Liputan6.com, Jakarta Selama empat minggu terakhir, kematian akibat COVID-19 yang dilaporkan secara global telah meningkat sebesar 35 persen. Angka ini disampaikan Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus dalam temu media pada Rabu 17 Agustus 2022.
Hanya dalam seminggu terakhir, 15.000 orang di seluruh dunia meninggal dunia karena COVID-19.
Advertisement
“15.000 kematian seminggu benar-benar tidak dapat diterima, ketika kita memiliki semua alat untuk mencegah infeksi dan menyelamatkan nyawa,” ujar Tedros dikutip dari keterangan pers Kamis (18/8/2022).
“Kita semua lelah dengan virus ini, dan lelah dengan pandemi. Tetapi virus tidak lelah dengan kita.”
Sejauh ini, Omicron tetap menjadi varian dominan, dengan sub-varian BA.5 mewakili lebih dari 90 persen urutan yang dibagikan pada bulan lalu.
Namun, jumlah sekuens yang dibagikan per minggu telah turun 90 persen sejak awal tahun ini. Jumlah negara yang membagikan sekuens telah turun hingga 75 persen, membuat jauh lebih sulit untuk memahami bagaimana kemungkinan virus berubah.
Dengan cuaca yang lebih dingin di belahan bumi utara dan orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu di dalam ruangan, risiko penularan yang lebih intens dan rawat inap hanya akan meningkat dalam beberapa bulan mendatang . Tidak hanya untuk COVID-19, tetapi untuk penyakit lain termasuk influenza.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Semua Orang Berisiko
Tidak ada satu orang pun yang tak memiliki risiko terinfeksi COVID-19, lanjut Tedros. Untuk itu, ia menyarankan seluruh masyarakat untuk vaksinasi hingga booster.
“Kenakan masker ketika Anda tidak bisa menjaga jarak, dan cobalah untuk menghindari keramaian, terutama di dalam ruangan.”
“Ada banyak pembicaraan tentang belajar hidup dengan virus ini. Tapi kita tidak bisa hidup dengan 15.000 kematian seminggu. Kita tidak bisa hidup dengan meningkatnya rawat inap dan kematian. Kita tidak bisa hidup dengan akses yang tidak adil ke vaksin dan alat lainnya.”
Ia menambahkan, belajar hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti berpura-pura seolah virus itu tidak ada. Melainkan sedapat mungkin menggunakan alat yang dimiliki untuk melindungi diri sendiri, dan melindungi orang lain.
Tedros juga membahas terkait kasus cacar monyet global. Menurutnya, lebih dari 35.000 kasus monkeypox kini telah dilaporkan ke WHO, dari 92 negara dan wilayah dengan 12 kematian.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Meningkat dari Minggu ke Minggu
Kasus monkeypox yang dilaporkan menunjukkan adanya peningkatan dari minggu ke minggu.
“Hampir 7.500 kasus dilaporkan minggu lalu, meningkat 20 persen dari minggu sebelumnya, yang juga 20 persen lebih tinggi dari minggu sebelumnya,” kata Tedros.
Hampir semua kasus dilaporkan dari Eropa dan Amerika, dan hampir semua kasus terus dilaporkan di antara laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki.
“Menggarisbawahi pentingnya semua negara untuk merancang dan memberikan layanan dan informasi yang disesuaikan dengan komunitas ini yang melindungi kesehatan, manusia hak dan martabat.”
Fokus utama untuk semua negara harus memastikan mereka siap untuk cacar monyet, lanjutnya. Dan untuk menghentikan penularan menggunakan alat kesehatan masyarakat yang efektif, termasuk pengawasan penyakit yang ditingkatkan, pelacakan kontak yang cermat, komunikasi risiko yang disesuaikan dan keterlibatan masyarakat, serta langkah-langkah pengurangan risiko.
“Vaksin juga dapat memainkan peran penting dalam mengendalikan wabah, dan di banyak negara terdapat permintaan yang tinggi akan vaksin dari masyarakat yang terkena dampak.”
Terkait Vaksin Monkeypox
Namun, lanjut Tedros, untuk saat ini persediaan vaksin cacar monyet dan data efektivitasnya masih terbatas, meskipun pihaknya mulai menerima data dari beberapa negara.
WHO telah melakukan kontak erat dengan produsen vaksin, dan dengan negara dan organisasi yang bersedia berbagi dosis.
“Kami tetap prihatin bahwa akses yang tidak adil ke vaksin yang kami lihat selama pandemi COVID-19 akan terulang, dan bahwa yang termiskin akan terus tertinggal.”
Seperti yang diumumkan WHO minggu lalu, pertemuan para ahli yang diselenggarakan oleh WHO telah sepakat untuk mengganti nama dua clades (varian) virus monkeypox yang diketahui menggunakan angka Romawi.
Clade yang sebelumnya dikenal sebagai Congo Basin atau clade Afrika Tengah sekarang akan disebut sebagai clade I, sedangkan clade Afrika Barat akan disebut clade II. Upaya untuk mengganti nama clade ini tengah berlangsung, katanya.
“Pekerjaan untuk mengganti nama penyakit dan virus sedang berlangsung,” imbuh Tedros.
Advertisement