Liputan6.com, Jakarta - Nama Polri kembali tercoreng akibat ulah anggotanya. Kepala Satuan Reserse Narkoba Polres Karawang, AKP Edi Nurdin Massa ditangkap penyidik Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri terkait dugaan peredaran gelap narkotika.
Penangkapan AKP Edi Nurdin Massa menambah daftar panjang polisi tersandung kasus narkoba. Penangkapan ini juga menjadi ironi, karena Edi yang seharusnya memimpin satuannya memberantas kejahatan narkoba, justru ikut mengedarkan barang haram tersebut ke tempat hiburan malam.
Kondisi ini pun membuat isu yang tengah bergulir di masyarakat soal adanya mafia narkoba dan judi di tubuh Polri semakin menguat.
Baca Juga
Advertisement
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Bambang Rukminto mengamini itu. Menurut dia, potensi penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian sangat tinggi karena besarnya kewenangan yang dimiliki Polri sebagai lembaga penegak hukum tidak dibarengi dengan kontrol dan pengawasan yang kuat.
"Penyalahgunaan wewenang ini pun terjadi secara struktural sesuai jabatan dan pangkat masing-masing dan dilakukan banyak personel. Sama seperti dalam organisasi mafia yang memiliki kode etik Omerta, mereka saling menutupi kejahatan dan memiliki jiwa corsa yang sangat tinggi," ujar Bambang saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (18/8/2022).
"Keterlibatan Kasat Narkoba ini juga menunjukkan indikasi adanya mafia narkoba di tubuh kepolisian karena kejahatan ini tak mungkin dilaksanakan oleh pelaku tunggal. Makanya untuk membongkar kasus ini juga harus diselidiki lebih dalam, termasuk transaksi di rekening tersangka maupun orang-orang terdekatnya," sambung dia.
Bambang menegaskan, ini bukan kali pertama personel Satuan Reserse Narkoba terlibat dalam kejahatan narkotika. Bahkan sudah menjadi rahasia umum di masyarakat, seringkali terjadi penegakan hukum yang transaksional terhadap orang yang tersandung kasus narkoba. Tak sedikit masyarakat yang mengaku diminta polisi menebus sejumlah uang agar bisa bebas.
"Kewenangan yang sangat besar bagi kepolisian tanpa ada pengawasan yang ketat mengakibatkan penyalahgunaan kewenangan, seperti memainkan (kasus) atau jual beli pasal," tutur Bambang.
Karena itu, dia meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meningkatkan pengawasan terhadap seluruh personel kepolisian dengan melibatkan pihak-pihak eksternal. Kasus ini bisa dijadikan sebagai momentum bersih-bersih di tubuh Polri.
Kapolri juga bisa mengoptimalkan peran kepala satuan terdekat sesuai Perkap No 2 Tahun 2022 tentang Pengawasan Melekat di Lingkungan Polri.
"Kemudian merevisi peraturan-peraturan Kapolri yang menjadi tempat bersembunyi pelanggar hukum, seperti Perkap 7/2022 tentang Penegakan Etik dan Disiplin Personel Kepolisian," katanya.
Selain itu, Polri juga harus mengedepankan proses pidana kepada personel yang melanggar hukum sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), daripada proses etik dan disiplin internal.
"Dengan proses pidana umum diharapkan sanksi tegas yang dilakukan secara transparan di peradilan umum bisa menjadi efek jera bagi personel yang lain," kata Bambang Rukminto.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir menilai, banyaknya polisi yang terjerumus dalam bisnis gelap narkoba karena tergiur dengan keuntungan materi yang didapatkan. Kondisi ini tidak hanya berlaku pada kasus narkoba, tapi juga bisnis kejahatan lainnya.
"Sama seperti menangani korupsi jadi ada suap menyuap, yang menangani pelacuran juga, judi juga ikut judi. Ya umumnya begitu, selalu ketularan dengan tindak pidana yang sedang ditangani. Ya itu karena tergiur dengan keuntungan-keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana itu. Mungkin dibandingkan dengan gajinya dia, kewenangan dia jauh sekali. Sehingga dia bergeser kepada bisnis yang dia tangani itu," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (18/8/2022).
Memang polisi bukanlah orang yang awam hukum. Namun, menurut Mudzakir, mereka akan lupa dengan konsekuensi hukum karena telah dibutakan oleh keuntungan yang menggiurkan dari kejahatan tersebut. Ditambah lagi, peluang tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan terhadap kewenangan yang dimiliki polisi.
"Maksudnya kurang itu ya kalau dia menangani kasus yang menguntungkan begitu kemudian dia tidak dalam pengawasan yang ketat ya konsekuensinya dia akan terlibat dalam kasus itu," tutur Mudzakir.
Dia lantas mencontohkan penanganan judi yang terjadi di era Kapolri Jenderal Sutanto. Saat itu, pimpinan Polri bersikap tegas dan keras terhadap segala bentuk perjudian. Pengawasan juga dilakukan secara ketat, sehingga tidak ada anggota yang berani bermain-main di bisnis perjudian.
"Karena dia tegas dalam urusan judi maka dia tantang saja seluruh pejudi-pejudi di Indonesia. Tapi yang dilakukan adalah melalui Kapolda-Kapolda. Pak Jenderal Sutanto itu begini, kalau ada dalam 3 bulan tidak bisa berantas judi, kamu saya copot dari kapolda sebagai orang yang gagal menangani perjudian," kata Mudzakir.
Usut Aliran Kejahatan Narkoba dengan TPPU
Sikap tegas dan contoh bagus yang dilakukan Sutanto, kata Mudzakir, terbukti berhasil. Hanya dalam waktu sekejap, kasus perjudian di Indonesia berhasil dibersihkan. Dia juga mengultimatum anak buahnya untuk tidak menerima suap atau pemberian apapun dari para pelaku dan bandar judi. Jika ada yang terbukti melanggar, maka sanksi tegas pemecatan menanti.
"Nah hari ini tidak ada pemimpin yang seperti itu. Penanganan korupsi juga tidak ada. Semua tidak ada yang inisiatif sendiri membuat seperti itu. Terutama yang terkait dengan narkoba, enggak ada. Malahan terduga dalam kasus Sambo itu malah bagian dari bandar judi itu. Ini kan repot juga," kata Mudzakir.
"Jadi kalau jenderal-jenderal atasannya seperti itu, ya penanganan kasus yang di Karawang itu kan hanya faktor nasib saja. Istilahnya faktor nasib saja dia ketangkap. Siapa yang terlibat, kalau dia judi apakah atasannya juga menerima judinya itu, hasil uang narkoba itu atau tidak," sambungnya.
Karena itu, Guru Besar Hukum Pidana UII Yogyakarta ini mendorong penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) dalam mengusut kejahatan narkoba dan judi. Selain untuk memiskinkan pelaku, penerapan TPPU juga untuk menelusuri siapa saja yang terlibat dan menerima aliran dana dari hasil kejahatan tersebut.
"Perlu ada yang mengawasi atasannya itu apakah menerima atau tidak. Kalau menerima pecat semua, mereka diadili ya diadili juga. Jadi kalau yang seperti itu, siapapun orang yang menerima uang narkoba itu dihukum semuanya, saya yakin walaupun tidak secara nasional, namun (polisi di) sebagian daerah akan takut," ujar Mudzakir.
Dia juga berharap, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serius menelusuri transaksi mencurigakan dari para pelaku kejahatan ini, utamanya yang melibatkan aparat penegak hukum.
"Tapi kalau PPATK bungkam seribu bahasa, menurut saya tanda tanya juga itu seperti apa. Kalau setiap ada kasus narkoba ditelusur larinya uang itu bisa membongkar banyak pelaku sekaligus membuat orang jera juga kalau kecipratan," katanya.
Setiap Kapolri selalu memberikan peringatan tegas terhadap anggotanya yang terlibat narkoba. Namun hingga berkali-kali Kapolri berganti, kasus polisi terlibat dalam kejahatan narkoba selalu terulang.
Mudzakir pun meminta Kapolri Listyo Sigit Prabowo meniru cara Sutanto dalam memberantas perjudian di Indonesia. Dia meminta Kapolri memanggil para kapolda se-Indonesia untuk diberikan arahan sekaligus ultimatum dalam waktu tiga bulan harus bisa berantas judi dan narkoba. Kalau gagal, maka akan dicopot dari jabatan kapolda.
"Menurut saya momentum hari ini dalam kasus pembunuhan Brigadir J itu yang harus dilakukan. Enggak lama-lama, 3 bulan bisa mereka. Wong mereka ngerti kok siapa pelaku narkoba, siapa bandar narkoba, siapa pengedar, tahu dia. Terkait judi juga ada itu tahu mereka," ucap Mudzakir menandaskan.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Krisno Siregar mengatakan, sejauh ini belum ada anggota kepolisian lain yang terlibat dalam kasus peredaran sabu AKP Edi Nurdin Massa.
"Sejauh ini belum ada," kata Krisno saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (18/8/2022).
Namun dia tidak menjawab saat ditanya soal isu yang berkembang di masyarakat terkait adanya mafia narkoba di tubuh Polri.
Advertisement
Ubah Kebijakan Penanganan Narkoba
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), Afif Abdul Qoyim menyesalkan kewenangan yang komprehensif oleh Polri justru disalahgunakan secara berulang. Kasus yang menjerat Kasat Narkoba Polres Karawang AKP Edi Nurdin Massa ini membuktikan bahwa potensi penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus narkotika sangat tinggi.
"Penyalahgunaan ini harus direspons secara struktural karena bisa terjadi di kemudian hari dengan beberapa modus yang berbeda," ujar Afif saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (18/8/2022).
Karena itu, LBH Masyarakat mendorong agar kebijakan soal penanganan narkoba diubah. Penegakan hukum tidak lagi menyentuh pada penyalahguna narkoba dengan barang bukti yang kecil, tapi lebih pada pengedar atau bandar-bandar besar.
"Karena kebijakan saat ini yang mengedepankan pendekatan hukum malah menimbulkan sisi-sisi gelap di aparat penegak hukum yang menyalahgunakan wewenang sehingga terjadi kasus seperti di Karawang," tutur Afif.
Potensi penyalahgunaan wewenang itu salah satunya terlihat ketika seorang pengguna narkoba masuk dalam skenario Tim Assessment Terpadu (TAT). Tidak ada aturan yang jelas ketika permohonan rehabilitasi ditolak, kemana langkah untuk menguji. Berbeda dengan ketika penangkapan tidak sesuai prosedur, maka bisa diuji lewat praperadilan.
"Sementara kalau di kasus narkotika dalam skenario TAT itu kan enggak ada, itu jadi sepenuhnya otoritas penyidik, mau melaksanakan rekomendasi TAT juga menjadi otoritas penyidik, mau melimpahkan ke rehab juga jadi otortias penyidik. Itu menjadi ruang yang berpotensi terbuka lebar terjadinya penyalahgunaan wewenang," katanya.
Dalam kasus semacam ini, Afif justru mengaku kasihan terhadap Polri karena dibenturkan antara kewenangan yang tinggi dengan kebijakan nasional tentang narkotika. Kebijakan yang selama ini terjadi lebih mengedepankan pendekatan penegakan hukum.
Padahal, menurut dia, pendekatan penegakan hukum terhadap penyalahguna narkoba terbukti tidak berhasil. Pendekatan ini justru berdampak pada kebutuhan biaya yang lebih besar lagi, salah satu contohnya kapasitas Lapas yang overcrowded oleh pengguna narkotika.
Karena itu, dia meminta penanganan penyalahguna narkoba tidak lagi dibebankan kepada kepolisian. Penegakan hukum yang harus dikejar dalam kasus narkoba adalah peredaran gelapnya yang melibatkan bandar besar. Begitu juga penerapan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dari bisnis barang haram ini.
"Jadi seharusnya lebih efektif dengan menjaga peredaran di perbatasan, mencari bandar besar, TPPU-nya. Tapi kalau yang kecil-kecil jangan bebani polisi dalam hal itu. Sebab itu ruang yang selama ini tidak berhasil dan malah menebar ruang potensi transaksional Polri. Karena sistemnya yang belum jelas sehingga peluang transaksionalnya tinggi," kata Afif menandaskan.
Penangkapan Kasat Narkoba Polres Karawang
Penangkapan Kasat Narkoba Polres Karawang AKP Edi Nurdin Massa merupakan buntut dari pengembangan kasus peredaran narkotika di sejumlah tempat hiburan malam di kawasan Bandung, Jawa Barat.
Penangkapan ini dikonfirmasi Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Krisno Siregar. Dia membenarkan adanya penangkapan terhadap oknum aparat berpangkat ajun komisaris polisi atau AKP berinisial ENM.
“Benar, penangkapan AKP ENM, Kasat Resnarkoba Polres Karawang tersangka kasus peredaran narkoba,” kata Krisno dalam keterangan pers diterima, Selasa (16/8/2022) lalu.
Krisno menjelaskan, penangkapan dilakukan pada pekan lalu, tepatnya pada Kamis 11 Agustus 2022 pukul 07.00 WIB di Basement Taman Sari Mahogani Apartemen, Jalan Arteri Karawang Barat Margakaya, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang, Jawa Barat.
Krisno mengurai kronologi penangkapan AKP Edi berawal dari operasi yang dilakukan jajaran Dittipid Narkoba Bareskrim Polri pada 30-31 Juli 2022. Dalam dua hari itu, polisi melakukan serangkaian penangkapan beberapa tersangka sindikat peredaran gelap narkoba Juki cs yang biasa beroperasi di tempat hiburan malam F3X Club Bandung dan FOX KTV Bandung.
“Selanjutnya, anggota tim melakukan pengembangan dan mendapatkan alat bukti tersangka JS dan RH pernah mengantar 2.000 butir pil ekstasi ke tersangka Juki pemilik THM FOX Club dan F3X KTV Bandung bersama dengan ENM,” katanya.
Dari pengembangan ini, tim Dittipid Narkoba Bareskrim Polri kemudian menangkap AKP Edi di sebuah apartemen di Karawang.
Dalam penangkapan Edi, polisi menyita sejumlah barang bukti di antaranya satu unit ponsel Samsung A72 warna putih, satu unit ponsel Samsung A52 warna hitam, plastik klip berisi sabu berat bruto 94 gram, plastik klip bening berisi sabu berat bruto 6,2 gram, plastik klip berisi sabu berat bruto 0,8 gram.
Total barang bukti sabu yang disita dari AKP Edi yakni seberat 101 gram. Selain sabu, polisi juga menyita plastik klip berisi 2 butir pil ekstasi seberat 1,2 gram, 1 unit timbangan digital, seperangkat alat isap sabu dan cangklong, serta uang tunai Rp 27 juta.
Harta Kekayaan AKP Edi
Sementara itu, AKP Edi Nurdin Massa juga tercatat sebagai salah satu aparat penegak hukum yang wajib menyampaikan laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam laman elhkpn.kp.go.id, tercatat AKP Edi memiliki harta kekayaan sebesar Rp962 juta. Harta itu dia laporkan pada 17 Februari 2022 saat awal menjabat sebagai Kasat Narkoba Polres Karawang.
Dalam laman tersebut, AKP Edi melaporkan memiliki satu bidang tanah dan bangunan yang berada di Bandung, Jawa Barat. Harta tidak bergeraknya itu senilai Rp850 juta.
Untuk harta bergerak, dia melaporkan hanya memiliki mobil Honda Brio tahun 2016 senilai Rp112 juta. Dia melaporkan tak memiliki harta lainnya selain tanah berikut bangunan dan mobil.
Sehingga total harta kekayaan yang dia laporkan ke KPK yakni sebesar Rp962 juta.
Advertisement