Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan fakta jika pandemi Covid-19 bukan satu-satunya yang paling mengancam perekonomian nasional dan global.
Risiko perekonomian mulai bergeser, di mana kondisi finansial dan geopolitiklah yang sekarang menjadi ancaman perekonomian global.
Advertisement
Menurut Sri Mulyani, meskipun kondisi pandemi belum selesai, namun resikonya terhadap perekonomian dapat dikelola dengan baik.
Di mana meski ada kenaikan kasus, Menkeu berharap masyarakat akan mendapatkan vaksinasi booster sehingga tetap bisa menjaga momentum penyehatan masyarakat atau bisa menghindar dari ancaman covid-19.
"Namun apabila covid-19 ini telah bisa kita kelola dengan baik, kita melihat munculnya resiko baru. Jadi resiko terhadap perekonomian dan terhadap negara kita bergeser kepada tekanan ekonomi global," kata Menkeu dalam konferensi APBN KiTa Agustus 2022, Kamis (11/8/2022).
Artinya, di lingkungan ekonomi global pasca atau sesudah 2 tahun pandemi situasinya tidak baik-baik saja. Pertama, akibat pandemi terjadi disrupsi supply, yaitu produk-produk dan distribusi barang tidak berjalan lancar atau belum normal kembali.
"Ini yang menyebabkan pada saat masyarakat mulai mobilitasnya tinggi dan permintaan terhadap barang jasa mulai normal, permintaan itu tidak dipenuhi oleh sisi produksinya karena sesudah 2 tahun terkena pandemi ternyata normalisasi produksi tidak begitu saja mudah terjadi," ujarnya.
Kedua, dalam situasi itu kemudian muncul kondisi geopolitik yang eskalatif, yaitu terjadinya ketegangan bahkan sampai perang yang terjadi di Ukraina, dan sekarang ketegangan juga melonjak tinggi di Taiwan.
"Ini pasti akan menimbulkan tambahan risiko pada disrupsi supply. Nah di sisi lain seluruh negara di dunia selama pandemi melakukan counter cyclical melalui stimulus fiskal dan moneter," katanya.
Sehingga permintaan mulai pada tahun 2021 dan 2022, dengan adanya disrupsi supply akibat pandemi dan sekarang masalah perang atau geopolitik, sementara demand side meningkat membuat inflasi global yang melonjak sangat tinggi.
As dan Eropa Bergejolak
Bahkan di negara Amerika dan Eropa tingkat inflasinya tertinggi dalam 40 tahun terakhir, dengan inflasi yang bergejolak melonjak sangat tinggi maka kemudian dilakukan respons kebijakan moneter melalui pengetatan likuiditas dan kenaikan suku bunga.
Tindakan ini menimbulkan efek spill over atau rembetan ke berbagai negara volatilitas pasar keuangan melonjak, Capital outflow terjadi di negara berkembang dan negara-negara emerging dan ini menekan nilai tukar rupiah dan juga meningkatkan cost of fund atau lonjakan biaya utang.
Kata Menkeu, negara-negara yang sebelum pandemi kemudian selama pandemi kondisi keuangan negaranya mengalami pemburukan atau sudah memiliki eksposur utang yang sangat tinggi di atas 60 persen atau bahkan mendekati 100 persen, pasti akan mengalami tekanan yang jauh lebih hebat melalui kenaikan nilai tukar dan lonjakan biaya bunga atau cost of fund ini
"Sehingga IMF menyampaikan bahwa di seluruh dunia ini ada 60 negara lebih yang berpotensi menghadapi krisis utang atau default, dan ini disebabkan karena biaya utang maupun refinancing risk yang melonjak tinggi," ujarnya.
Advertisement
Ekonomi Global Melemah
Menurutnya, kondisi pelemahan di sisi keuangan negara berbagai negara, dengan inflasi yang tinggi, pengetatan suku bunga atau moneter, tentu akan memperlemah kondisi pertumbuhan ekonomi dunia.
Kombinasi Pelemahan ekonomi dan inflasi yang masih tinggi adalah sebuah Kombinasi yang sangat rumit dan berbahaya, bagi para policy maker dan bagi perekonomian.
"Inilah yang kita sebut risiko perekonomian bergeser dari yang tadinya yang mengancam paling utama adalah dari pandemi, sekarang bergeser menjadi risiko finansial melalui berbagai penyesuaian kebijakan dan lonjakan inflasi yang tinggi," pungkasnya.