupuk organik.
“Walau diakuinya, banyak juga petani tidak tertarik. Sehingga harus ada penyuluhan pupuk organik, bisa menjadi pengganti walau tidak sampai 100 persen,” katanya.
Mirza melanjutkan, banyak opsi agar tidak mengurangi penggunaan pupuk anorganik, dengan ditambahkan pupuk organik.
Petani di Sumsel juga masih kurang menggunakan pupuk organik, sehingga pemerintah harus menggalakkan edukasi pupuk organik ke para petani. Ada lahan di Indralaya Kabupaten Ogan Ilir Sumsel, dia pun mengelola kebun sawit milik kampus Unsri.
“Saya tidak memakai pupuk anorganik, saya coba pakai pupuk organik. Terlebih karena struktur tanahnya yang cocok,” ujarnya.
Hasil penggunaan pupuk organik, membuat kualitas tanah bagus, karena banyak makhluk hidup seperti cacing yang hidup dan membuat tanah menjadi bagus dan gembur. Namun jika pakai pupuk anorganik, tanah akan keras dan tidak ada mahkluk hidup yang bertahan di lahan perkebunan.
Selain kedua pupuk anorganik NPK dan Urea, Mirza mengharapkan pupuk organik menjadi sebuah prioritas, karena berikan banyak manfaat untuk tanaman dan lingkungan, terutama ke petani di Sumsel.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:
Permentan Pupuk Subsidi
Namun Mirza sepakat prioritas pemerintah pada pupuk Urea dan NPK. Terlebih fokus pada tanaman komoditas, namun yang menjadi harapannya adalah pemerintah memerhatikan biaya distribusi di bawah.
Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) mengeluarkan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 10 Tahun 2022, yakni tentang Tata Cata Penetapan Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian.
Hal tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan tata kelola pupuk bersubsidi. Ada beberapa poin Permentan yang menjadi sorotan publik.
Di antaranya pembatasan pupuk subsidi hanya untuk 9 komoditas utama, yakni padi, jagung, kedelai, cabai, bawang merah, bawang putih, tebu, kopi dan kakao. Selain itu,jenis pupuk subsidi pun hanya difokuskan menjadi hanya dua jenis pupuk, yakni NPK dan Urea.
Advertisement
Pengaruh Inflasi
Mirza menuturkan, ada yang berubah dalam subsidi pupuk. Yakni dari 70 komoditas menjadi 9 komoditas, yang kaitannya dengan harga pupuk melambung.
"Bagus, tapi pangan memang komoditas yang diberi subsidi, seperti padi, jagung, berkontribusi terhadap inflasi. Tapi kurang setuju untuk kopi dan kakao, karena tak banyak berkontribusi pada inflasi dan tak harus jadi prioritas (komoditas pupuk subsidi),” ujarnya.
Dia mengungkapkan, harusnya banyak ke sektor tanaman pangan. Seperti sawit, karena sekarang petani sawit, khususnya yang dikelola mandiri oleh rakyat sedang kesulitan.