Hukum Jual Beli Online dalam Perspektif Islam, Simak Pandangan 3 Imam Mazhab

Di era serba canggih ini aktivitas jual beli online menjadi salah satu cara untuk memiliki suatu barang yang diinginkan atau dibutuhkan. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap aktivitas jual beli online?

oleh Muhamad Husni Tamami diperbarui 22 Agu 2022, 10:30 WIB
Pedagang menunjukkan toko ikan hias online miliknya di Pasar Ikan Hias Sumenep, Jakarta, Minggu (14/11/2021). Khususnya untuk penjual ikan hias seiring kebijakan baru anak perusahaan Meta Platforms Inc itu terkait larangan memperjualbelikan hewan. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Bogor - Perkembangan teknologi memudahkan siapa saja bisa melakukan jual beli secara online. Kini untuk memiliki suatu barang tak perlu repot-repot ke tokonya, lewat smartphone, transaksi online, lalu menunggu beberapa waktu barang yang diinginkan sudah ada di tangan.

Di era serba canggih ini aktivitas jual beli online menjadi salah satu cara untuk memiliki suatu barang yang diinginkan atau dibutuhkan. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap aktivitas jual beli online?

Pengasuh LPD Al Bahjah KH Yahya Zainul Ma’arif alias Buya Yahya mengatakan, dalam mazhab Imam Syafi’i syarat sahnya jual beli diantaranya adalah sang pembeli melihat barang yang akan dibeli. Supaya jual belinya tidak masuk ke wilayah ketertipuan.

“Jual beli online itu hanya melihat gambarnya saja yang kadang barangnya lebih jelek daripada gambarnya, dan itu yang banyak,” kata Buya Yahya dikutip dari YouTube Al Bahjah TV, Minggu (21/8/2022).

Lalu bagaimana dengan kondisi zaman yang serba online?

“Maka di dalam hal ini gak bisa kita hanya menggunakan mazhab Imam Syafi’i. Ada mazhab Imam Malik, Mazhab Imam Abu Hanifah,” jelasnya.

 

Saksikan Video Pilihan Ini:


Pandangan Imam Mazhab

Calon Konsumen membuka aplikasi situs belanja online di Kawasan Senayan, Jakarta, Kamis (12/12/2019). Konsumen berburu diskon di salah satu situs jual beli online yang menawarkan beragam potongan harga khusus pada hari belanja online nasional (Harbolnas). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dalam mazhab Imam Malik, jual beli bisa dikatakan sah meski penjual hanya menyebutkan sifat-sifat yang bisa dibayangkan oleh pembeli.

“Tapi kalau Imam Abu Hanifah lebih mudah lagi. Biar pun gak disebut sifatnya, aku punya mobil ente mau beli, langsung bilang ana mau beli,” ujarnya.

Kendati demikian, Islam mengayomi penjual dan pembeli. Pada prinsipnya tidak boleh ada tipu-menipu. Makanya di dalam mazhab jumhur, termasuk Imam Abu Hanifah maka ujungnya nanti ada namanya khiyar.

Dikutip dari laman Muhammadiyah.or.id, khiyar adalah hak yang dimiliki seseorang yang melakukan perjanjian usaha (jual-beli) untuk menentukan pilihan antara meneruskan perjanjian jual beli atau membatalkannya.

“Kalau ternyata barangnya gak sesuai sang pembeli berhak untuk membatalkan. Kan indah, gak masalah,” kata Buya Yahya.


Jual Beli Harus Ada Ikatan

Ilustrasi Jual-Beli. Photo copyright by Freepik

Buya Yahya menyimpulkan, boleh saja melakukan jual beli online merujuk mazhab Imam Abu Hanifah. Dengan catatan nanti ada khiyar-nya.

“Sampai tempat gak sesuai bisa dikembalikan. Masalah kerugiannya ditanggung bersama barangkali, ongkos kirimnya, dan sebagainya,” imbuhnya.

Menurutnya, jual beli tidak semata-mata mendapatkan barang atau mengeluarkan barang. Jual beli harus ada ikatan, sehingga jual beli tidak boleh menawar di atas tawaran orang atau membeli di atas pembelian orang. Ini agar tidak terjadi permusuhan.

“Tapi kalau memang yang jual beli niat baik bukan hanya sekadar mengeruk keuntungan yang besar, aman Anda. Yang repot Anda berurusan dengan orang rakus,” kata Buya Yahya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya