Dr Tjipto Mangoenkoesoemo, Blusukan Basmi Wabah Pes Tanpa Minta Bayaran

Berkat didikan orangtuanya, Cipto Mangunkusumo tumbuh menjadi pemuda yang berani, penuh talenta, dan berani mengambil risiko dalam melawan penjajah.

oleh Tifani diperbarui 16 Agu 2022, 12:00 WIB
Tjipto Mangoenkoesoemo/wikipedia

Liputan6.com, Yogyakarta - Dr Tjipto Mangoenkoesoemo atau Cipto Mangunkusumo merupakan salah satu pahlawan nasional Indonesia. Cipto merupakan anak sulung seorang priyayi yang lahir di Jawa Tengah pada 4 Maret 1886.

Berkat didikan orangtuanya, Cipto Mangunkusumo tumbuh menjadi pemuda yang berani, penuh talenta, dan berani mengambil risiko dalam melawan penjajah. Saat diberi kesempatan untuk menjadi pegawai pemerintah pribumi yang membantu tugas-tugas pemerintahan kolonial, ia justru menolak.

Padahal, waktu itu jabatan tersebut menjadi kebanggaan setiap keluarga di Jawa. Dikutip dari berbagai sumber, ia justru meminta restu dari ayahnya untuk melanjutkan pendidikan di sekolah dokter STOVIA dengan harapan dapat membantu masyarakat lemah yang tertindas karena pemerintah kolonial.

Cipto Mangunkusumo merupakan siswa yang aktif semasa menjalani studi di STOVIA. Walaupun berada di sekolah yang memiliki peraturan yang diskriminatif terhadap pribumi, ia justru menemukan kebebasan untuk berpikir dan mengemukakan pemikirannya tersebut.

Cipto menjalani masa dinas pemerintah setelah lulus dari STOVIA pada 1905. Cipto merupakan sosok yang sangat dibenci Belanda karena sering menyindir pemerintah Belanda baik dalam sikap maupun tulisan-tulisannya untuk koran de Locomotief yang terbit di Semarang.

Lepas dari ikatan dinas, Cipto Mangunkusumo kemudian membuka praktik dokter di Solo. Praktik itu bernama "Dokter Rakyat".

Selama berprofesi sebagai dokter, Cipto Mangunkusumo masuk ke kampung-kampung naik sepeda untuk mengobati rakyat kecil dan tidak meminta bayaran. Pada 1910, wabah pes merebak di Malang.

Penyakit yang disebabkan karena kutu tikus itu sangat mudah menyebar dan sulit ditangani karena sarana kesehatan dan alat-alat dokter yang tidak memadai pada saat itu. Ditambah, banyak dokter Belanda yang tidak mau pergi ke Malang untuk menyembuhkan para penderita pes.

 

Saksikan video pilihan berikut ini:


Jadi Dokter Dinas Pemerintah

Cipto yang mengetahui hal tersebut menjadi geram, ia kemudian memberanikan diri menjadi dokter dinas pemerintah agar bisa ditempatkan di Malang. Sesampainya di Malang, ia kemudian membantu menyembuhkan para penderita pes.

Tanpa memakai masker ataupun penutup hidung dan mulut, Cipto dengan berani masuk ke pelosok Malang untuk memulihkan kondisi para penderita pes di sana. Saat mengobati wabah pes di Malang, Cipto berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan yang hampir terbunuh.

Saat itu, Cipto mendengar tangisan anak dari sebuah rumah seorang penderita pes. Rumah itu sudah setengah terbakar.

Dengan sigap dia menggendong anak perempuan yang menderita pes itu. Ia pun kemudian mengobati anak itu sampai sembuh.

Anak perempuan yang diselamatkannya itu sudah yatim piatu karena kedua orangtuanya meninggal akibat pes. Cipto kemudian mengangkatnya sebagai anak dan diberi nama Pestiati.

Sosok Pestiati lah yang setia merawat Cipto hingga akhir hayatnya. Atas jasanya dalam membasmi wabah pes, Cipto Mangunkusumo mendapat penghargaan dari Ratu Wilhelmina pada 1912.

 


Kembalikan Bintang Jasa

Penghargaan yang Cipto dapatkan berupa suatu bintang jasa Ridder In De Orde Van Oranje Nassau. Namun, tidak sampai satu tahun Cipto mengembalikan bintang jasa itu.

Sebab, ia tidak diizinkan untuk menangani wabah pes di Solo. Cipto memiliki cara unik untuk mengekspresikan kekesalannya pada pemerintah kolonial.

Dia menempelkan bintang jasa itu di kantung belakang celananya, sehingga bila ada serdadu yang harus hormat pada penghargaan itu, dia harus hormat pada pantat Cipto Mangunkusumo. Pada November 1913, Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaannya dari Prancis. 

Peringatan tersebut diadakan secara besar-besaran di Hindia Belanda. Bagi Cipto, perayaan tersebut menjadi sebuah penghinaan terhadap rakyat Indonesia yang sedang dijajah. 

Cipto bersama Suwardi kemudian mendirikan komite perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dengan nama Komite Bumi Putera.  Komite ini merencanakan mengumpulkan uang untuk mengirim telegram kepada Ratu Wilhelmina, Ratu Belanda. 

Cipto mengirim telegram yang berisi "anjuran" agar pasal pembatasan kegiatan politik dan membentuk parlemen dicabut. Aksi Komite Bumi Putera mencapai puncaknya pada 19 Juli 1913.

Saat itu, harian De Express menerbitkan artikal milik Ki Hadjar Dewantara (Suwardi Suryaningrat) berjudul Als Ik Een Nederlander Was atau "Andaikan Saya Seorang Belanda".  Pada hari selanjutnya, Cipto menulis artikel yang mendukung Ki Hadjar Dewantara untuk memboikot perayaan kemerdekaan Belanda.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya