Liputan6.com, Kabul - Satu tahun setelah Taliban merebut kekuasaan, media Afghanistan menghadapi sensor, kekerasan dan kesulitan ekonomi, dan suara perempuan sebagian besar dibungkam.
Ketika peringatan pengambilalihann kekuasaan semakin dekat, para jurnalis dan kelompok kebebasan media termasuk Wartawan Tanpa Batas atau Reporters Without Borders (RSF) dan Komite Perlindungan Wartawan (CPJ) memberikan penilaian tentang situasi media yang pernah berkembang pesat di negara itu.
Baca Juga
Advertisement
Secara terpisah, wartawan yang berbicara dengan VOA menggambarkan arahan yang membatasi. Sedangkan mereka yang berada di provinsi terpencil mengatakan kondisinya lebih keras, termasuk media harus meminta izin sebelum menerbitkan berita, seperti dikutip dari laman VOA Indonesia, Minggu (14/8/2022).
Jurnalis perempuan dilarang bekerja di outlet media yang dikelola pemerintah. Mereka yang berada di sektor swasta dapat muncul di TV hanya jika wajah mereka ditutupi. Yang lain mengatakan mereka diintimidasi agar berhenti bekerja.
Karena media tidak lagi dapat menyiarkan musik atau sinetron populer dan program hiburan, dan sumber pendapatan iklan terputus, banyak outlet terpaksa berhenti beroperasi.
Aturan Taliban membatasi kebebasan pers dan membuka jalan bagi “penindasan dan penganiayaan,” kata pemantau media RSF dalam sebuah laporan baru.
Taliban “tidak menunjukkan komitmen sama sekali pada kebebasan pers,” kata Pauline Ades-Mevel, juru bicara RSF yang berbasis di Paris, kepada VOA.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Wartawan Berjuang Hidup
“Mereka telah mengambil beberapa tindakan yang sangat keras terhadap jurnalis.”
CPJ yang berbasis di New York secara terpisah mendapati wartawan Afghanistan “berjuang untuk bertahan hidup” di bawah sensor, penangkapan, serangan dan pembatasan terhadap perempuan.
Hasilnya adalah ketakutan dan penyensoran diri, kata pemantau lokal di Afghanistan.
Wartawan “takut akan konsekuensi meliput berita,” kata seorang anggota pengawas media Afghanistan kepada VOA.
Dia menambahkan bahwa jurnalis “tidak merasa aman” bekerja di bawah Taliban. “Media tidak dapat beroperasi secara bebas jika tidak ada kebebasan berpendapat.”
Aktivis yang berbasis di Kabul itu meminta agar nama dia maupun organisasinya tidak disebut karena takut akan pembalasan.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Jelang 1 Tahun Taliban Berkuasa di Afghanistan, Kisah Wartawan Kabur Terkuak
Tanggal 15 Agustus adalah peringatan satu tahun kembalinya Taliban berkuasa di Afghanistan pada 2021. Kisah ini mencakup laporan saksi mata pada hari jatuhnya Kabul, kisah-kisah pengungsi Afghanistan di seluruh dunia, dan analisis yang berdasarkan data tentang catatan pemerintahan dan hak azasi manusia di pemerintahan Taliban, di antara topik-topik lain.
Ketika sebuah stasiun berita televisi lokal di negara bagian New York menampilkan kisah seorang wartawan Afghanistan yang melarikan diri dari kekuasaan Taliban, wartawan itu - Esmatullah Bilal Ahmadzai tidak hanya sekadar mendapat liputan, namun juga pekerjaan di kantor berita televisi.
“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya tidak percaya pada akhirnya saya akan menjadi wartawan lagi,” katanya.
Pada waktu yang sama tahun lalu, Esmatullah menjadi pembawa berita untuk TV Shamshad, Afghanistan.
Ia selamat dari serangan terhadapnya dan stasiun TV tempatnya bekerja. Ia bahkan pernah melompat dari jendela lantai dua, untuk melarikan diri dari orang-orang bersenjata. Namun ia tetap berencana tinggal di negaranya, bahkan ketika Taliban sedikit demi sedikit merebut bagian-bagian Afghanistan tahun lalu.
Tetapi ketika para militan mencapai Kabul, ia dengan enggan memutuskan untuk pergi.
“Ketika saya meninggalkan Afghanistan, saya meneteskan air mata. Saya membayangkan hal-hal yang mengerikan. Saya tahu ketika saya masuk pesawat, Afghanistan memasuki zaman kegelapan,” ujar Ahmadzai.
Ratusan wartawan telah melarikan diri dari Afghanistan, tetapi banyak yang merasa kesulitan mendapat pekerjaan di media.
Janji Taliban: Afghanistan Tak Akan Ancam Negara Lain
Sebelumnya dilaporkan, pemimpin tertinggi Taliban, Mullah Haibatullah Akhundzada, menegaskan bahwa tanah Afghanistan tidak akan dipakai untuk mengancam negara lain. Ia pun meminta agar komunitas internasional tidak mencampuri urusan dalam negeri Afghanistan.
Dilansir Arab News, Kamis (7/7), Taliban berkata mengikuti persetujuan yang mereka buat dengan Amerika Serikat di 2020 sebelum mengambil kekuasaan, yakni mereka janji akan melawan teroris. Afghanistan terus berjanji bahwa negaranya tidak akan menjadi basis untuk melancarkan serangan ke negara-negara lain.
"Kami memastikan ke tetangga-tetangga kami, kawasan, dan dunia bahwa kita tidak akan mengizinkan siapapun menggunakan kawasan kita untuk mengancam keamanan ngara lain. Kami juga ingin negara-negara lain tidak ikut campur masalah-masalah dalam negeri kami," ujar Akhundzada dalam pidato sebelum Hari Raya Idul Adha.
Sebelumnya, pemerintah Taliban dijatuhkan koalisi AS pada 2001 karena menampung Osama bin Laden. Taliban kembali merebut kekuasaan pada 2020 pada kudeta yang berlangsung cepat. Mantan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani menyelamatkan diri ke Uni Emirat Arab.
Sosok Akhundzada yang reklusif menjadi pemimpin spiritual Taliban sejak pendahulunya, Mullah Akhtar Mansour, terbunuh oleh serangan drone AS pada 2016.
Usai berkuasa, Akhundzada mendapat dukungan dari Ayman Al-Zawahiri, pemimpin Al-Qaeda.
Namun, ia kini berkata berkomitmen ingin memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.
"Di dalam kerangka interaksi dan komitmen bersama, kami ingin relasi diplomatik, ekonomi, dan politik yang baik dengan dunia, termsuk Amerika Serikat, dan kami menganggap ini kepentingan semua pihak," ujar Akhundzada.
Advertisement