Ketahui Apa Itu Inflasi yang Diyakini Jokowi Masih Terkendali

Jokowi membandingkan inflasi Indonesia dengan negara lain relatif lebih kecil.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 19 Agu 2022, 12:07 WIB
Pedagang merapikan barang dagangannya di Tebet, Jakarta. Harga pangan kerap menyumbang komponen inflasi Indonesia. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Indonesia mencatatkan besaran inflasi 4,94 persen sampai Juli 2022. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut tingkat inflasi Indonesia ada di angka 4,94 persen masih terkendali.

Dia membandingkan inflasi Indonesia dengan negara lain relatif lebih kecil. Di mana negara-negara lain sudah masuk di atas angka 6 persen, seperti Uni Eropa dari 7,9 persen ke 8,9 persen. Kemudian Amerika dari 9,1 persen dan kini berada di angka 8 persen.

Jokowi menyebut angka inflasi di Indonesia lebih kecil lantaran harga bahan bakar minyak seperti, pertamax, pertalit, solar, LPG.

Lalu apa itu inflasi?

Mengutip penjelasan Bank Indonesia, Jumat (19/8/2022), iInflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.

Sementara Deflasi merupakan kebalikan dari inflasi, yakni penurunan harga barang secara umum dan terus menerus.

Perhitungan inflasi dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), link ke metadata SEKI-IHK. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya.

Pengukuran IHK

Berdasarkan the Classification of Individual Consumption by Purpose (COICOP), IHK dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok pengeluaran, yaitu Bahan Makanan, Makanan Jadi, Minuman, dan Tembakau.

Kemudian Perumahan, Sandang, Kesehatan, Pendidikan dan Olahraga, Transportasi dan Komunikasi. Data pengelompokan tersebut didapatkan melalui Survei Biaya Hidup (SBH).

Di samping pengelompokan berdasarkan COICOP tersebut, BPS saat ini juga mempublikasikan inflasi berdasarkan pengelompokan lainnya yang dinamakan disagregasi inflasi.

Disagregasi inflasi

Disagregasi inflasi dilakukan untuk menghasilkan indikator inflasi yang menggambarkan pengaruh dari faktor yang bersifat fundamental.

Di Indonesia, disagregasi inflasi IHK tersebut dikelompokan menjadi:

1. Inflasi Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung menetap atau persisten (persistent component) di dalam pergerakan ​inflasi dan dipengaruhi oleh faktor fundamental, seperti: Interaksi permintaan-penawaran.

Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi mitra dagang. Ekspektasi inflasi dari pedagang dan konsumen.

2. Inflasi non-Inti, yaitu komponen inflasi yang cenderung tinggi volatilitasnya karena dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Komponen inflasi non-inti terdiri dari:

  • Inflasi Komponen Bergejolak (Volatile Food): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) dalam kelompok bahan makanan seperti panen, gangguan alam, atau faktor perkembangan harga komoditas pangan domestik maupun perkembangan harga komoditas pangan internasional.
  • Inflasi Komponen Harga yang diatur oleh Pemerintah (Administered Prices): Inflasi yang dominan dipengaruhi oleh shocks (kejutan) berupa kebijakan harga Pemerintah, seperti harga BBM bersubsidi, tarif listrik, tarif angkutan, dll.

 


Penjelasan Lainnya


Determinan Inflasi

Ilustrasi Inflasi (Liputan6.com/Johan Fatzry)

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation), dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi.

Faktor-faktor terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak inflasi luar negeri terutama negara-negara mitra dagang, peningkatan harga-harga komoditi yang diatur pemerintah (Administered Price), dan terjadi negative supply shocks akibat bencana alam dan terganggunya distribusi.

Faktor penyebab demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersediaannya.

Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian.

Sementara itu, faktor ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi dalam menggunakan ekspektasi angka inflasi dalam keputusan kegiatan ekonominya. Ekspektasi inflasi tersebut dapat bersifat adaptif atau forward looking.

Hal ini tercermin dari perilaku pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah minimum provinsi (UMP).

Meskipun ketersediaan barang secara umum diperkirakan mencukupi dalam mendukung kenaikan permintaan, namun harga barang dan jasa pada saat-saat hari raya keagamaan meningkat lebih tinggi dari kondisi supply-demand tersebut.

Demikian halnya pada saat penentuan UMP, pedagang ikut pula meningkatkan harga barang meski kenaikan upah tersebut tidak terlalu signifikan dalam mendorong peningkatan permintaan.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya