Soal Kebijakan Tembakau, Pemerintah Diminta Perhatikan Hal Ini

Di tengah masa sulit akibat pandemi Covid-19 pun, industri hasil tembakau, yang menjadi sumber penghidupan bagi 6 juta orang, masih menjadi penopang perekonomian

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Agu 2022, 14:30 WIB
Ilustrasi Tembakau (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti Trubus Rahadiansyah mendorong pemerintah untuk menolak segala bentuk intervensi lembaga asing dalam penyusunan kebijakan nasional, termasuk soal tembakau.

Hal ini disampaikan Trubus sebagai respon atas dibukanya kembali program hibah atau pendanaan untuk upaya pengendalian tembakau di beberapa negara, termasuk Indonesia.

Menurut Trubus, intervensi kebijakan melalui kamuflase program pendanaan ini akan membahayakan kondisi perekonomian negara, mengingat kontribusi IHT sangat signifikan dalam membangun perekonomian nasional.

Bahkan, di tengah masa sulit akibat pandemi Covid-19 pun, industri hasil tembakau, yang menjadi sumber penghidupan bagi 6 juta orang, masih menjadi penopang perekonomian karena memberikan sumbangsih yang besar terhadap penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja.

"Pemerintah harus menolak (intervensi). Ini melanggar proses publik, yaitu hak-hak konstitusional publik dan kedaulatan negara. Banyak hal yang dilanggar terkait proses penyusunan kebijakan yang diamanahkan oleh Peraturan dan Perundang- undangan,” jelas Trubus dikutip Minggu (21/8/2022).

Trubus juga menanggapi beberapa peraturan yang tengah didorong untuk mengendalikan tembakau, diantaranya yaitu wacana revisi PP 109/2012.

Menurutnya, ini juga bagian dari dorongan lembaga asing karena poin-poin dalam revisi PP 109/2012 sama dengan kebijakan yang didorong oleh program dana hibah tersebut melalui LSM penerimanya.

Apalagi dalam prosesnya revisi PP 109/2012 ini minim partisipasi dan transparansi terhadap pelaku industri hasil tembakau. Hal ini misalnya terjadi saat uji publik revisi PP 109/2012 yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan pada akhir Juli lalu.

Dalam uji publik, pemangku kepentingan industri hasil tembakau (IHT) seperti petani dan pekerja mengaku tidak dilibatkan sejak awal.

Polemik berkepanjangan pun tidak dapat dielakkan karena lembaga negara ditenggarai tidak netral. Masyarakat jadi terbelah dua dan menjadi gaduh seperti diadu domba akibat prosedur hukum yang sedari awal sudah mengundang kontroversi tersebut.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Perda KTR

Anak-anak melintasi mural bertema bebas asap rokok di lingkungan RW 06 Kelurahan Kayu Manis, Matraman, Jakarta, Jumat (8/10/2021). Warga sejumlah RT di RW 06 berkomitmen menjaga lingkungan dari asap rokok dengan memberikan teguran dan sanksi bagi yang melanggar. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Selain itu, Trubus juga menyinggung soal Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR) yang saat ini sedang ramai didorong oleh beberapa daerah.

Perda KTR tersebut cenderung lebih restriktif ketimbang ketentuan peraturan perundangan yang lebih tinggi, termasuk PP 109/2012. Menurutnya, pengesahan Perda KTR ini juga merupakan dorongan dari beberapa lembaga swadaya masyarakat yang dibiayai oleh lembaga asing termasuk Bloomberg.

“Kita harus hati-hati dalam menentukan regulasi kawasan tanpa rokok yang sedang disusun. Penyusunan ini dalam rangka untuk memperoleh Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus,” papar Trubus.

Trubus mengingatkan agar pemerintah dapat menjaga industri hasil tembakau dan tidak mudah diintervensi dalam penyusunan kebijakan mengingat industri ini sangat strategis dan menyerap jutaan tenaga kerja. Hal ini juga sebagai upaya menjaga stabilitas perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada industri hasil tembakau.

Taruhan bagi Indonesia sangat besar regulasi tembakau diintervensi. Negara harus waspada dan berdaulat serta mengutamakan kepentingan nasional. Pemerintah sebaiknya jangan tunduk kepada kepentingan kelompok-kelompok yang tidak bertanggung jawab yang akan mempengaruhi nasib bangsa.

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS


Tolak Revisi PP 109/2012, Petani Tembakau Surati Jokowi

Seorang petani memeriksa daun tembakau di perkebunan tembakau di Kuta Cot Glie, provinsi Aceh (6/1/2022). Kementerian Keuangan menaikkan tarif CHT terhitung 1 Januari 2022 rata-rata 12 persen dengan dasar pertimbangan untuk pengendalian konsumsi rokok masyarakat. (AFP/Chaideer Mahyuddin)

Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI) menolak perubahan Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012)

Ketua Umum  DPN APTI Agus Parmuji berpendapat revisi PP 109/2012 ini merupakan penjajahan kearifan lokal yang tidak memandang pelestarian budaya pertanian, budaya ekonomi pedesaan dan kelestarian keanekaragaman budaya bangsa Indonesia.

APTI pun telah mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal penolakan revisi PP 109/2012.

"Kami pengurus DPN APTI berkirim surat resmi kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan revisi PP 109/2012. Semoga bapak Presiden mengabulkan permohonan kami, mengingat petani tembakau masih sebagai 'soko gurune negoro'," tegas Agus, Selasa (2/8/2022).

Penolakan perubahan PP 109/2012 juga dari kalangan pekerja pabrik rokok. Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menilai, PP 109/2012 yang berlaku saat ini sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas.

Pasalnya, ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global alias Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).

Menurutnya, dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi sehingga mengancam eksistensi Industri Hasil Tembakau (IHT).

“FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya,” tegasnya.


Bukan Hal yang Genting

Para petani tembakau di lahan perkebunan mereka di Desa Jatiguwi, Kabupaten Malang (Liputan6.com/Zainul Arifin)

Sementara, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi berpandangan upaya untuk merevisi PP 109/2012 bukanlah sesuatu yang genting, apalagi mengingat selama ini IHT telah patuh dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang termaktub dalam PP 109/2012.

Benny bilang, ketika industri berusaha bangkit dan memulihkan diri karena pandemi, justru gerakan, kampanye, dan regulasi terhadap IHT semakin eksesif. IHT selama ini disudutkan, dimusuhi, seolah tidak ada yang positif dari industri ini.

"Jelas sudah ada bias terhadap ekosistem pertembakauan dan sangat memberatkan. Ini yang sedang kami perjuangkan,” terang Benny.

Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menolak perubahan PP 109/2012 yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian tertentu.

“GAPPRI dengan tegas menolak perubahan PP 109/2012. Pasalnya, kami melihat PP 109/2012 yang ada saat ini masih relevan untuk diterapkan,” tegas Henry Najoan.

GAPPRI menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di tanah air.

“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan.

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya