Liputan6.com, Purwokerto - Pahlawan Nasional Fatmawati (5 Februari 1923 – 14 Mei 1980), lebih dikenal sebagai istri proklamator sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno. Dia juga dikenal sebagai penjahit bendera pusaka merah putih.
Jarang ada yang mengulik sosok Fatmawati sebagai sosok aktivis perempuan. Padahal, sejak muda belia, Fatmawati telah berkecimpung dalam organisasi Muhammadiyah melalui Nasyi’atul Aisyiah/NA.
Fatmawati lahir dari pasangan Hasan Din dan Siti Chadijah, di kampong Pasar Malabero Bengkulu. Dia dibesarkan dalam lingkungan yang taat beragama. Hasan Din adalah seorang Konsul Muhammadiyah Bengkulu.
Baca Juga
Advertisement
Ayahnya juga seorang pegawai perusahaan milik Belanda di Bengkulu (Borneo Sumatera Maatschappij). Perusahaan ini merupakan salah satu perusahaan terbesar milik Belanda di Indonesia saat itu. Sedangkan Ibu Siti Chadijah adalah aktivis Aisyiyah Cabang Bengkulu.
Sejak kecil, Fatmawati telah belajar agama Islam antara lain membaca dan menulis Alquran pada sore hari kepada datuknya dan kepada seorang guru agama Islam. Sejak kecil sudah kelihatan bakat seninya terutama seni membaca Alquran dan sangat supel dalam bergaul.
Tak heran jika di usianya yang masih 15 tahun Fatmawati sudah mampu diajak berdiskusi di bidang filsafat Islam. Tak hanya itu, dia juga ahli dalam bidang hukum-hukum Islam hingga masalah gender dalam pandangan Islam.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Pertemuan dengan Bung Karno
Mengutip library.umy.ac.id, Fatmawati bertemu dengan Bung Karno pada tahun 1938. Saat itu, Bung Karno dipindahkan oleh Kolonial Belanda dari Pengasingan di Ende (Flores) ke Bengkulu. Bersamaan itu, keluarga Hasan Din pindah ke Bengkulu setelah 3 (tiga) tahun tinggal di Curup.
Bung Karno ketika di Bengkulu aktif di Persyarikatan Muhammadiyah, bahkan pernah menjabat sebagai Ketua Bagian Pengajaran. Dalam melaksanakan kegiatannya di Muhammadiyah inilah maka persahabatan keluarga Hasan Din dan Bung Karno semakin akrab.
Mereka saling berkunjung dan Fatmawati sering diajak ayahnya untuk bersilaturrahmi dengan Bung Karno. Hal ini lah yang menjadi awal ketertarikan Bung Karno kepada Fatmawati.
Putri dari Hasan Din, Ketua Dewan Pimpinan Muhammadiyah Bengkulu itu kemudian resmi dipersunting oleh Bung Karno. Meski begitu, perjuangan Bung Karno untuk memikat hati Fatmawati tidaklah mudah.
Menurut Fatmawati, poligami dianggap tidak menguntungkan bagi kedudukan serta peranan wanita dalam kehidupan sosial. Bahkan sebelum diberlakukannya Undang-undang Perkawinan, Fatmawati terlebih dahulu memiliki tekad, sikap dan prinsip antipoligami.
Advertisement
Menikah dengan Bung Karno hingga Jadi Ibu Negara
Hal ini tentu dipengaruhi oleh pandangannya mengenai perempuan yang kerap inferior di depan pria. Karena itu, meski sebenarnya menerima pinangan Bung Karno, Fatmawati tak mau dimadu.
Maka secara baik-baik, Inggit diceraikan dan diserahkan kepada orang tuanya di Bandung. Akhirnya Fatmawati menikah dengan Bung Karno di Bengkulu tanggal 1 Juni 1943.
Sebagai isteri seorang pejuang, Fatmawati mendampingi Bung Karno yang sedang memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Ketika Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan Bung Karno dan Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945, Fatmawati telah dikaruniai putra pertama yang diberi nama Guntur yang kemudian dikenal dengan Guntur Sukarno Putra.
Para petinggi Jepang saat itu menyambut gembira atas kelahiran putra pertama itu. Bahkan Jendral Yamamoto menyebut Guntur dengan nama Osamu. Saat itu, Fatmawati menyaksikan bendera Merah Putih berkibar pertama kali di bumi pertiwi.
Bendera itu dijahit sendiri oleh Fatmawati. Ketika secara resmi Bung Karno diangkat sebagai Presiden RI yang pertama, maka otomatis Fatmawati menjadi Ibu Negara.
Tim Rembulan