Liputan6.com, Jakarta Dalam penyusunan dan penerapan peraturan seperti Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di berbagai lokasi, konsumen tidak pernah dilibatkan di dalamnya.
Hal itu disampaikan oleh Ketua Umum Pakta Konsumen (PK) Andi Kartala pada Focus Group Discussion (FGD) Ketimpangan Perlindungan Hak Konsumen dalam Kebijakan Ekosistem Pertembakauan di Yogyakarta.
Advertisement
"Sejak dilahirkan dan diterapkannya Perda KTR, konsumen tidak pernah dilibatkan. Padahal kebijakan dan regulasi tersebut secara jelas mengatur konsumen dengan sangat ketat," ujarnya, dikutip Minggu (21/8/2022)
Andi menegaskan bahwa konsumen produk tembakau memiliki tanggung jawab pada negara dalam bentuk cukai hasil tembakau (CHT) dan pajak yang disampaikan dalam PMK 192/PMK.010/2021.
Menurutnya, partisipasi konsumen dalam regulasi nyaris tidak ada, dilihat dari public hearing, penyusunan naskah akademik sampai sosialisasi, sehingga regulasi yang dihasilkan tidak berkeadilan dan hanya timpang di satu sisi saja.
"Konsumen tidak antiregulasi. Konsumen bersedia diatur dan siap memenuhi kewajibannya, tetapi tidak sebanding dengan sumbangsih yang diberikan. Kebijakan, aturan, dan regulasi yang ditunjukan pada konsumen produk tembakau hanya menekankan pada pelarangan bukan pembatasan," katanya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Lindungi Hak Konsumen
Komisioner Ombudsman DIY, Agung Sedayu, menuturkan sesuai amanah undang-undang, pemerintah berkewajiban untuk melindungi hak konsumen, serta memberikan akses kepada publik dalam perumusan regulasi sebelum aturan tersebut resmi diterapkan.
Namun, pada kenyataannya hak partisipatif publik sering terabaikan. Ketimpangan antara pemenuhan kewajiban dan hak tidak boleh terjadi dalam proses penetapan hukum.
"Hak konsumen yang telah berkontribusi lewat penerimaan negara memang belum sepenuhnya terpenuhi. Pelibatan langsung hak konsumen menjadi penting dan mendesak. Tanpa inovasi kebijakan, hak konsumen ekosistem pertembakauan hanya berakhir sekadar menjadi angka. Hak konsumen telah terabaikan dibandingkan kewajiban lewat pengenaan CHT yang telah mencapai Rp 188 triliun pada tahun lalu," tuturnya.
Agung menegaskan kebijakan dan pengambilan keputusan terkait regulasi dalam ekosistem pertembakauan perlu dievaluasi dan dikoreksi.
Mulai dari sisi produksi hingga konsumsi, pemenuhan hak konsumen dirasa masih kurang elok. Pemenuhan hak konsumen perlu sinergi jejaring komunikasi dan konsolidasi dari seluruh pihak, mulai dari pemerintah hingga lintas organisasi seperti Pakta Konsumen
"Agregasi aspirasi konsumen yang dilakukan kali ini diharapkan bisa menjadikan Yogyakarta sebagai daerah yang progresif dalam menerapkan strategi inovasi kebijakan ekosistem pertembakauan. Komitmen terhadap pemenuhan pelayanan publik hingga ruang konsumen, bisa dilakukan secara maksimal," kata Agung.
Advertisement
Suara Konsumen
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Yogyakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Antonnius Fokki Ardianto, menyatakan tidak memungkiri bahwa ada regulasi baik di tingkat daerah maupun pusat yang belum mengakomodir kepentingan semua pihak, termasuk hak konsumen.
Hal ini, menurut Fokki, karena masih lemahnya perjuangan kolektif suara konsumen itu sendiri. Pemerintah, lanjut Fokki, membutuhkan bukti nyata dalam bentuk data jumlah suara konsumen yang signifikan agar penyusunan regulasi dapat melindungi hak konsumen.
"Harus ada data yang representatif, yang menggambarkan kontribusi dan sumbangsih konsumen minimal per teritorial (daerah) agar konsumen punya daya tawar. Kebijakan harus disusun berdasarkan data dan fakta pendukung. Termasuk penerapan Perda KTR DIY yang berdampak pada konsumen," kata Fokki.