Liputan6.com, Washington, DC - Seorang agen Iran dijerat hukum karena mencoba untuk membunuh John Bolton, mantan Penasihat Keamanan Nasional di Amerika Serikat. Agen tersebut adalah anggota Korps Garda Revolusioner Islam di Iran.
John Bolton menjabat di era Presiden Donald Trump. Namun, belakangan Trump kesal dengan Bolton yang terlalu hawkish dalam kebijakan luar negerinya.
Baca Juga
Advertisement
Dilaporkan BBC, Kamis (11/8/2022), sosok bernama Shahram Poursafi (45) itu diduga ingin balas dendam atas kematian Qasem Soleimani yang tewas karena serangan drone AS yang diperintahkan Donald Trump.
Namun, juru bicara pemerintah Iran membantah tudingan percobaan pembunuhan terhadap John Bolton.
Kementerian Kehakiman AS menyebut Poursafi (juga dikenal dengan nama Mehdi Rezayi), mencoba membayar orang sebesar US$ 300 ribu (Rp 4,4 miliar) untuk melaksanakan pembunuhan di Washington DC atau Maryland.
Poursafi disebut mencoba melakukan hal tersebut pada 2021. Kementerian Kehakiman AS berkata ancaman pembunuhan dari Iran bukanlah hal baru.
"Iran memiliki riwayat merencanakan asasinasi warga AS yang dianggap ancaman, tetapi pemerintah AS memiliki riwayat yang lebih panjang dalam menuntut pertanggungjawaban bagi mereka yang mengancam keamanan warga kita," ujar Executive Director Larisssa Knapp dari National Security Branch FBI.
Knapp juga berkata FBI akan tanpa lelah mengungkap upaya-upaya Iran atau pemerintah lawan yang mencoba untuk menyakiti atau membunuh warga AS di dalam negeri dan luar negeri.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
John Bolton Ucapkan Terima Kasih
Melalui Twitter, John Bolton mengucapkan terima kasih atas Kementerian Kehakiman AS karena mengambil langkah hukum, serta kepada FBI karena melacak ancaman kriminal rezim Iran kepada warga Amerika, dan juga Secret Service karena memberikan perlindungan melawan upaya Iran.
Bolton juga menyebut Iran sebagai teroris dan pembohong.
"Walau sekarang tak banyak yang bisa diucapkan secara publik, satu hal yang tak terbantahkan adalah para penguasa Iran itu pembohong, teroris, dan musuh Amerika Serikat. Obyektif mereka yang radikal serta anti-Amerika masih belum berubah. Komitmen-komitmen mereka tidak ada nilainya, dan ancaman global mereka bertambah," ujar John Bolton.
Ia juga berpesan kepada pemerintah AS terkait bahaya Iran, serta menolak masuk perjanjian nuklir Iran seperti yang dilakukan di era Presiden Barack Obama.
"Memasuki kembali perjanjian nuklir Iran 2015 yang gagal akan menjadi tindakan melukai diri sendiri secara parah terhadap kita sendiri dan sekutu-sekutu terdekat kita di Timur Tengah. Saya terus berkomitmen memastikan hal itu tidak terjadi," ujar Bolton.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Rumah Trump Digeledah FBI
Surat Kim Jong-un disebut telah ditemukan di rumah Donald Trump yang digeledah FBI. Kediaman Donald Trump, Mar-a-Lago digeledah karena perkara dokumen-dokumen rahasia.
Menurut laporan New York Post, Rabu (10/6), ada 12 dus yang diambil FBI. Penggeledahan itu membuat Donald Trump kesal karena dianggap ada politisasi.
Wall Street Journal menyebut sejumlah dokumen yang diambil termasuk surat dari pemimpin Korea Utara Kim Jong-un. Ketika menjabat sebagai presiden, Donald Trump kerap saling menghina dengan Kim Jong-un via Twitter, namun hubungan keduanya menghangat dan Trump berkunjung ke Korea Utara pada 2019.
Ada pula ternyata surat dari Mantan Presiden Barack Obama. Uniknya, ada juga jadwal, memo, hingga menu ulang tahun yang ikut disita. Totalnya ada sekitar 100 halaman dokumen yang disita.
Fox News melaporkan bahwa FBI meminta surat penggeledahan karena pihak Donald Trump dirasa tidak kooperatif seperti sebelumnya. Para investigator percaya masih ada dokumen-dokumen rahasia lain yang berada di kediaman Trump.
Ketika penggeledahan terjadi, Donald Trump sedang berada di New York. Eric Trump, anak ketiga Trump, memberitahukan ayahnya bahwa FBI menggeledah Mar-a-Lago.
Pihak Trump menyebut lawan politiknya takut jika Donald Trump kembali maju pada pilpres AS 2024. Hingga kini, Donald Trump masih belum memberikan konfirmasi apakah ia akan mencoba jadi presiden lagi, namun ia sering melakukan kunjungan-kunjungan ke berbagai daerah untuk bertemu para simpatisannya.
Partai Republik Tak Terima
Partai Republik marah dan mantan Presiden Donald Trump menuntut penjelasan atas serangan FBI di rumahnya di Florida, Mar-a-Lago.
Dikutip BBC, Rabu (10/8), FBI dan Departemen Kehakiman belum mengomentari pencarian tersebut, yang diungkapkan Trump pada Senin malam.
Partai Republik menggambarkan pencarian itu bermotif politik, dengan tokoh-tokoh terkemuka menuntut penjelasan dan penjelasan dari Jaksa Agung Merrick Garland, kepala Departemen Kehakiman (DoJ).
Mantan Wakil Presiden Trump, Mike Pence, yang secara halus menjauhkan diri di tengah spekulasi bahwa mereka berdua dapat meluncurkan pencalonan Gedung Putih 2024, meminta jaksa agung untuk memberikan "pertanggungjawaban penuh" tentang mengapa surat perintah penggeledahan dilakukan.
"Tidak ada mantan Presiden Amerika Serikat yang pernah menjadi sasaran penggerebekan kediaman pribadi mereka dalam sejarah Amerika," tulisnya di Twitter.
Sekutu Trump di Kongres, sementara itu, berjanji untuk meluncurkan penyelidikan jika mereka memenangkan kembali kendali Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat dalam pemilihan paruh waktu November, ketika keseimbangan kekuasaan di Washington akan diputuskan.
Sementara banyak Demokrat menyambut penggerebekan itu, yang lain bergabung dengan seruan agar Departemen Kehakiman memberikan lebih banyak informasi. Beberapa menyuarakan kekhawatiran bahwa hal itu dapat meningkatkan dukungan untuk mantan presiden.
"Ini bisa sangat berguna baginya karena banyak orang berkumpul di sekelilingnya selama ini," Dave Aronberg, pengacara negara bagian untuk Palm Beach, tempat Mar-a-Lago bermarkas, mengatakan kepada BBC.
"Trump akan menggunakan ini untuk mendapatkan kembali status martirnya."
Advertisement