Liputan6.com, Jakarta - Di awal tahun 2022, publik tentunya sudah menyaksikan bagaimana gelaran pacuan kuda politik menjelang pemilu 2024. Banyak tokoh maupun partai politik sudah mulai memanaskan mesin politiknya khususnya untuk menatap agenda pilpres 2024.
Teka-teki soal poros koalisi-pun sudah mulai mengiasai pemberitaan hari-hari ini, ditambah dengan adanya momentum pendaftaran parpol peserta pemilu 2024 yang sudah dibuka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sejak tanggal 1 Agustus 2024 kemarin.
Advertisement
Sejauh ini sudah ada beberapa poros koalisi yang secara tegas mendeklarasikan hubungan politiknya, seperti Koalisi Indonesia Bersatu atau KIB yang terdiri dari Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kemudian yang kedua adalah koalisi Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).
Selain dua poros koalisi tersebut, terselip satu poros yang digadang-gadang akan membentuk koalisi dalam gelaran pemilu 2024 nanti yang juga diisi oleh partai-partai besar, di antaranya Partai Nasional Demokrat (NasDem), Partai Keadilan Sosial (PKS), dan Partai Demokrat.
Ketiga poros tersebut disebutkan tengah berlomba-lomba dalam mengusung bakal calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk kontestasi pilpres di tahun 2024 nanti. Terkhusus duet koalisi Gerindra-PKB yang baru-baru ini sedang ramai dibicarakan publik terkait deklarasi kerja sama politik yang dijalin oleh kedua partai tersebut.
Diketahui, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) telah resmi menandatangani Piagam Kerjasama Politik kedua partai demi menyongsong Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Jawa Barat.
Sebelumnya, kedua partai tersebut juga secara kompak datang bersama untuk mendaftar jadi peserta Pemilu 2024 ke KPU, tak lupa dalam prosesi pendaftaran kedua partai tersebut juga dipimpin langsung oleh ketua umum (Ketum) masing-masing, di mana Prabowo memimpin Gerindra sedangkan Cak Imin memimpin PKB. kedua pemimpin partai tersebut juga digadang-gadang akan menjadi pasangan Capres dan Cawapres dibawah payung koalisi Gerindra-PKB.
Hal tersebut sekaligus menjadi teka-teki bersama siapa yang akan jadi Capres dan siapa yang jadi Cawapres nantinya. Seperti yang telah diketahui, Ketum Gerindra, Prabowo Subianto, sudah menerima dorongan 34 DPD partai agar dirinya maju sebagai Capres di Pemilu 2024. Hal itu disampaikan Prabowo dalam Rapimnas di SICC, Sentul, Bogor. Lantas, apakah hal ini dapat menjadi sinyal bahwa jika Prabowo Capres, maka Cak Imin akan menjadi Cawapres?
Pertanyaan tersebut pastinya telah menjadi pergunjingan publik saat ini yang kemudian menimbulkan banyaknya spekulasi liar tentang potensi Cak Imin yang mungkin 'iya' atau 'tidak' dapat ditarik menjadi Cawapres Prabowo nantinya. Hal ini merujuk pada masih rendahnya raihan elektabilitas Cak Imin dalam survei Capres maupun Cawapres di berbagai lembaga survei politik.
Terlepas dari teka-teki tersebut, dalam konteks koalisi Gerindra-PKB tentunya akan membawa energi baru di Pemilu 2024. Ya.. jika sebelumnya Gerindra memiliki hubungan spesial dengan PKS, pada periode Pemilu hari ini nyatanya kedua partai tengah renggang.
Layaknya sebuah hubungan percintaan, PKS dapat disebut sebagai mantan terindah Gerindra di Pilgub 2017 lalu. Lirik lagu Raisa yang berbunyi 'Engkau Disana, Aku Disini' dalam lagu 'Mantan Terindah' mungkin dapat merepresentasikan hubungan keduanya. Mengingat, hubungan keduanya sangat erat di masa-masa tahun 2017 hingga 2019 silam.
Kembali pada koalisi Gerindra-PKB, Pengamat politik Adi Prayitno menilai, Gerindra dan PKB dalam membangun koalisi tidak ada persoalan apapun. Karena, kedua partai terlihat saling membutuhkan untuk menggenapi ambang batas presiden 20 persen.
Adi melihat Gerindra pada 2024 ingin ganti selera politik soal partner koalisi. Terutama dari kalangan partai Islam. Pada 2014 dan 2019 lalu misalnya, Gerindra berkoalisi dengan partai Islam berbasis Islam kota seperti PKS.
Namun, di 2024 Gerindra terlihat berhasrat ingin berkoalisi dengan PKB yang memiliki basis konstituen pemilih Islam tradisional, terutama kalangan nahdliyin yang sangat mayoritas.
Merujuk lebih dalam soal koalisi ini, Ardian Maulana dan Deni Khanafiah dalam tulisannya yang berjudul The Dynamics of Political Parties’ Coalition in Indonesia: The Evaluation of Political Party Elites’ Opinion, menjelaskan bahwa Koalisi dapat dianggap sebagai munculnya koherensi preferensi partai berdasarkan kepentingan dan atribut masing-masing partai.
Artinya, dalam konteks koalisi Gerindra-PKB, jelang pemilu 2024 ini keduanya kemungkinan memiliki koherensi kepentingan yang sama khususnya tentang isu-isu politik yang berkembang saat ini.
Hal ini mungkin dapat dilihat dari bagaimana keduanya kerap memiliki kesamaan pendapat misalnya di tahun 2019 lalu (pasca-pilpres) Prabowo-Cak Imin memiliki kesamaan pendapat soal masa dapan pembangunan nasional, ekonomi, dan politik serta keduanya berkomitmen untuk terus berkerja untuk kepentingan rakyat.
Terlebih, dalam isi piagam deklarasi koalisi Gerindra-PKB menyebutkan bahwa keduanya memiliki visi yang sama dalam menjalin kerja sama politik yang bertujuan untuk percepatan pembangunan bangsa hingga terciptanya perdamian dunia.
Dengan demikian, Lantas apakah pengarungan bahtera koalisi ini dapat memunculkan energi baru dalam Pemilu 2024 nanti? Bukankah sebelumnya Gerindra sudah pernah menjalin koalisi dengan partai Islam lainnya?
Wacana Islam-Nasionalis
Jika mengacu pada pernyatan Adi Prayitno di atas, mungkin perjalanan bahtera koalisi Gerindra-PKB dapat diartikan sebagai bentuk selera baru parpol di 2024, di mana Gerindra dalam menghadapi Pemilu 2024 memiliki pergeseran selera politik dari PKS yang memiliki ideologi Islam Perkotaan menuju PKB yang memiliki ideologi Islam Nasionalis dalam hal ini terutama basis kalangan Nahdliyin atau NU.
Hal tersebut menjadi masuk akal apabila merujuk pada pernyataan-pernyataan Prabowo yang kerap mengklaim dirinya sangat dekat dengan para Ulama ataupun Kiai NU, bahkan ia pernah menyebut bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam yang dekat dengan partai hijau (PKB) itu. Lantas, apakah hal ini akan mengindikasikan adanya wacana Islam-Nasionalis di tubuh Gerindra dan PKB dalam Pemilu 2024?
Berkaca pada Pilpres 2014, kombinasi antara PKB dan PDIP dalam mendukung Jokowi sebagai calon Presiden dapat menjadi indikasi betapa pentingnya PKB bagi Jokowi untuk dapat menarik suara Islam di Indonesia, hal ini ditambah dengan keselarasan kebijakan PKB dan PDIP tentang cita-cita pluralistik di tubuh keduanya.
Kanupriya Kapoor dan Randy Fabi dalam tulisan yang berjudul In Indonesia, moderate Islamic party returns to political centerstage memberikan analisis bahwa cita-cita pluralistik PKB sejalan dengan cita-cita nasionalis PDIP tentang Bhineka Tunggal Ika, kombinasi tersebut selanjutnya mengarah pada pandangan yang lebih sekterian.
Artinya, dalam konteks Gerindra-PKB bisa jadi kedunya ingin memunculkan kembali wacana Islam-nasionalis yang pernah berjaya di 2014 lalu dalam bahtera koalisinya saat ini jelang pemilu 2024 mendatang. Mengingat, keberhasilan PKB-PDIP di masa lalu telah menjadi bukti bahwa strategi tersebut dapat berjalan mulus.
Dalam sejarahnya, kekuatan Islam-nasionalis memang memberikan warna positif bagi kehidupan bangsa Indonesia, tak terkecuali pada masa-masa kemerdekaan Indonesia. NU dan Muhammadiyah sebagai gerakan Islam disebut ikut andil sebagai pionir dalam gerakan kemerdekaan Indonesia.
Anzar Abdullah dalam tulisannya yang berjudul Islam and Nationalism in Indonesia (An Historical Overview), menerangkan bahwa Islam telah menjadi panji perlawanan terhadap berbagai bentuk kolonialisme. Selain itu, Islam juga disebut memiliki implikasi khusus bagi nasionalisme Indonesia, karena merupakan penggerak utama yang permanen dan modern.
Atas dasar hal tersebut, Lantas apakah wacana Islam-Nasionalis di tubuh Gerindra-PKB bisa semulus PKB-PDIP ketika mengusung Jokowi di Pilpres 2014 lalu?
Direktur Eksekutif TRUST Indonesia Consulting Azhari Ardinal menilai bahwa duet Gerindra-PKB merupakan langkah cerdik untuk menyatukan kekuatan nasionalis-religius dalam satu poros kerja sama politik.
Lebih lanjut, Azhari menjelaskan, dalam sejarah politik Indonesia, terminologi nasionalis dan religius sering digunakan untuk menggambarkan dua identitas yang mewakili mayoritas rakyat Indonesia. Di masa lalu nasionalis sering digunakan untuk mengambarkan kaum abangan dan religius untuk mengambarkan kaum santri.
Dengan adanya pelebelan atau penggambaran suatu kelompok atau kaum yang diungkapkan oleh Azhari tersebut, boleh jadi hal ini dapat menjadi modal politik Gerindra-PKB dalam menatap pemilu 2024 kedepan khususnya untuk mendulang suara kaum-kaum tersebut.
Hal ini masuk akal apabila merujuk pada tulisan Abdul Chalik dan Muhaemin Latif yang berjudul Exploring the Formation of Coalitions Between Islamist and Secular Parties in Indonesia Local Election: Figure, Patronage, and Common Enemy.
Chalik dan Latief menerangkan bahwa koalisi partai sekuler dan nasionalis Islam dalam pemilu bukanlah koalisi ideologis melainkan koalisi pragmatis.
Koalisi lintas ideologi hanyalah menjadi alat untuk mendapatkan lumbung suara, sementara ideologi tetap melekat pada partai dan setiap kadernya pun masih memiliki nilai yang harus diperjuangkan.
Dengan demikian, mungkin dapat disimpulkan bahwa koalisi Gerindra-PKB sejatinya memang membawa energi baru yang dapat mencirikan penyatuan kekuatan Islam dan Nasionalis atau Nasionalis-Religus. Namun, hal ini bukan berarti keduanya akan merujuk pada koalisi ideologis, melainkan lebih mengarah kepada koalisi pragmatis yang merepresentasikan Islam-Nasionalis untuk mendulang suara dalam pemilu kedepan.
Advertisement
Afirmasi Politik Prabowo
Di tengah sorotan publik terhadap bahtera koalisi Gerindra-PKB, pastinya tidak terlepas dari manuver tokoh-tokoh politik yang berada di tubuh kedua partai tersebut.
Sebut saja Prabowo Subianto, Ya... Namanya selalu menghiasai pemberitaan politik di berbagai media nasional khususnya pada saat berlangsungnya acara Rapimnas Gerindra dan deklarasi kerja sama politik Gerindra-PKB.
Setidaknya terdapat dua hal yang patut di soroti dari manuver Prabowo di acara Rapimnas Gerindra tersebut. Pertama, pujian Prabowo kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Diketahui, Menteri Pertahanan (Menhan) Indonesia tersebut melontarkan pujian kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Bahkan, dirinya menyebut bahwa tidak menutup kemungkinan, sejarah akan mencatat Jokowi sebagai salah satu Presiden terbaik Indonesia.
Kedua, klaim kedekatan Prabowo dengan kiai NU. menurutnya, ia sangat dekat dengan kiai NU, Bahkan ia menyebut dirinya sangat kagum dengan tradisi pluralistik NU yang saat ini diteruskan oleh PKB.
Sebelumnya, dalam acara Silaturahmi Nasional Persatuan Purnawirawan TNI AD (PPAD) di Sentul Jawa Barat, Jumat 5 Agustus 2022. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto juga menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi merupakan salah satu pemimpin Indonesia yang paling keras kerjanya. Hal tersebut disampaikan usai dirinya masuk ke dalam kabinet Jokowi jilid II.
Adanya pujian-pujian yang dilontarkan oleh Prabowo tersebut, pastinya tidak terlepas dari berbagai pandangan publik tak terkecuali para pengamat politik, Ujang Komarudin misalnya. Menurutnya pujian Prabowo terhadap Jokowi tak lepas dari kepentingan politik 2024.
Menurut Ujang, posisi Jokowi yang masih menjadi presiden pada Pilpres 2024 nanti bisa membawa pengaruh terhadap kemenangan pasangan calon presiden yang bakal maju, termasuk Prabowo.
Lebih lanjut, Ujang mengatakan, sebagai menteri, Prabowo tak bisa lagi mengkritik Jokowi. Gerindra yang dipimpinnya yang kini menjadi pendukung pemerintah juga perlu mendukung Jokowi sepenuhnya.
Lantas, apakah hal ini menjadi indikasi bahwa pujian Prabowo terhadap Jokowi sebagai bentuk komunikasi politik jelang pemilu 2024?
Berkaca pada analisis Ujang, hal ini mungkin masuk akal apabila arti dari pujian Prabowo ke Jokowi disebut sebagai bentuk komunikasi politik, terlebih apabila dikaitkan dengan deklarasi Prabowo yang menyatakan akan kembali maju pada gelaran pilpres 2024 nanti.
Zohar Kampf dan Rony Danziger dalam tulisan yang berjudul The art of complimenting and praising in political discourse, memberikan suatu penjelasan tentang bagaimana fungsi pujian dalam konteks politik.
Menurutnya, kekuatan pujian dalam konteks politik dapat dimaknai sebagai suatu kebutuhan untuk mengamankan afilisasi politik yang dapat digunakan sebagai alat pemelihara dan membina hubungan politik sehingga dapat mewujudkan tujuan dan kepentingan politik pembicara atau pemuji.
Lebih lanjut, Zohar dan Rony menyebutkan bahwa pujian dalam konteks politik juga merujuk kepada suatu kebutuhan untuk memperoleh kekuatan simbolis dalam politik, yang dapat diperhitungkan untuk konsolidasi politik.
Merujuk pada analisis Zohar dan Rony, dalam konteks pujian Prabowo terhadap Jokowi boleh jadi hal tersebut dapat menjadi suatu pesan dalam komunikasi politik untuk dapat mengamankan afiliasi politik Jokowi kepada Prabowo. Selain itu langkah tersebut mungkin juga dapat dinilai sebagai suatu pesan untuk memperoleh kekuatan simbolis Presiden dalam urusan politik Prabowo di pilpres 2024.
Terlepas dari hal tersebut, perlu disampaikan bahwa penjelasan dalam tulisan ini hanya sebatas sebuah pandangan semata, untuk lebih lanjutnya kita dapat melihat bagaimana tindak-tanduk dan geliat politik Prabowo nanti, apakah langkah Prabowo-Cak Imin dalam bahtera koalisinya dapat menjadi suatu penyegaran politik di 2024 nanti? atau justru malah sebaliknya! Mengigat, dinamika koalisi jelang pemilu 2024 ini masih sangat cair, kedepan mungkin masih banyak teka-teki selanjutnya yang akan kembali menghiasi isu politik nasional.