Ilmuwan Taiwan Kembangkan Tes PCR untuk Diagnosis Virus Langya

Pusat Pengendalian Penyakit (CDC Taiwan) melaporkan bahwa ilmuwan Taiwan telah mengembangkan proses pengujian berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendiagnosis Langya henipavirus (LayV).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 15 Agu 2022, 14:00 WIB
Komuter berjalan melalui stasiun kereta bawah tanah selama jam sibuk pagi hari di kawasan pusat bisnis di Beijing, Selasa, 9 Agustus 2022. 11 juta lulusan universitas China sedang berjuang di pasar kerja yang suram musim panas ini karena penutupan berulang di bawah lockdown COVID memaksa perusahaan untuk mengurangi dan mendorong banyak restoran dan pengusaha kecil lainnya keluar dari bisnis. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta Pusat Pengendalian Penyakit (CDC) Taiwan melaporkan bahwa ilmuwan Taiwan telah mengembangkan proses pengujian berbasis Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk mendiagnosis virus Langya (LayV).

LayV adalah virus baru yang berasal dari hewan yang telah terdeteksi di China timur.

Virus yang pertama kali dijelaskan oleh ilmuwan China dalam artikel 4 Agustus di New England Journal of Medicine (NEJM), telah menginfeksi lusinan pasien. Terutama petani, di provinsi Shandong dan Henan China, banyak di antaranya memiliki gejala seperti demam, kelelahan dan batuk.

Virus ini diyakini telah ditularkan dari tikus ke manusia, tetapi saat ini tidak ada bukti bahwa itu dapat menyebar dari orang ke orang.

Pada hari Minggu 14 Agustus, Wakil Direktur Jenderal CDC Chuang Jen-hsiang mengatakan bahwa dengan menggunakan data yang disediakan dalam artikel NEJM, “peneliti Taiwan mengembangkan metode pengujian berbasis PCR untuk mendiagnosis LayV,” mengutip Focus Taiwan, Senin (15/8/2022).

Virus tersebut belum terbukti menyebar dari orang ke orang maka kemungkinan tidak akan menyebar ke Taiwan, kata Chuang. Meski begitu, dokter tetap didorong untuk melaporkan dugaan infeksi, untuk menguji kemampuan respons pemerintah.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


35 Orang Terinfeksi

Orang-orang yang memakai masker berbaris untuk tes COVID-19 di fasilitas pengujian virus corona di Beijing, China, Jumat (12/8/2022). Penularan Omicron yang tinggi membuat lebih sulit untuk membersihkan infeksi. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Sebelumnya, China melaporkan ada 35 orang yang terinfeksi virus Langya. Sebenarnya, virus ini pertama kali terdeteksi pada akhir 2018 di Shandong dan Henan yang merupakan daerah perbatasan dan terletak di timur laut China. Namun, baru diidentifikasi secara resmi oleh para ilmuwan pada awal Agustus.

Mengutip Newsweek, CDC Taiwan berjanji akan mulai mengembangkan prosedur untuk melacak virus Langya dan mengurutkan genomnya. Janji ini ditepati dengan pengembangan pengujian PCR untuk deteksi Langya.

Tak satupun dari 35 pasien yang diketahui memiliki kontak dekat satu sama lain atau ditemukan memiliki titik pajanan yang sama. Ini menunjukkan bahwa penyebaran virus Langya telah sporadis pada manusia pada saat ini. Virus ini juga diketahui ditemukan pada hewan tertentu, seperti tikus.

Sejauh ini belum diketahui apakah penyebaran virus Langya kali ini disebabkan oleh transfer dari hewan, tetapi pihak berwenang China tetap meminta semua pihak agar berhati-hati.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Gejala Infeksi Virus Langya

Ilustrasi Demam dan Sakit Kepala Credit: pexels.com/pixabay

Beberapa gejala virus Langya antara lain sebagai berikut:

-Demam

-Kelelahan

-Batuk

-Mialgia

-Sakit kepala

-Muntah.

Dari gejala yang dialami pasien dengan virus Langya, demam adalah yang paling umum, dengan 100 persen pasien mengalami demam seperti dilansir dari Medical News Today.

Sekitar setengah dari pasien mengalami kelelahan, batuk, dan kehilangan nafsu makan. Juga, sekitar sepertiga pasien dengan virus Langya mengalami gangguan fungsi hati, dan 8 persen pasien mengalami gangguan fungsi ginjal.

Sejauh ini, para peneliti belum menemukan bukti penularan virus dari manusia ke manusia. Mereka menemukan bahwa tidak ada pasien yang tertular virus Langya yang tertular satu sama lain. Selain itu, tidak satupun dari mereka menyebarkannya ke orang lain di rumah mereka.

Temuan ini tidak berarti penularan dari manusia ke manusia tidak terjadi. Para peneliti menunjukkan bahwa ukuran sampel mereka terlalu kecil untuk dipastikan pada saat ini.

“Pelacakan kontak dari 9 pasien dengan 15 anggota keluarga kontak dekat mengungkapkan tidak ada penularan LayV kontak dekat, tetapi ukuran sampel kami terlalu kecil untuk menentukan status penularan dari manusia ke manusia,” tulis para peneliti.


Dampak Virus Langya

Seorang pria bermasker jongkok saat menunggu untuk menyeberang jalan di Shanghai (2/6/2022). Lalu lintas, pejalan kaki dan pelari muncul kembali di jalan-jalan Shanghai ketika kota terbesar di China mulai kembali normal di tengah pelonggaran penguncian COVID-19 dua bulan yang ketat atas penerapannya. (AP Photo/Ng Han Guan)

Para peneliti berencana untuk terus memantau virus Langya, dan Pusat Pengendalian Penyakit Taiwan dilaporkan berencana untuk mengembangkan pengujian untuk virus Langya.

“Ini adalah virus yang baru dideskripsikan pada manusia dan diperlukan lebih banyak penelitian,” kata Dr. Monica Gandhi, seorang ahli penyakit menular, yang berbasis di San Francisco.

“Namun, mengingat tidak ada penularan dari manusia ke manusia, virus ini tidak mungkin menjadi ancaman besar bagi populasi dan mudah-mudahan dapat diatasi dengan mudah (dengan meminimalkan kontak dengan spesies hewan).”

Virus lain dari keluarga yang sama wabahnya sangat terbatas dan dapat dihindari dengan meminimalkan kontak dengan hewan.

“Jadi virus ini tidak mungkin berdampak besar pada populasi manusia (sangat berbeda dengan SARS-CoV-2) tetapi harus diwaspadai.”

Dr. Armand Balboni, mantan petugas staf di Institut Penelitian Penyakit Menular Angkatan Darat AS dan saat ini menjabat sebagai CEO Appili Therapeutics, juga berbicara tentang virus Langya.

Dr. Balboni menunjukkan bahwa virus baru ini tidak mirip fungsinya dengan COVID-19, tetapi mengatakan “kita harus selalu tetap waspada terhadap penyakit zoonosis baru.”

Meskipun virus Langya tidak menyebabkan kematian, Dr. Balboni menyebutkan bahwa “seperti yang telah kita pelajari dari COVID-19, virus dapat bermutasi dengan sangat cepat.”

“Dan perilaku manusia sering kali mendorong bagaimana wabah virus berperilaku. Itulah mengapa sangat penting untuk memerhatikan wabah ini sekarang dan mengurangi penyebaran virus.”

Infografis Waspada Covid-19 Subvarian Omicron BA.4 dan BA.5 Terdeteksi di Indonesia. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya