Liputan6.com, Jakarta - Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mendukung upaya Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) terkait regulasi pelabelan Bisfenol A (BPA) pada kemasan plastik.
Hal ini semata-mata demi keamanan dan perlindungan kesehatan masyarakat, mengingat partikel BPA menurut sejumlah penelitian berdampak buruk bagi tubuh.
Advertisement
Seperti diketahui bahwa BPOM RI berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi Peraturan Badan POM Nomor 31 tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Menurut Kepala BPOM RI, Penny K Lukito, isu BPA dalam produk pangan olahan merupakan perhatian global yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana untuk kepentingan perlindungan kesehatan konsumen.
BPA atau Bisfenol A adalah senyawa kimia yang digunakan untuk membuat sejenis plastik polikarbonat, sering digunakan untuk food contact material seperti kemasan air galon atau sebagai resin epoksi dalam lapisan pelindung kaleng untuk pangan atau minuman.
Dalam keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Jumat, 12 Agustus 2022, Sekretaris Jenderal PB IDI, dr Ulul Albab SpOG mengatakan bahwa selama ini masyarakat hanya menyoroti jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi terhadap kesehatan.
Namun, lanjut Ulul, mengabaikan pengaruh kemasan makanan atau minuman tersebut serta kandungan dalam kemasalan tersebut terhadap kesehatan.
Masih dari keterangan tersebut diketahui data dari Kementerian Perindustrian bahwa sekitar 78 persen industri menggunakan plastik untuk makanan dan minuman kemasan. Sementara sekitar 16,5 persen sisanya digunakan untuk kemasan minuman berkarbonasi.
BPA Menurut Pandangan Ahli Kesehatan
Sementara itu, Ketua Bidang Kajian Penanggulangan Penyakit Tidak Menular PB IDI, dr Agustina Puspitasari SpOK SubSp SbioKO(K) menjelaskan bahwa BPA secara global banyak digunakan pada produk-produk seperti botol air yang dapat digunakan kembali, plastik polikarbonat, plastik pengemas, pelapis kaleng makanan, pipa air.
Namun, migrasi partikel BPA ke dalam makanan atau minuman yang bersinggungan langsung pada kemasan primernya menimbulkan keprihatinan mengingat dampak risiko kesehatan yang ditimbulkannya.
Dijelaskan Agustina bahwa berdasar beberapa hasil penelitian menunjukkan paparan BPA memengaruhi fisiologi yang dikendalikan oleh endokrin, kelenjar prostat dan perkembangan otak pada janin, bayi dan anak-anak.
Hal ini juga memengaruhi kesehatan dan perilaku anak. Penelitian lain juga menunjukan kemungkinan hubungan antara BPA dengan peningkatan tekanan darah, diabetes tipe 2, dan penyakit kardiovaskular.
Pada tahun 1950, lanjut Agustina, BPA mulai digunakan dalam resin epoksi dan bahan dasar pembuatan plastik polikarbonat. Namun, pada 1970 program nasional toksisitas di US menemukan bahwa BPA bersifat toksik bagi organ reproduksi.
Setelah melewati banyak uji penelitian, Badan Pengawas Makanan dan Obat di Amerika Serikat (US-FDA) pada 2008 menetapkan batas konsentrasi asupan, sementara negara Kanada mengeluarkan larangan terbatas penggunaan BPA dan mengklasifikasikannya sebagai zat beracun.
Advertisement
Selanjutnya
Lebih lanjut disebutkan bahwa Komisi Regulasi Uni Eropa pada 2011 mengeluarkan SML (Specific Migration Limit) dan melarang menggunakan BPA pada produk botol bayi dan anak-anak. Sejumlah negara bahwa menerapkan Pengaturan spesifik BPA pada kemasan pangan.
Seperti Prancis yang melarang penggunaan BPA pada seluruh kemasan kontak pangan. Negara bagian California di Amerika Serikat mewajibkan produsen untuk mencantumkan label 'kemasan ini mengandung BPA yang berpotensi menyebabkan kanker, gangguan kehamilan dan sistem reproduksi'.
Sementara Denmark, Austria, Swedia, Malaysia: pelarangan penggunaan BPA pada kemasan kontak pangan untuk konsumen usia rentan nol s.d tiga.
Dalam rangka memberikan perlindungan kepada masyarakat dan memberikan informasi yang benar dan jujur, Badan POM berinisiatif melakukan pengaturan pelabelan AMDK pada kemasan plastik dengan melakukan revisi Peraturan Badan POM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI, Penny K Lukito menegaskan bahwa isu BPA dalam produk pangan olahan ini bukan masalah kasus lokal atau nasional, tetapi merupakan perhatian global yang harus disikapi dengan cerdas dan bijaksana untuk kepentingan perlindungan kesehatan konsumen.
PB IDI mendukung upaya Badan POM RI dalam kajian regulasi pelabelan BPA pada Kemasan Plastik demi keamanan dan perlindungan Kesehatan masyarakat.
Saran PB IDI
Ulul juga mengingatkan semua pihak untuk menerapkan visi ekonomi plastik baru sesuai dengan rekomendasi UNEP, yaitu:
- Mengeliminasi plastik yang tidak kita butuhkan
- Berinovasi untuk memastikan bahwa plastik yang kita butuhkan dapat digunakan kembali, dapat didaur ulang, dapat dikomposkan kembali, serta
- Sirkulasikan semua barang plastik yang kita gunakan untuk menjaganya tetap ekonomis dan ramah lingkungan.
Terkait BPA pada kemasan plastik, berikut rekomendasi IDI pada pemerintah, industri dan masyarakat
- Pemberian label ada atau tidak adanya BPA dalam kemasan makanan dan minuman
- Bagi produsen dan pelaku industri, Konsultasikan kandungan dan aturan pelabelan pada Badan POM RI demi keselamatan masyarakat
- Pilihlah kemasan plastik yang memiliki label Bebas BPA, termasuk pada Air Minum Dalam Kemasan
- Hindari menggunakan, menyimpan, ataupun mencuci botol berkali-kali dalam suhu tinggi
- Produsen dan konsumen harus bijak dalam memproduksi dan memilih kemasan plastik untuk melindungi kesehatan masyarakat
Advertisement