Kisah Komodor Udara Adisutjipto Urung Jadi Dokter karena Cinta Dunia Dirgantara  

Setelah lulus dari tingkat pertama, Adisutjpto diterima sebagai kadet penerbang.

oleh Tifani diperbarui 15 Agu 2022, 13:00 WIB
Bandara Adisutjipto Yogyakarta (Liputan6.com / Switzy Sabandar)

Liputan6.com, Yogyakarta - Agustinus Adisutjipto merupakan salah satu komodor udara muda yang pernah dimiliki Indonesia. Adisucipto lahir pada 3 Juli 1916 di Salatiga, Jawa Tengah.

Ia menjadi satu-satunya orang yang memiliki ijazah Groote Militaire Brevet atau ijazah penerbang pada saat itu. Namun Adisucipto kecil tak diizinkan menjadi penerbang oleh sang ayah.

Dikutip dari berbagai sumber, ia merupakan putra sulung dari Roewidodarmo, seorang pensiunan pemilik sekolah di Salatiga.  Saat masih muda, Adisutjpto memiliki kegemaran membaca buku filsafat kemiliteran dan buku olahraga. 

Ketika ia sudah lulus dari sekolah menengah pertama atau Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Adisutjpto melanjutkan pendidikannya sebagai calon dokter yang bersekolah di GHS (Geneeskundige Hoge School).

Namun kecintaannya pada dunia dirgantara ternyata membelokkan niat mulianya untuk menjadi seorang dokter. Adisutjpto kemudian meminta izin dari sang ayah untuk bersekolah di Sekolah Penerbang Militaire Luchtvaart di Kalijati.

Ia lulus dengan hasil yang sangat memuaskan. Dari hasil ini, ayahnya pun akhirnya mengizinkan Adisutjpto untuk menempuh sekolah penerbangan.  Kini cita-cita Adisutjpto telah tercapai, ia mencurahkan semua perhatiannya kepada lapangan idamannya.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Jadi Kadet Penerbang

Setelah lulus dari tingkat pertama, Adisutjpto diterima sebagai kadet penerbang.  Bersamaan dengan sembilan siswa lainnya, Adisutjpto mencapai tingkat Vaandrig Kortverbang Vlieger atau Letnan Muda calon penerbang ikatan pendek. 

Namun, karena saat itu masih terdapat diskriminasi antara orang Belanda dengan Indonesia, maka dari 10 siswa, hanya terdapat lima orang yang lulus. Kelima orang ini mencapai tingkat Klein Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Pertama.

Dari lima orang ini, hanya ada dua orang saja yang berhasil mendapat Groot Militaire Brevet atau Brevet Penerbang Tingkat Atas, yaitu Agustinus Adisutjpto dan Sambudjo Hurip. Sejak menjadi penerbang, karier Adisucipto semakin melejit.

Ia diangkat menjadi Ajudan Kapitein (Kolonel) Clason, pejabat Angkatan Udara KNIL di Jawa. Ia menduduki jabatan ini sampai Jepang datang ke Indonesia pada 1942.

Pada masa pendudukan Jepang, semua bekas penerbang KNIL dibebastugaskan. Adisutjpto pun kembali ke rumah orang tuanya di Salatiga.

Di sana ia bekerja sebagai jurutulis di Perusahaan Angkutan Bus (Jidosya Jimukyoku). Ketika revolusi meletus, Adisutjpto pindah ke Yogyakarta. 

Kemudian dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) bagian penerbangan pada markas tertinggi TKR berdasarkan maklumat pemerintah pada 5 Oktober 1945.  Bagian ini bertugas untuk membangun serta menyusun penerbangan militer. 

Soerjadi Soerjadarma, perwira lulusan Akademi Militer di Breda, diangkat sebagai Komodor Udara.  Ia kemudian memanggil Adisucipto untuk turut membantu menyusun kekuatan di udara.

Soerjadarma juga turut memanggil semua penerbang bekas KNIL yang ada di Jawa.  Pada Desember, Oerip Sumohardjo, kepala staf umum Tentara Nasional Indonesia (TNI atau TKR), memerintahkan agar para komandan segera mengklasifikasikan seluruh material dan penerbang serta melapor ke Markas Besar Umum (MBU).

 


Jadi Komodor Muda Udara

Dari pengumuman ini, Adisutjpto kemudian diangkat menjadi Komodor Muda Udara. Ia diberi tugas untuk mengambil alih seluruh material, personel, dan instalasi. Pada saat Agresi Militer Belanda I, Adisucipto bersama Abdulrahman Saleh, komodor muda udara, diperintahkan untuk ke India menggunakan pesawa Dakota VT-CLA. 

Mereka berhasil menerobos blokade udara Belanda menuju India dan Pakistan. Sebelum kembali ke Indonesia, mereka lebih dulu singgah ke Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan Palang Merah Malaya.  Soerjadi Surjadarma pun sudah menunggu kedatangan pesawat ini di Lanud Maguwo.

Ia memerintahkan agar pesawat tidak berputar-putar sebelum mendarat untuk menghindari kemungkinan serangan udara pada pesawat tersebut. Saat pesawat yang ditumpangi Adisucipto dan Saleh mendekati Lanud Maguwo, pesawat ini masih berputar-putar untuk bersiap mendarat.

Tiba-tiba muncul dua pesawat Kittyhawk milik Belanda dari arah utara.  Pesawat ini diwakili oleh Lettu B.J. Ruesink dan Serma W.E. Erkelens yang langsung menjatuhkan tembakan ke pesawat Dakota VT-CLA. 

Akibatnya, pesawat pun hilang kendali kemudian jatuh di perbatasan Desa Ngoto dan langsung terbakar.  Semua penumpang di pesawat tersebut pun meninggal, salah satunya Agustinus Adisutjpto.

Ia dimakamkan di pemakaman umum Kuncen I dan II, lalu dipindahkan ke Monumen Perjuangan TNI AU pada 14 Juli 2000 di Sewon, Yogyakarta. Untuk mengenang jasanya, Adisutjpto dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional, namanya pun dijadikan nama bandar udara di Yogyakarta.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya