Liputan6.com, Jakarta Jejak digital di internet bisa menjadi masalah besar jika berisi hal-hal buruk. Salah satu jenis jejak digital yang harus dihindari adalah yang bersifat pasif
Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Bevaola Kusumasari, memaparkan setiap kali kita mengunjungi sebuah situs, kita telah mengungkapkan beberapa informasi tentang diri kita kepada pemilik situs tersebut.
Advertisement
"Informasi itu antara lain alamat IP, juga lokasi geografis. Salah satu jenis dari jejak digital adalah jejak digital pasif," kata Bevaola dalam acara webinar bertajuk 'Candu Medsos, Hati-Hati Stres gara-gara Media Sosial' yang digelar Kemkominfo bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi di Pontianak, belum lama ini.
Menurutnya, jejak digital pasif sebenarnya tidak terlalu berbahaya, namun data jejak ini dapat menjadi masalah besar dalam beberapa kondisi.
"Masalah yang timbul dari jejak digital pasif adalah penjualan data aktivitas pelanggan oleh perusahaan pengelola situs kepada pihak-pihak lain," ungkap Bevaola, dikutip Selasa (16/8/2022).
Ia menyebut jejak digital itu bisa membawa sial, karena informasi kita dapat tersebar secara mudah dan biasanya layanan pinjalan online (pinjol) memanfaatkan hal ini.
"Contohnya dari pesan SMS yang masuk ke dalam ponsel kita itu sekarang kebanyakan dikirimkan oleh mesin. Dapat nomor kita dari mana? Ya, salah satunya dari jejak digital pasif yang kita tinggalkan,” tutur Bevaola memungkaskan.
Terkait etika digital di internet, Dosen Prodi Ilmu Komunikasi UTY Yogyakarta Ade Irma Sukmawati, menyebut bahwa ketika kita berbicara mengenai literasi digital maka tidak dapat dilepaskan dari indeks literasi yang terdiri dari kecakapan, etika, budaya dan keamanan digital sebagai tolak ukurnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Literasi Digital Indonesia Masih Rendah
Namun sayangnya, sesuai pada survei yang dilakukan pada tahun 2017 mengenai indeks literasi, Indonesia menduduki posisi 114 di dunia atau kedua terendah setelah India dan masih menduduki posisi moderat atau sedang pada tahun 2020.
Ditambah lagi dengan hasil survei dari Microsoft yang menyebutkan bahwa warga internet Indonesia merupakan warga internet paling tidak sopan se-Asia Pasifik.
Beranjak dari hal tersebut, Ade menyuarakan urgensi mengenai penerapan etika digital bagi warga internet Indonesia.
“Saya bisa membagikan beberapa tips yang bisa digunakan dalam beretika di media sosial. Yang pertama adalah pahami syarat dan ketentuan membagikan informasi. Kemudian, optimasi fitur untuk berpartisipasi baik dan mengurangi konten negatif," paparnya.
Ia mengingatkan, jangan lupa juga untuk selalu menyaring informasi sekaligus memastikan kebenaran data sebelum kemudian menyebarkannya pada khalayak di dunia digital.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Tantangan Budaya Digital
Kemudian, Dahlia Febrina selaku Pendiri Digimom Indonesia mengatakan terdapat banyak tantangan budaya digital di era digital ini, salah satunya adalah mulai menghilangnya budaya Indonesia secara perlahan-lahan karena media digital kita saat ini menjadi panggung bagi budaya asing.
Selain itu, anak-anak zaman sekarang juga lebih gemar berinteraksi secara daring dibanding luring sehingga dapat menjauhkan yang dekat selagi mendekatkan yang jauh.
Dahlia menekankan jati diri kita di dalam ruang budaya digital tidak berbeda dengan budaya non-digital.
"Seharusnya, norma-norma yang kita patuhi di kehidupan nyata itu sama praktiknya di ruang digital karena kehidupan di ruang digital sama dengan kehidupan di ruang non-digital,” ujarnya.
Ia menilai digitalisasi budaya Indonesia juga dapat menjadi peluang untuk mewujudkan kreativitas dan mendokumentasikan budaya Indonesia.
Infografis Pro-Kontra Larangan Iklan Rokok di Internet
Advertisement