Liputan6.com, Purwokerto - Tabir kematian Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat atau yang biasa dikenal dengan Brigadir J atau Brigadir Yoshua mulai terbuka lebar.
Ini terjadi setelah akhirnya Polri menetapkan mantan Kadiv Propam Ferdy Sambo sebagai tersangka pembunuhan berencana, berperan menyuruh hingga membuat skenario bahwa pembunuhan Brigadir Yoshua adalah tembak menembak antar-personel polisi.
Baca Juga
Advertisement
Penyidik menerapkan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara selama-lamanya 20 tahun.
Kasus yang sampai membuat Presiden Jokowi buka suara itu sangat menyita perhatian publik sebulan terakhir ini. Masyarakat menunggu keseriusan Kapolri menuntaskan kasus pembunuhan ini.
Perihal hukuman mati untuk pelaku kejahatan berat, ulama NU telah membahasnya dalam Muktamar NU Ke-33 di Jombang pada 1-6 Agustus 2015.
Dalam kesempatan itu, dibahas mengenai hukum fiqih hukuman mati dan apakah hukuman mati tak bertentangan dengan HAM.
Sebagaimana diketahui, dalam syariat Islam ada berbagai hukuman sesuai dengan kejahatannya. Terberat adalah hukuman qisash atau hukuman mati.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Qishas atau Hukuman Mati Sebagai Perlindungan Kehidupan
Froum tersebut menghasilkan sejumlah kesimpulan. Mengutip NU Online, Islam secara tegas mensyariatkan hukuman mati yang atas tindak kejahatan pembunuhan, dan tindak kejahatan berat tertentu. Hukuman mati atas kejahatan berat yang menimbulkan kerusakan besar di tengah masyarakat luas.
Beberapa negara ternyata menerapkan hukuman mati untuk tindakan tertentu yang membahayakan dengan berbagai tujuan. Namun, banyak pula negara yang menolaknya dengan dalih hukuman mati bagian dari pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Hukuman mati bagi masyarakat dunia sampai sekarang masih menjadi perdebatan yang tidak berujung dan tetap menjadi kontroversi.
Merespons pertanyaan dalam Muktamar NU Ke-33: “Apakah hukuman mati tidak bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM)?”, ulama yang tergabung dalam Komisi Bahtsul Masail Maudhu’iyah menghasilkan keputusan sebagaimana berikut.
Islam sangat menghargai kemanusian. Dalam Islam, hak-hak manusia yang paling asasi disimpulkan dalam apa yang dikenal dengan istilah ad-dharuriyyat al-khams (lima prinsip pokok), yaitu hifzh ad-din (menjaga agama), hifzh al-‘aql (menjaga akal), hifzh an-nafs (menjaga jiwa), hifzh mal (menjaga harta), dan hifzh nasl/hifzh al-‘irdh (menjaga keturunan/martabat) Jadi hak hidup dan perlindungan terhadap jiwa manusia merupakan salah satu persoalan yang urgen dalam Islam.
Setiap upaya yang bertujuan melindungi keselamatan jiwa harus didukung; dan setiap tindakan yang mengarah pada terancamnya keselamatan jiwa harus dicegah. Alangkah kejam tindakan pidana pembunuhan sehingga di dalam al-Qur’an, orang yang membunuh satu jiwa saja digambarkan seolah-olah membunuh manusia seluruhnya.
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Artinya, “Orang yang membunuh orang lain tanpa sebab pembunuhan atau berbuat kerusakan di bumi, maka seolah-olah ia membunuh seluruh manusia.” (Al-Maidah: 32) Akan tetapi dalam waktu yang sama, al-Qur’an mengabaikan perlindungan terhadap keselamatan jiwa orang yang melakukan pembunuhan tanpa alasan yang dibenarkan, sehingga al-Qur’an membolehkan, bahkan mewajibkan membunuh orang tersebut sebagai hukuman pembalasan (qishash).
Hikmahnya dapat kita pahami dari pernyataan al-Qur’an berikut:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ
Artinya, “Dalam qishash terdapat kehidupan bagi kalian.” (Al-Baqarah: 179).
Advertisement
Hakikat di Balik Hukum Qisash
Bahwa di balik hukum qishash, pada hakikatnya, di situ ada kehidupan. Sebab, apabila orang tahu bahwa kalau membunuh akan dibunuh, ia tidak akan melakukan pembunuhan tersebut sehingga terjagalah kehidupan.
Al-Qur’an juga mengabaikan perlindungan terhadap orang yang melakukan kerusakan di atas bumi karena kerusakan yang dia ciptakan merugikan kemaslahatan publik, sementara pembunuhan terhadap dirinya bersifat privat. Di kalangan Fuqaha’ dan Ushuliyyin terjadi perbincangan tentang skala prioritas atau urut-urutan hierarkis menyangkut lima pokok dasar di atas (ad-dharuriyyat al-khams).
Misalnya, ada pertanyaan manakah yang harus diprioritaskan bila terjadi ta’arudh (pertentangan) antara hifzh ad-din dan hifzh an-nafs? Pertanyaan ini terjawab dengan pernyataan al-Qur’an:
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
Artinya, “Fitnah lebih besar dosanya daripada pembunuhan.” (QS. al-Baqarah: 217)
Ini berarti bahwa pembunuhan (hukuman mati, pen) bisa dilakukan dalam rangka menghindarkan diri dari fitnah, yaitu setiap perbuatan yang mengancam dan merugikan Islam dan kaum Muslimin. (Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsirul Munir, juz II, halaman 257).
Pertanyaan juga muncul ketika terjadi pertentangan antara hifzh an-nafs dengan hifzh an-nasl, mana yang dimenangkan?
Pertanyaan ini meski tidak bersifat mutlak terjawab dengan disyariatkannya hukuman rajam atas pelaku zina muhshan (yang pernah punya pasangan; pen).
Artinya pembunuhan dengan cara rajam yang dapat menciptakan efek jera dikenakan kepada pelaku zina muhshan. Pertanyaannya, mengapa pembunuhan (hukuman mati, pen) semacam itu harus dilakukan? Jawabannya, karena kerugian dan mafsadah yang ditimbulkannya bersifat individual, sedangkan mafsadah yang timbul dari zina muhshan bersifat sosial serta bau busuknya diwariskan sampai anak cucu, dan itu bertentangan dengan karamah insaniyyah sebagai anugerah Allah paling besar kepada bani Adam, sebagaimana difirmankan:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ
Artinya, “Dan benar-benar kami muliakan anak Adam.” (Al-Isra`: 70).
Prinsip HAM dalam Syariat Islam
Maka sesungguhnya kehidupan jiwa yang harus dilindungi adalah kehidupan yang memiliki karamah insaniyyah. Dari keterangan tersebut, pertanyaan di atas bisa dijawab, bahwa hak-hak asasi manusia, termasuk di dalamnya perlindungan terhadap hak hidup, merupakan prinsip yang sangat mendasar dalam syariat Islam.
Dan ajaran Islam dalam hal ini telah hadir lebih seribu tahun sebelum Declaration of The Human Rights yang digelar PBB pada 10 Desember 1948. Akan tetapi, ini tidak berarti bahwa Islam menutup ruang untuk diterapkannya hukuman mati.
Hukuman mati bisa diterapkan terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang merusak harkat dan martabat manusia dengan beberapa syarat yang ketat, di antaranya dibuktikan dengan alat bukti yang kuat dan meyakinkan. Dan hal ini tidak dianggap bertentangan dengan HAM dan konsep Islam.
Demikian pandangan ulama NU tentang hukuman mati yang dinilai tidak bertentangan dengan HAM. Secara lebih lengkap pandangan ulama NU tentang hukuman mati dapat dibaca di buku Ahkamul Fuqaha Problematika Aktual Hukum Islam Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama halaman 1113-1120. Wallâhu a’lam.
Sumber: nu.or.id
Tim Rembulan
Advertisement