Liputan6.com, Jakarta - Komisi VII DPR RI angkat suara terkait pemangkasan subsidi energi dan kompensasi untuk tahun depan. Di mana nilai yang dikucurkan menciut jadi Rp 336,7 triliun dibanding subsidi tahun ini sebesar Rp 502 triliun.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto mengatakan, komisi VII akan bertemu dengan menteri terkait untuk membahas perhitungan yang menjadi dasar pengurangan subsidi energi. Misalnya, apakah pemangkasan memperhitungkan pergerakan harga energi yang disubsidi pada masa mendatang.
Advertisement
Menurut Mulyanto, mustahil target inflasi pemerintah sebesar 3,3 persen pada 2023 dapat dicapai dengan cara menaikan harga BBM bersubsidi, seperti pertalite dan solar. Ia menilai, harga BBM bersubsidi memiliki pengaruh kuat dan efek berantai pada kenaikan harga-harga barang dan jasa lainnya secara luas.
“Kalau pemerintah nekad ingin menaikan harga BBM, LPG, atau listrik bersubsidi, maka bukan hanya target inflasi tidak tercapai, tetapi juga akan terjadi kenaikan tingkat inflasi,” kata dia kepada Liputan6.com, ditulis Rabu (17/8/2022).
Menurut laporan BPS, kenaikan harga BBM dan LPG non subsidi rupanya memiliki andil yang signifikan bagi kenaikan tingkat inflasi Juli 2022 lalu. Di mana inflasi tahunan di bulan Juli 2022 sudah mencapai 4,94 persen, rekor inflasi tertinggi sejak Oktober 2015.
“Bagaimana mungkin kita menurunkan tingkat inflasi ini menjadi 3,3 persen di tahun 2023 kalau pemerintah masih punya niat untuk menaikan harga BBM bersubsidi,” tanya Mulyanto.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
DPR Usul Pemerintah Berhemat
Ketimbang memangkas subsidi, Mulyanto mengatakan lebih baik pemerintah menghemat dengan menyetop proyek-proyek yang dinilai tidak mendesak seperti proyek Ibu Kota Negara baru atau Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung.
Ditambah APBN yang surplus Rp 106 triliun pada semester I 2022 dan neraca perdagangan selama 27 bulan berturut-turut surplus sebesar Rp 364 triliun. Sehingga bantalan untuk subsidi BBM bisa makin tebal.
Senada, Anggota Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menilai, kebijakan itu perlu dikaji ulang karena akan berdampak pada daya beli masyarakat.
Sebagai gambaran, jika harga minyak turun, maka pengurangan subsidi mungkin tak terasa signifikan dengan asumsi harga jual ikut turun.
Namun, dengan asumsi harga minyak sama seperti saat ini dan subsidi dikurangi, maka harga jual BBM akan naik. Lebih lanjut, bisa dibayangkan jika harga minyak naik, maka harga jual BBM di dalam negeri juga akan semakin tinggi.
“Kalau subsidi BBM turun, akibatnya harga BBM naik. Kalau rakyat tidak mampu membeli, pemerintah harus mengoreksi lagi karne harga yang lain akan ikut naik,” kata dia kepada Liputan6.com.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Subsidi dan Kompensasi Energi 2023 Turun Jadi Rp 336 Triliun, Sri Mulyani Ungkap Alasannya
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, anggaran subsidi dan kompensasi energi termasuk untuk subsidi BBM pada 2023 akan turun jika dibandingkan dengan 2022.
Pada tahun ini, pemerintah sudah mengalokasikan subsidi hingga Rp 502,4 triliun, sementara untuk 2023 mendatang jadi turun menjadi Rp 336,7 triliun.
Sri Mulyani menerangkan, pemangkasan anggaran subsidi BBM tersebut dibuat lantaran pemerintah sudah menghitung proyeksi harga keekonomian minyak pada tahun depan.
"Untuk subsidi, perubahan yang terjadi dari sisi jumlah total subsidi, terutama yang menyangkut dengan energi untuk tahun depan lebih karena asumsi dari harga. Tentu dengan implisit volume seperti yang ada di tahun 2022," ujarnya dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RAPBN 2023, Selasa (16/8/2022).
"Jadi dalam hal ini kita mendapatkan angka Rp 336,7 triliun, lebih rendah dari Rp 502,4 triliun karena faktor harga asumsi lebih rendah, nilai tukar, maupun volume tetap kita kendalikan," jelasnya.
Adapun bila mengacu pada asumsi dasar ekonomi makro 2023, harga minyak diperkirakan sebesar USD 90 per barel, lebih rendah dari outlook 2022 sebesar USD 95-105 per barel.
Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berada di posisi Rp 14.750, atau sedikit menguat dari outlook 2022 sebesar Rp 14.500-14.900 per dolar Amerika Serikat.
Harga Keekonomian Pertamax Rp 15.150 per Liter dan Pertaline Rp 13.150
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan, pemerintah telah menggelontorkan APBN dalam jumlah tidak sedikit untuk subsidi BBM, yakni lebih dari Rp 502 triliun.
Tujuannya, agar harga sejumlah jenis BBM seperti Pertalite dan Pertamax masih di bawah harga keekonomian dan ramah kantong konsumen. Hal ini menjadi salah satu cara untuk menahan kenaikan angka inflasi.
"Kita lihat harga keekonomian Pertamax Rp 15.150 per liter. Namun kita masih memberikan harga eceran Rp 12.500 per liter. Demikian juga Pertalite, harga keekonomiannya Rp 13.150 per liter, ecerannya masih Rp 7.650 per liter," papar Airlangga dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2023, Selasa (16/8/2022).
Airlangga lantas membandingkannya dengan harga BBM di sejumlah negara tetangga, sebut saja Thailand, Vietnam dan Filipina. Namun, dia tidak merinci harga tersebut untuk BBM jenis apa.
"Di negara lain misal Thailand, di Rp 19.500 (per liter), Vietnam Rp 16.645 per liter. Filipina Rp 21.352 (per liter). Sehingga kita relatif masih di bawah negara ASEAN lain," terang dia.
Adapun subsidi BBM ini dijaga agar tidak menimbulkan laju inflasi tinggi seperti yang sekarang terjadi di banyak negara.
Untuk itu, Airlangga Hartarto menyebut, pemerintah terus mengerahkan tim pengendalian inflasi pusat dan daerah untuk mendorong agar program kebijakan terkait keterjangkauan harga, ketersediaan pasokan, dan kelancaran distribusi juga komunikasi secara efektif dengan masyarakat.
"Sehingga tentu tantangan hyperinflation (Hiperinflasi) kelihatannya bisa kita tangani di tahun ini. Demikian pula di tahun depan," tandasnya.
Advertisement