Menanti Tanggung Jawab Panitia Pengadaan dalam Polemik Pembebasan Lahan Bendungan Paselloreng

Lembaga ACC Sulawesi sebelumnya telah mengungkap adanya bau korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulsel itu.

oleh Eka Hakim diperbarui 15 Agu 2022, 22:48 WIB
Bendungan Paselloreng. Dok PUPR

Liputan6.com, Wajo - Pertemuan pembahasan polemik pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Desa Arajang, Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo, Sulsel yang diprakarsai oleh Pemerintah Kabupaten Wajo (Pemkab Wajo) menghasilkan lima poin.

Poin pertama disebutkan bahwa proses pengajuan pembayaran ganti rugi untuk area yang terdampak pembangunan Bendungan Paselloreng seluas 42,6 hektare dan 64 bidang menunggu verifikasi ulang terhadap bidang tanah yang diindikasi/ diduga bermasalah.

Kedua, diberi tenggang waktu selama sebulan untuk melakukan verifikasi faktual bersama tim pada lokasi yang diduga/ diindikasi bermasalah atau diajukan ke pengadilan untuk mendapat keputusan tetap.

Ketiga, apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dapat dilengkapi, maka proses tetap berjalan sesuai tahapan. Keempat, bagi bidang tanah yang tidak bermasalah tetap diproses sesuai tahapan dan prosedur.

Serta poin lima yakni akan dibentuk Tim Independen Paselloreng yang beranggotakan BBWSPJ, Kodim, Polres, Kejari, ATR/BPN, pemerintah daerah, pemerintah kecamatan, dan pemerintah desa setempat dan berkedudukan di area Kantor Kecamatan Gilireng.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI Paulus) Makassar, Jermias Rarsina mengatakan ada yang menarik dari sejumlah poin kesepakatan yang dihasilkan dalam menyikapi polemik pembebasan lahan Bendungan Paselloreng yang dimaksud. Utamanya poin kesepakatan yang menyebutkan bahwa proses pengajuan pembayaran ganti rugi untuk area yang terdampak pembangunan Bendungan Paselloreng seluas 42,6 hektare dan 64 bidang menunggu verifikasi ulang khususnya kepada bidang tanah yang diindikasi/ diduga bermasalah.

Artinya, kata Jermias, secara hukum menunjukan bahwa ada sikap keraguan Tim Pengadaan Tanah atas hasil inventarisasi dan identifikasi terhadap data fisik dan data yuridis dalam kaitannya dengan pembayaran ganti kerugian kepada pihak penerima hak.

Selain dalam hubungan hukum tersebut, lanjut Jermias, jauh lebih terpenting lagi adalah tidak boleh ada dokumen atau bentuk surat tanah apapun yang dengan secara sengaja diterbitkan (dibuat) oleh oknum tertentu yang tergabung dalam Kepanitiaan Pengadaan Tanah yang kemudian diberikan kepada orang tertentu dengan tujuan memperoleh ganti kerugian sebagai yang berhak atas tanah, padahal sesungguhnya dia bukan orang yang berhak. 

"Jika demikian adanya, maka modus kejahatannya adalah memalsukan dokumen/surat dalam hubungannya dengan data fisik dan data yuridis yang berkaitan dengan obyek tanah dan identitas penerima hak dalam dugaan tindak pidana korupsi pada kegiatan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum," ucap Jermias, Senin (15/8/2022).

 


Menanti Hasil Verifikasi Ulang

Dosen Fakultas Hukum UKI Paulus Makassar, Jermias Rarsina SH. MH (Liputan6.com/ Eka Hakim)

Ia mengatakan, jika nantinya dalam hasil verifikasi ulang kemudian terungkap keadaan yang sebenarnya yakni ditemukan ada kesalahan atau kekeliruan dalam pembayaran ganti kerugian kepada orang yang tidak berhak yang dilatarbelakangi dengan keadaan ilegal sebagaimana telah diuraikan di atas, maka tanggung jawab pidana dalam dugaan tindak pidana korupsi tidak bisa terelakan lagi dan dibebankan kepada Panitia Pengadaan Tanah.

Perbuatan pidana, kata dia, dianggap telah selesai atau terwujud sebagai dugaan delik korupsi oleh karena uang negara telah dipergunakan oleh Panitia Pengadaan Tanah untuk membayar ganti kerugian dianggap sebagai salah bayar. 

"Tafsiran hukumnya adalah telah terjadi dugaan perbuatan melawan hukum berupa penyalagunaan kewenangan oleh aparatur negara yang berakibat mendatangkan kerugian keuangan negara," terang Jermias.

Hal itu, kata dia, sudah tentu berimplikasi kepada negara. Di mana negara dikenakan kewajiban membayar dua kali, yang terakhir kepada orang yang tepat sebagai pihak yang berhak menerima uang pembayaran ganti kerugian sebagaimana diperintahkan dalam Pasal 40 UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 

Perbuatan Panitia Pengadaan Tanah, lanjut Jermias, dalam konteks hukum adminitrasi/ pemerintahan sehubungan dengan larangan menyalagunakan wewenang menurut UU No. 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Jo Pasal 17 ayat (2) huruf a Jo Pasal 18 ayat (1) huruf c yaitu larangan atas perbuatan yang bertentangan atau melanggar Peraturan Perundang-Undangan.

"Dalam hal ini tidak boleh menyalahi tata cara atau prosedural UU No. 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan peraturan turunan lainnya," jelas Jermias.

Perbuatan penyalahgunaan wewenang tersebut, kata dia, sangat korelatif dengan regulasi UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 3 (contoh Umum selain masih ada norma hukum lainnya dalam UU Korupsi) mengatur mengenai perbuatan melawan hukum menyalagunakan wewenang dalam jabatan atau kedudukan yang dapat  mengakibatkan negara mengalami kerugian keuangan atau ekonomi.

Segala kemungkinan, lanjut Jermias, berpotensi bagi Panitia Pengadaan Tanah sehubungan dengan kegiatan pembangunan proyek Bendungan Paselloreng dapat dimintai pertanggung jawaban pidana dalam delik korupsi, jika nantinya terungkap fakta hukum bahwa terjadi salah bayar uang negara kepada pihak yang tidak berhak karena ada kesalahan oknum.

"Maka secara hukum tanggung jawab Panitia Pengadaan Tanah bersifat kolektif atas terbayarnya uang negara sebagai ganti kerugian kepada pemegang hak atas tanah yang berhak. Sehingga apapun alasannya, Panitia Pengadaan Tanah wajib bertanggung jawab secara hukum," Jermias menandaskan.

 


Temuan ACC Sulawesi

Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi), Kadir Wokanubun

Lembaga ACC Sulawesi sebelumnya telah mengungkap adanya bau korupsi dalam kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng yang terletak di Kabupaten Wajo, Sulsel itu.

Hasil investigasi, mereka menemukan adanya dugaan perbuatan korupsi yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif. Baik terjadi sejak tahapan awal proses pelaksanaan pembebasan lahan hingga tahapan pencairan dana ganti rugi atas lahan warga yang terkena dampak pembebasan.

Kadir Wokanubun, Ketua Badan Pekerja Anti Corruption Committee Sulawesi (ACC Sulawesi) menjelaskan bahwa secara teknis, proses pelaksanaan tahapan hingga pembayaran ganti kerugian atas lahan telah diatur dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 19 Tahun 2021 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 Tentang  Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

‌Di mana dalam Pasal 94, Ketua Panitia Pengadaan membentuk satuan tugas (satgas) yakni Satgas A yang membidangi pengumpulan data fisik tanah yang dalam hal ini pengukuran dan pemetaan bidang. Kemudian Satgas B yang memiliki tugas pengumpulan data yuridis tanah yang berkaitan dengan nama pemegang hak, bukti hak, letak lokasi status tanah, nomor identifikasi bidang, data tanaman yang di atasnya atau secara sederhana segala hal yang berkaitan dengan administrasi serta apa saja yang ada di atas tanah tersebut.

Selanjutnya dalam Pasal 105 tertuang bahwa hasil inventarisir dan identifikasi yang dilakukan oleh Satgas A dan Satgas B akan diumumkan di kantor kelurahan/ desa, kantor kecamatan.

"Tapi apa yang terjadi, ketentuan yang disebutkan di atas justru tidak dilakukan dan kami menemukan hal itu justru dilanggar. Dugaan korupsi keterkaitannya dengan penyalahgunaan wewenang sangat jelas kelihatan," kata Kadir, Minggu 7 Agustus 2022.‌Dugaan perbuatan korupsi yang terjadi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, kata dia, berjalan secara terstruktur, karena adanya dugaan keterlibatan struktur kekuasaan yang dalam hal ini melibatkan oknum panita pengadaan tanah.

Ia mencontohkan misalnya, panitia pengadaan tidak pernah memanggil atau mengundang warga yang berhak dalam arti pemilik lahan sesungguhnya yang masuk dalam wilayah pembebasan.

"Malah yang terjadi oknum panitia pengadaan tanah justru memanggil orang lain atau kerabatnya yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan lahan yang dimaksud atau sebagai penerima ganti kerugian hak atas tanah yang masuk dalam pembebasan," terang Kadir di Kantor ACC Sulawesi.

Tak hanya itu, dugaan korupsi dalam pelaksanaan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut, juga dilakukan secara sistematis. Di mana dari hasil investigasi ACC Sulawesi menemukan adanya dugaan manipulasi data penerima ganti rugi lahan oleh tim panitia pelaksana pengadaan tanah.

"Di kepanitiaan pengadaan itu ada namanya Satgas A. Satgas ini memiliki fungsi verifikasi data pemegang hak atas tanah, namun data tersebut tidak didasarkan pada data yang sebenarnya. Melainkan, data yang digunakan tersebut data hasil manipulasi dari oknum panitia pelaksana pengadaan," tutur Kadir.

Ia menemukan ada seorang warga yang memiliki bukti penguasaan lahan seperti dokumen Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau dokumen administrasi tanah lainya dan orang tersebut telah menguasai tanah yang dimaksud secara turun temurun, namun yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari panitia pelaksana pengadaan tanah untuk dilanjutkan ke proses verifikasi data fisik berupa pengukuran yang dilaksanakan oleh panitia (Satgas B).

"Justru yang mendapat panggilan, adalah mereka yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan tanah," ucap Kadir.‌Tak sampai di situ, keanehan lagi timbul saat pihaknya menemukan fakta lapangan bahwa dalam proses pengukuran tanah juga dilakukan secara sembunyi- sembunyi tanpa melibatkan warga pemilik lahan yang sebenarnya dan kesannya proses tersebut dilakukan dalam ruang yang gelap.

Hal tersebut, kata Kadir, terkonfirmasi saat pengumuman hasil Invetarisir dan identifikasi. Di mana oleh panitia hasilnya diumumkan di kantor kecamatan yang jauh dari daerah warga yang terdampak proyek pembebasan lahan pembangunan bendungan Paselloreng.

"Sehingga timbul pertanyaan ada apa, kenapa pengumuman tersebut dilakukan di tempat yang berbeda dan sangat jauh dari lokasi bendungan?," ungkap Kadir.

Fakta lain di lapangan, tim investigasi ACC Sulawesi turut menemukan adanya dugaan kejanggalan berupa manipulasi luasan lahan oleh panitia pengadaan tanah.

‌"Misalnya total hasil pengukuran 1000 m2 namun di peta bidang tercantum hanya 500 m2 dan sisanya kemudian dicarikanlah orang lain agar seoalah- olah orang tersebut memiliki bidang tanah yang dimaksud," beber Kadir.

Ia mengatakan, akibat dari praktek-praktek yang tak benar yang dilakukan secara massif di atas, jelas telah mengakibatkan ratusan kepala keluarga yang ada di tiga desa yang masuk dalam wilayah pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut mengalami kerugian bahkan mereka telah kehilangan sumber mata pencahariannya.

"Mereka semuanya petani, kasihan harus kehilangan hak atas tanahnya yang tidak lain sebagai sumber mata pencahariannya," tutur Kadir.

"‌Sehingga kami menilai, jika ini terus di lanjutkan maka sangat jelas potensi merugikan keuangan negara dan sudah pasti terjadi kesalahan dalam pembayaran uang ganti rugi alias terjadi salah bayar dalam pemberian uang ganti rugi atas lahan yang dibebaskan serta ratusan kepala Keluarga jelas akan kehilangan mata pencahariannya," Kadir menambahkan.

‌Secara kelembagaan, ACC Sulawesi meminta kepada panitia pengadaan untuk segera menunda pembayaran ganti rugi dan memverifikasi ulang data yuridis serta turut mengukur ulang seluruh lahan yang masuk dalam kawasan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng tersebut.

‌"Kami juga mendesak aparat penegak hukum untuk turun menyelidiki, memanggil dan memeriksa semua pihak atas dugaan korupsi yag terjadi dalam kegiatan pembebasan lahan Bendungan Paselloreng," Kadir menandaskan.

Diketahui Bendungan Passelloreng merupakan salah satu proyek Strategis Nasional (Stranas) yang diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada September 2021.

Proyek tersebut melingkupi dua kecamatan yakni kecamatan Gilireng dan Kecamatan Maniangpajo. Dari dua kecamatan tersebut terdiri tiga desa yakni Desa Paselloreng, Desa Arajang Kecamatan Gilireng serta Desa Minanga Tellue Kecamatan Maningpajo.

‌Adapun konstruksi bendungan yang dibangun sejak tahun 2015 itu, bertujuan akan meningkatkan luasan irigasi premium untuk mengairi areal persawahan seluas 8.510 hektar (ha).

Konstruksi bendungan dikerjakan oleh PT Wijaya Karya–PT Bumi Karsa lewat skema Kerja Sama Operasi (KSO) mulai Juni 2015 dan rampung 100 persen pada akhir 2019. Biaya pembangunannya bersumber dari APBN sebesar Rp 793 miliar melalui skema tahun jamak 2015-2019.

Luas genangan Bendungan Paselloreng 1.892,47 ha dengan kapasitas tampung 138 juta m3 atau 10 kali lebih besar dibandingkan Bendungan Raknamo yang diresmikan Presiden Jokowi awal 2018 lalu sebesar 13,5 juta m3. Waduk ini juga lima kali lebih besar dari Bendungan Kuningan di Jawa Barat yang berkapasitas 25 juta m3.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya