Rektor Unila Kena OTT KPK, Bagaimana Nasib Mahasiswa Baru Masuk Lewat Jalur Suap?

KPK menetapkan Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila) Karomani sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penerimaan calon mahasiswa baru pada Unila tahun akademik 2022.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 21 Agu 2022, 10:54 WIB
KPK menetapkan Rektor Unila Karomani dan tiga orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap penerimaan mahasiswa baru. (Sumber Foto: KPK)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) bakal menggelar rapat menentukan nasib mahasiswa yang lulus seleksi masuk Universitas Negeri Lampung (Unila) melalui jalur suap.

"Saya belum dapat mengambil keputusan saat ini. Mungkin akan kami rapatkan di kementerian bagaimana status mahasiswa ini," ujar Inspektorat Kemendikbud Ristek Lindung Saut Maruli Sirait di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Minggu (21/8/2022).

Status mahasiswa ini bakal diputuskan usai terungkap adanya dugaan suap seleksi masuk jalur mandiri Unila tahun akademik 2022. Dalam kasus ini KPK menjerat Rektor Unila Karomani.

"Karena ini juga menyangkut pertama adanya pelanggaran hukum, namun, mahasiswanya bagaimana ini?" kata Lindung.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, mahasiswa yang lulus seleksi ujian mandiri dengan jalur suap harus dinyatakan cacat secara yuridis. Menurut dia, harus ada konsekuensi dari tindakan curang dalam penerimaan mahasiswa baru itu.

"Status mahasiswanya ini kan urusan administrasi, jadi rekrutmen mahasiswa baru sampai kelulusan itu adalah administrasi akademik. Kalau ada cacat yuridis di dalamnya, tentu kemudian di masing-masing perguruan tinggi itu, ada aturan masing-masing," tutur Ghufron.

Namun, Ghufron mengatakan, KPK tidak bisa ikut campur memutuskan nasib mahasiswa Unila lulus seleksi jalur suap. Menurut Ghufron, ranah KPK hanya memproses hukum Karomani lantaran menerima suap.

"Kami, KPK menghormati. Yang jelas KPK hanya akan melakukan kewenangannya dalam proses penegakan hukum korupsinya, persoalan administrasi konsekuensinya bagi mahasiswanya itu, kami menghormati peraturan administrasi akademik perguruan tinggi masing-masing," kata Ghufron.


Rektor Unila Tersangka

KPK menetapkan Rektor Unila Karomani dan tiga orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap penerimaan mahasiswa baru. (Sumber Foto: KPK)

KPK menetapkan Rektor Universitas Negeri Lampung (Unila) Karomani sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait penerimaan calon mahasiswa baru pada Unila tahun akademik 2022.

Selain Karomani, KPK juga menjerat tiga tersangka lainnya, yakni Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila Heryandi, Ketua Senat Unila Muhammad Basri, dan Andi Desfiandi selaku pihak wasta atau terduga penyuap.

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron menyebut Karomani memasang tarif hingga Rp350 juta bagi calon mahasiswa yang ingin lolos dalam seleksi penerimaan mahasiswa baru Unila.

"Terkait besaran nominal uang yang disepakati antara pihak KRM (Karomani) diduga jumlahnya bervariasi dengan kisaran minimal Rp100 juta sampai Rp350 juta untuk setiap orang tua peserta seleksi yang ingin diluluskan," ujar Ghufron dalam jumpa pers di Gedung KPK, Kuningan Persada, Minggu (21/8/2022).

Ghufron menjelaskan, Karomani yang menjabat sebagai rektor Unila periode 2020-2024, memiliki kewenangan melaksanakan Seleksi Mandiri Masuk Universitas Lampung (Simanila) untuk tahun akademik 2022.


Orangtua Harus Serahkan Uang

KPK menetapkan Rektor Unila Karomani dan tiga orang lainnya sebagai tersangka dugaan suap penerimaan mahasiswa baru. (Sumber Foto: KPK)

Selama proses Simanila berjalan, Karomani diduga aktif terlibat dalam menentukan kelulusan para peserta Simanila. Dia memerintahkan Wakil Rektor I Bidang Akademik Heryandi, Kepala Biro Perencanaan dan Hubungan Masyarakat Budi Sutomo, dan Ketua Senat Muhammad Basri untuk menyeleksi secara personal terkait kesanggupan orang tua mahasiswa yang ingin dinyatakan lulus.

Menurut Ghufron, setiap orang tua yang ingin anaknya dinyatakan lulus harus menyerahkan sejumlah uang selain uang resmi yang dibayarkan sesuai mekanisme yang ditentukan pihak universitas.

"Karomani juga diduga memberikan peran dan tugas khusus untuk Heryandi, Muhammad Basri, dan Budi Sutomo untuk mengumpulkan sejumlah uang yang disepakati dengan pihak orang tua peserta seleksi yang sebelumnya telah dinyatakan lulus berdasarkan penilaian yang sudah diatur Karomani," kata Ghufron.

Menurut Ghufron, Karomani diduga memerintahkan Mualimin, selaku dosen Unila untuk turut mengumpulkan sejumlah uang dari para orang tua peserta seleksi yang ingin dinyatakan lulus oleh Karomani.

Andi Desfiandi, sebagai salah satu keluarga calon peserta seleksi Simanila diduga menghubungi Karomani untuk bertemu dengan tujuan menyerahkan sejumlah uang karena anggota keluarganya telah dinyatakan lulus Simanila atas bantuan Karomani.

"Mualimin selanjutnya atas perintah Karomani mengambil titipan uang tunai sejumlah Rp150 juta dari Andi Desfiandi di salah satu tempat di Lampung," ucap Ghufron.


Uang Berubah Jadi Deposito hingga Emas Batangan

KPK menunjukkan barang bukti dugaan suap penerimaan mahasiswa baru Unila. Dalam kasus ini, KPK menetapkan Rektor Unila Karomani dan tiga orang lainnya sebagai tersangka. (Sumber Foto: KPK)

Menurut Ghufron, seluruh uang yang dikumpulkan Karomani melalui Mualimin yang berasal dari orangtua calon mahasiswa yang diluluskan Karomani berjumlah Rp603 juta dan telah digunakan untuk keperluan pribadi Karomani sekitar Rp575 juta.

"Selain itu, KPK juga menemukan adanya sejumlah uang yang diterima Karomani melalui Budi Sutomo dan Muhammad Basri yang telah dialih bentuk ke dalam bentuk tabungan, deposito, emas batangan, dan juga masih tersimpan dalam bentuk uang tunai dengan total seluruhnya sekitar Rp4,4 miliar," kata Ghufron.

Sebagai penerima, Karomani, Heryandi, dan Muhammad Basri disangka melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 200 Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.

Sementara Andi Desfiandi selaku pemberi suap disangkakan melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya