Liputan6.com, Jakarta Tantangan yang kita hadapi sangat berat. Semua negara, di seluruh dunia, sedang menghadapi ujian. Krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 belum sepenuhnya pulih.
Perekonomian dunia belum sepenuhnya bangkit. Tiba-tiba meletus perang di Ukraina, sehingga krisis pangan, krisis energi, dan krisis keuangan tidak terhindarkan lagi. Seratus tujuh negara terdampak krisis, sebagian di antaranya diperkirakan jatuh bangkrut.
Advertisement
Namun, di tengah tantangan yang berat, kita patut bersyukur, Indonesia termasuk negara yang mampu menghadapi krisis global ini.
Demikian sedikit petikan disampaikan Jokowi saat membuka pidato kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR-RI dalam rangka HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, 16 Agustus 2022.
Di tengah ancaman krisis energi yang membayangi dan lonjakan harga minyak dunia, pemerintah berupaya keras agar harga BBM di masyarakat tak melambung tinggi.
Caranya, dengan mengucurkan anggaran Rp 502 triliun di 2022, yang salah satunya ditujukan untuk subsidi bahan bakar minyak (BBM).
Jokowi mengatakan APBN yang mengalami surplus Rp106 triliun hingga pertengahan 2022 membuat pemerintah kini masih sanggup memberikan subsidi energi kepada masyarakat.
"Pemerintah mampu memberikan subsidi BBM, LPG, dan listrik, sebesar Rp 502 triliun di tahun 2022 ini, agar harga BBM di masyarakat tidak melambung tinggi," jelas Jokowi.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, gelontoran APBN untuk subsidi BBM sebesar Rp 502 triliun di 2022 bertujuan agar harga sejumlah jenis BBM seperti Pertalite dan Pertamax masih di bawah harga keekonomian dan ramah kantong konsumen. Hal ini menjadi salah satu cara untuk menahan kenaikan angka inflasi.
"Kita lihat harga keekonomian Pertamax Rp 15.150 per liter. Namun, kita masih memberikan harga eceran Rp 12.500 per liter. Demikian juga Pertalite, harga keekonomiannya Rp 13.150 per liter, ecerannya masih Rp 7.650 per liter," papar Airlangga dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2023.
Airlangga lantas membandingkannya dengan harga BBM di sejumlah negara tetangga. Sebut saja Thailand, Vietnam dan Filipina. Namun, dia tidak merinci harga tersebut untuk BBM jenis apa.
"Di negara lain misal Thailand, di Rp 19.500 (per liter), Vietnam Rp 16.645 per liter. Filipina Rp 21.352 (per liter). Sehingga kita relatif masih di bawah negara ASEAN lain," terang dia.
Adapun subsidi BBM ini dijaga agar tidak menimbulkan laju inflasi tinggi seperti yang sekarang terjadi di banyak negara.
Subsidi Dipangkas
Namun pada 2023, pemerintah memutuskan untuk menurunkan anggaran subsidi energi. Pada tahun depan, kucuran anggaran subsidi dan kompensasi untuk BBM, listrik, LPG dan lainnya menyusut menjadi Rp 336,7 triliun dibandingkan 2022 yang sebesar Rp 502 triliun, atau berkurang sekitar Rp 166 triliun.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menuturkan turunnya anggaran subsidi energi ini karena keyakinan jika harga minyak mentah dunia kan lebih rendah di kisaran USD 90 per barel dari posisi saat ini.
"Subsidi yang mencapai Rp 502 triliun ini yang terutama subsidi energi dan kompensasi yang ada di atas tahun depan anggarannya adalah Rp 336,7 triliun," jelas dia.
Selain harga minyak dunia yang lebih rendah, nilai tukar rupiah terhadap Dolar AS juga diperkirakan akan lebih baik dibandingkan situasi yang sekarang ini.
Bila mengacu pada asumsi dasar ekonomi makro 2023, harga minyak diperkirakan sebesar USD 90 per barel, lebih rendah dari outlook 2022 sebesar USD 95-105 per barel.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada di posisi Rp 14.750, atau sedikit menguat dari outlook 2022 sebesar Rp 14.500-Rp 14.900 per dolar Amerika Serikat.
Lebih jauh, mengacu penjelasan Sri Mulyani, pemerintah mengalokasikan subsidi energi Rp 210,7 triliun dalam RAPBN 2023, plus kompensasi energi sebesar Rp 126 triliun. Dengan demikian, total subsidi energi dan kompensasinya di 2023 sebesar Rp 336,7 triliun.
Besaran subsidi energi ini turun sekitar 33 persen dari outlook subsidi dan kompensasi energi pada 2022 sebesar Rp 502,4 triliun. Alokasi kebutuhan tahun ini mencakup subsidi energi sebesar Rp 208,9 triliun dan kompensasi energi Rp 293,5 triliun.
Bila dihitung lebih rinci, perhitungan anggaran subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 kg 2023 total jumlahnya sebesar Rp 138,3 triliun dengan menggunakan sejumlah asumsi dan parameter.
Diantaranya, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan ICP, subsidi terbatas minyak solar sebesar Rp 1.000 per liter, volume BBM jenis solar sebesar 17,0 juta kiloliter dan minyak tanah sebesar 0,5 juta kiloliter, serta volume LPG tabung 3 kg sebesar 8,0 juta metrik ton.
Sementara untuk anggaran subsidi listrik diproyeksikan sebesar Rp 72,3 triliun. Hitungan tersebut dipengaruhi oleh peningkatan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) tenaga listrik.
Penyebab kenaikan BPP sebagaimana dimaksud antara lain karena kenaikan fuel mix BBM, peningkatan pemakaian bahan bakar biomassa untuk cofiring PLTU, dan kenaikan PPN 11 persen.
Kendati anggaran subsidi turun, Sri Mulyani menilai sejatinya pemberian subsidi masih besar. "Dari sisi Absolut subsidi itu masih sangat tebal," jelas dia.
Dia pun meminta agar tetap ada langkah pengendalian konsumsi BBM pertalite maupun solar agar anggaran subsidi tidak jebol.
"Kita berharap dari KL juta KL untuk pertalite untuk solar, elpiji itu tetap di kendalikan karena kalau tidak pasti akan melewati bahkan yang Rp 502,4 triliun bisa terlewati apabila volume subsidi tidak terkontrol.
Sri Mulyani mengatakan jika subsidi dan kompensasi 2023 diarahkan untuk stabilisasi harga dan menjaga daya beli serta mendukung UMKM.
Sri Mulyani membuktikan dengan adanya pemberian subsidi ini menggambarkan APBN merupakan shock absorber.
"Kita tetap memberikan bantalan subsidi dan bantalan sosial tadi yang sangat tinggi yang semuanya menggambarkan bahwa APBN masih menyiapkan diri kalau terjadi syok yang masih berjalan pada tahun depan," Sri Mulyani menandaskan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Berpotensi Tekan Daya Beli
Pemangkasan anggaran subsidi energi di 2023 pun menuai perhatian DPR. Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menilai, kebijakan penurunan subsidi BBM ini perlu dikaji ulang lantaran berpotensi mengganggu daya beli masyarakat.
Sebagai gambaran, jika harga minyak turun, maka pengurangan subsidi mungkin tak terasa signifikan dengan asumsi harga jual ikut turun.
Namun, dengan asumsi harga minyak sama seperti saat ini dan subsidi dikurangi, maka harga jual BBM akan naik. Lebih lanjut, bisa dibayangkan jika harga minyak naik, maka harga jual BBM di dalam negeri juga akan semakin tinggi.
“Kalau subsidi BBM turun, akibatnya harga BBM naik. Kalau rakyat tidak mampu membeli, pemerintah harus mengoreksi lagi karne harga yang lain akan ikut naik,” kata dia kepada Liputan6.com.
Ekonom CORE Indonesia, Piter Abdullah, mencermati bahwa pemerintah memang tengah berancang-ancang untuk menaikkan harga BBM. Hal itu diperkuat dengan subsidi energi dan kompensasi yang dipangkas hampir separuh dari alokasi tahun ini.
“Saat ini beban subsidi sudah di kisaran Rp 500 triliun. Kalau tahun depan hanya Rp 210 triliun, bisa diasumsikan pemerintah sudah mempertimbangkan menaikkan harga BBM pada tahun ini. Yang artinya lonjakan inflasi direncanakan terjadi hanya pada tahun ini,” kata dia.
Sedangkankan Pengamat Ekonomi dari Indonesia Strategic and Economics Action Institution, Ronny P Sasmita, mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi fluktuasi harga minyak ke depannya. Sebab, kondisi geopolitik global masih belum menunjukkan sinyal reda hingga saat ini.
Sehingga pemerintah juga harus memastikan pola konsumsi dalam negeri tidak terganggu dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Menurutnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi 5,3 persen pada 2023 bisa dibilang masuk akal jika stabilitas harga minyak dunia terbentuk dengan range harga yang tidak terlalu tinggi. Entah karena meredanya perang Rusia-Ukraina atau karena terbentuknya keseimbangan permintaan dan penawaran baru.
“Namun jika ternyata harga minyak dunia tetap masih tinggi dan pemerintah harus menaikan harga BBM, bantalan sosial ekonominya harus dipastikan mampu menahan pola konsumsi rumah tangga, agar kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak turun drastis yang bisa berakibat pada perlambatan pertumbuhan,” kata dia.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Dilema Pemerintah
Pemerintah disebut dalam posisi dilema dalam mengatur harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi atau memberikan porsi subsidi yang besar. Lantaran sama-sama akan berdampak pada target pertumbuhan ekonomi nasional yagn ditarget 5,3 persen di 2023.
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Abra Talattov menyebut keputusan penyesuaian harga seluruhnya ada di tangan pemerintah. Tapi juga dihadapkan dengan berbagai tantangan.
"Kalau saya melihat, keberanian ataupun keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM subsidi, saya pikir pertaruhan yang serius, dilema," kata dia dalam sambungan telepon dengan Liputan6.com.
"Pemerintah ingin menjaga pertumbuhan ekonomi, target yang dipasang 5,3 persen, itupun berada di batas bawah antara pemerintah dan DPR," tambahnya.
Abra menilai, jika pemerintah melakukan penyesuaian BBM subsidi atau penugasan seperti Solar dan Pertalite, akan mempengaruhi harga di dalam negeri. Khususnya kebutuhan pokok masyarakat.
"Inflasi akan semain tinggi dan daya beli masyarakat terdampak, justru akan berpengaruh pada pencapaian pemulihan eknomi kita di semester II dan mendatang, ini akan kontradiktif dengan target pemrintah," ujar dia.
Subsidi Sesuai Target
Lebih lanjut, Head of Center of Food, Energy and Sustainable Development Indef ini menyarankan pemerintah mengatur subsidi sesuai dengan target. Tujuannya agar subsidi yang dikucurkan pemerintah tak jebol seperti 2022.
"Lagi-lagi caranya dengan mempercepat transformasi kebijakan subsidi energi yang lebih targeted, dan kemudian mempercepat infrastruktur pendukung dalam prasyarat validasi dan integrasi data dan mekanisme penyaluran seperti apa," terang dia.
Abra memandang, menyoal ini pemerintah sudah melontarkan sejak lama. Jadi, bisa dibilang upaya ini sebagai langkah klise yang bleum diambil pemerintah.
"bolanya ada di pemerintah, dimana mengendalikannya adalah dengan cara mempercepat kebijakan subsidi energi tertutup, bukan menaikkan harga subsisdi energi ditengah daya beli masyarakat bertahap pulih," tuturnya.
Tahun Politik
Sementara itu, Abra belum bisa memprediksi apakah pemerintah akan menaikkan harga BBM subsidi dan penugasan tahun depan. Apalagi, 2023 dipandang menjadi tahun politik, di mana kebijakan yang diambil akan sangat disorot oleh masyarakat.
"Momentum dari 2023 tahun politik, kebijakan itu tidak akan populis, saya melihat bahwa pasti banyak pihak partai-partai akan relatif tidak banyak bersuara, dalam artian menunjukkan sikap yang jelas mengenai harga BBM subsidi akan mendapat resistensi dari publik," ujarnya.
"lagi-lagi pertimbangan politik akan menjadi hambatan ataupun pertimbangan pemerintah dalam melakukan penyesuaian (harga BBM)," imbuhnya.
Di sisi lain, pertimbangan mengenai daya beli masyarakat juga jadi perhatian. Jika ada kenaikan BBM, maka dampaknya daya beli masyarakat akan menurun, ditambah akan mengerek tingkat inflasi.
"Belum bisa dipastikan (kenaikan harga BBM), dari segi momentum utnuk jaga tingkat inflasi dan daya beli masyarakat dan penopang pertumbuhan ekonomi kita kan masih dari konsumsi rumah tangga, kalau komponen ini disentuh atau dipengaruhi dari kenaikan harga BBM tentu akan merusak rencana pemerintah mendorong pertumbuhan eknomi," bebernya.
Pemerintah Susun Rencana
Sebagai upaya mengendalikan subsidi energi 2023, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun tengah menyusun upaya meringankan beban uang negara terhadap subsidi energi di 2023.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengungkap sejumlah upaya yang dilakukan adalah dengan perbaikan data konsumen bahan bakar minyak (BBM). Serta mengatur pembatasan pembelian BBM subsidi.
"Ada upaya-upaya yang bisa mengurangi beban dari subsidi itu, upayanya sedang dilakukan antara lain perbaikan-perbaikan mengenai data-data negativis dari pada konsumen yang memang bisa membeli BBM dengan kemampuannya sendiri," terang dia dalam Konferensi Pers Nota Keuangan RAPBN 2023.
"Dan melakukan pembatasan-pembatasan yang saat ini sedang dibahas," imbuh Arifin.
Langkah ini dinilai sebagai upaya jangka pendek yang dilakukan pemerintah. Tak berhenti di situ, Menteri Arifin mengungkap juga telah menyusun rencana jangka panjang terkait cara menurunkan beban subsidi.
Misalnya, adanya upaya mendorong konversi bahan bakar fosil dengan listrik. "Ada upaya-upaya yang sifatnya multiyears, antara lain konversi bahan bakar fosil dengan listrik akan mengurangi konsumsi BBM dalam jangka panjang," tukasnya.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir belum mengungkap rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM) penugasan jenis Pertalite. Ia menyebut, itu ditentukan kemudian atas kesepakatan tiga kementerian.
"Statement-nya kan belum tahu, masalah subsidi BBM (energi) an Rp 502 triliun, itu ada gas, BBM, dan lain-lain," kata dia kepada wartawan di kompleks DPR RI.
Kementerian yang dimaksudnya adalah Kementerian Koordinator bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Baru kemudian Pertamina mendapatkan penugasan dari pemerintah terkait harga BBM.
"Terus apakah rencananya pengurangan subsidi, itu juga kan masih dibahas, belum ada putusannya. Jadi kan dari Kemenko, Menteri ESDM, dan Menkeu. Kalau putusan ada, baru ada penugasan di Pertamina," terang Erick.
Sementara itu, ia mengaku hingga saat ini belum mendapatkan keputusan mengenai kenaikan harga BBM bersubsidi dan penugasan.
"Jadi sampai hari ini saya sebagai Menteri BUMN belum mendapatkan keputusan seperti itu, saya tunggu saja. Tapi kan artinya pengurangan subsidi kan," ujar dia.
Tunggu Penugasan
Mengenai kebutuhan Pertamina terhadap kenaikan harga BBM, Erick belum mau mengungkapnya. Ia masih berpegang pada penugasan dari pemerintah.
"Kembali, kebijakannya kan ada di pemerintah, Pertamina kan hanya ditugaskan, kalaupun terjadi, hanya pengurangan subsidi," ujarnya.
Dari sisi alokasi untuk subsidi energi, Erick menamini ada pengurangan dari Rp 502 triliun menjadi Rp 336,7 triliun. Hanya saja, ia tetap berpegang pada kondisi yang akan mempengaruhi ke depannya.
"Kalau tadi kan angkanya dari Rp 502 triliun jadi Rp 300-berapa triliun (Rp 336,7 triliun), cuma black and white-nya gimana kan belum jelas. Kita kan hanya mendapatkan penugasan, pembangunan jalan tol Sumatera misalnya," tuturnya.
Advertisement