Penurunan Stunting Perlu Perhatikan 5 Hal Konkret Demi Wujudkan Manusia Indonesia yang Lebih Berdaya Guna

Plt. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Mahfud MD menyampaikan bahwa penurunan stunting adalah salah satu program yang paling penting di antara beberapa program prioritas nasional yang dicanangkan presiden.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 11 Agu 2022, 16:12 WIB
Plt. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Mahfud MD dan Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam Rapat Penelaahan (Reviu) Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting Tahun Anggaran 2022, Kamis (11/8/2022). (Foto: Liputan6/Ade Nasihudin).

Liputan6.com, Jakarta - Plt. Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Mahfud MD menyampaikan bahwa penurunan stunting adalah salah satu program yang paling penting di antara beberapa program prioritas nasional yang dicanangkan presiden.

Pasalnya, penurunan stunting berkaitan dengan pembangunan manusia Indonesia yang lebih bisa berdaya saing di masa depan.

“Visi Indonesia emas tahun 2045 akan dapat tercapai apabila sumber daya manusia (SDM) Indonesia unggul dan siap mengisi berbagai momen kompetisi global dengan negara lain di dunia. Jadi kita punya visi 2045 yang diatur dua peraturan presiden tahun 2010 dan 2016,” kata Mahfud dalam Rapat Penelaahan (Reviu) Program Bangga Kencana dan Percepatan Penurunan Stunting Tahun Anggaran 2022, Kamis (11/8/2022).

Di tahun 2045, presiden menargetkan Indonesia sudah menjadi negara maju dengan proyeksi Indonesia menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia. Serta menjadi negara demokrasi terbesar ketiga di dunia.

“Jadi proyeksi yang besar-besar itu kan Republik Rakyat Cina (RRC), India, Amerika, lalu Indonesia atau Jepang.”

Untuk menuju Indonesia emas tersebut maka diperlukan penurunan stunting. Pasalnya, jika Indonesia memiliki berbagai sumber data tapi sumber daya manusianya lemah maka sumber daya yang ada pun tidak akan jalan.

“Atas dasar hal tersebut saya menganggap langkah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) untuk program Bangga Kencana dan akselerasi penurunan stunting ini adalah langkah yang sangat strategis.”

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Kawal 5 Hal Konkret

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Jakarta (11/8/2022). (Foto: Liputan6/Ade Nasihudin).

Untuk memastikan program ini berdampak dan penggunaan anggarannya akuntabel maka setidaknya terdapat 5 hal konkret yang perlu dikawal oleh BKKBN termasuk pemerintah daerah.

Kelima hal tersebut yakni:

-Memastikan bahwa indikator keberhasilan program penurunan stunting harus tepat dan menggambarkan hasil

-Memastikan bahwa target masyarakat yang menjadi penerima manfaat sudah ditetapkan secara tepat

-Memastikan tercipta kerja kolaboratif dalam pelaksanaan program

-Memastikan bahwa rincian kegiatan dari program ini betul-betul tepat

-Memastikan bahwa baik pimpinan dan seluruh jaringan memantau secara aktif keberhasilan dari program ini.

Mahfud juga menyampaikan, dalam rangka pembangunan bangsa dan negara di Indonesia, presiden memiliki 3 kebijakan dasar yang meliputi:

-Mengurangi birokratisasi, hal ini dilakukan dengan pemotongan eselon-eselon yang terlalu banyak dan diberikan tugas yang lebih pasti

-Pembinaan SDM agar kuat dan berkualitas, upaya yang dilakukan untuk kebijakan ini salah satunya penurunan stunting. Sedangkan di lingkungan birokrasi, ada pelatihan dan pemberian keterampilan serta penetapan target kerja

-Digitalisasi pemerintahan,

“Jadi birokrasinya disederhanakan, manusianya dicetak agar lebih berkualitas, dan digitalisasi agar segala hal bisa dilakukan secara cepat, instan, dan memiliki konektivitas yang cepat.”


Upaya Penurunan Stunting

Kepala BKKBN Hasto Wardoyo. Foto (Liputan6.com/Ade Nasihudin)

Dalam kesempatan yang sama, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menyampaikan, sejauh ini berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka stunting. Dalam 6 bulan terakhir pihaknya telah melakukan program spesifik.

“Program spesifik ini bagaimana mengawal mereka (masyarakat) terkait proses reproduksi. Semua kementerian lembaga memiliki komitmen, kami dan Kementerian Agama berkomitmen untuk tidak menikahkan pasangan sebelum diperiksa (kesehatan reproduksinya),” ujar Hasto. 

Kemudian, lanjut Hasto, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) memiliki komitmen untuk bantuan-bantuan jamban dan sebagainya difokuskan kepada pasangan usia subur.

“Kalau ada nenek-nenek enggak punya jamban tapi juga ada ibu muda yang hamil tapi enggak punya jamban, kalau uangnya terbatas ya mohon maaf ibu yang akan punya bayi ini diutamakan dulu. Artinya, ibu yang akan punya bayi jadi prioritas.”

Kementerian PUPR dengan BKKBN kemudian bekerja sama untuk memastikan data-data terkait.

“Ada pula bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) terus Kementerian Pertanian juga memiliki program Rumah Pangan Lestari yang dikoneksikan dengan keluarga yang hamil dan hendak hamil.”

Gerakan 6 bulan ke belakang juga melibatkan tim pendamping keluarga. Sebelumnya, tim ini tidak ada, tapi selama 6 bulan ke belakang tim ini ada untuk mendampingi  warga yang hamil dan melahirkan.


Audit Stunting

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, NTT memiliki 15 kabupaten berkategori “merah” dan tidak ada satupun daerah berstatus 'hijau' stunting. (Dok BKKBN RI)

Selama 6 bulan ini juga ada tim audit stunting yang tersebar di masing-masing daerah. Audit tersebut dilakukan untuk mencari tahu penyebab terjadinya stunting, memproses bukti dan data dari temuan di lapangan, untuk membuat kebijakan dan program agar tidak terjadi kasus baru.

“Kita juga sudah mulai survei status gizi Indonesia (SSGI) tahun 2022, kita tunggu lah hasilnya.”

Hasto juga menyinggung soal Dana Alokasi Khusus (DAK) Bantuan Operasional Keluarga Berencana (BOKB). Menurutnya DAK BOKB harus memengaruhi percepatan penanganan stunting.

“Karena stunting sangat dipengaruhi jarak kehamilan dan jarak kelahiran, kalau dana BOKB-nya enggak diserap berarti banyak yang harusnya KB enggak KB, stunting kan kebanyakan terjadi ketika jarak kehamilan terlalu dekat.”

Di lapangan, Hasto banyak menemukan kasus jarak kelahiran terlalu dekat, misalnya anak pertama usia 2 dan anak kedua berusia 7 bulan. Ini ia sebut sebagai “malapetaka” di sisi lain, bisa pula timbul kecemburuan pada anak atau anak tidak terurus. Jika anak tidak diurus dengan baik, risiko stunting semakin tinggi.

Terkait serapan anggaran BOKB, ia menyebut sekitar 38 hingga 48 persen.

 

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya