Liputan6.com, Jakarta - Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), Septiaji Eko Nugroho, menyebut Facebook memegang persentase tertinggi terkait tempat beredarnya hoaks selama tahun 2021, yakni sebesar 49,4%. Disusul WhatsApp lalu Twitter.
Untuk mengantisipasi terjadinya hal tersebut, ia menyarankan kepada masyarakat untuk mengenali tempat yang bisa dimanfaatkan dalam mencari fakta, seperti situs web atau pun chatbot WhatsApp.
Advertisement
“Sementara untuk tools verifikasi foto ada beberapa macam. Pertama, Google, mesin pencari terbesar di dunia. Kedua, mesin pencari dari Rusia, namanya Yandex. Ini sangat powerful. Ketiga, ada Bing dari Microsoft,” ujar Eko dalam webinar bertema “Bijak dan Cakap Menghadapi Informasi Hoaks” di Makassar, belum lama ini.
Dalam webinar yang digelar Kemkominfo dan Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi ini hadir pula Jurnalis Freelance sekaligus Relawan Edukasi Anti Hoaks Indonesia, Irmawati Puan Mawar.
Ia menekankan kepada para audiens untuk selalu mengecek kebenaran suatu informasi sebelum menyebarkannya.
Menurut Irma, apabila tidak memiliki waktu untuk mengeceknya, maka lebih baik tidak usah disebarkan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Media Sosial Jadi Sarana Penyebar Hoaks
Irma turut menyampaikan beberapa alasan mengapa media sosial sangat populer walaupun menjadi sarana menyebarnya hoaks, di antaranya yaitu setiap pengguna dapat terlibat secara langsung, bersifat terbuka, dapat memiliki beberapa akun, dan waktunya nyata (realtime).
“Jejak digital memang dapat membentuk citra diri seseorang namun hal tersebut dapat dicari, dilihat, disalin, dicuri, dipublikasikan, dan diikuti oleh orang lain sehingga kita perlu berhati-hati,” katanya, dikutip Kamis (18/8/2022).
Sementara itu, Muhajir Sulthonul Aziz selaku CEO PT. Mahakarya Berkah Sejahtera dan Dosen Komunikasi IAI Dalwa Pasuruan, menggarisbawahi pentingnya meningkatkan edukasi terkait digital itu sendiri sebelum menggunakan teknologi.
"Sebab, kita tidak tahu siapa yang ada di belakang layar, apa maksudnya, dan apa tendensi orang tersebut menyebarkan suatu informasi di media sosial," ujarnya.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Jadilah Duta Anti-hoaks
Kemudian, Azis turut menyampaikan kategori penerima hoaks, di antaranya yaitu kurangnya literasi digital, emosional kurang stabil, dan tergesa-gesa dalam menerima info.
Muhajir memberi pesan “Ingat, etika itu ada karena kita manusia. Jadi kawan-kawan, terkait hoaks juga itu harus kita jaga dari kita."
"Jangan sampai jari kita kebablasan. Jadilah orang-orang yang mengedukasi kawan dan lingkungan kita. Jadilah duta anti-hoaks di Indonesia, minimal buat keluarga dan lingkungan kita,” ucapnya memungkaskan.
Infografis Waspada Penipuan Online Shop via Medsos
Advertisement