Liputan6.com, Bandung - Sengketa tanah di Dago Elos bergulir ke halaman anyar. Putusan Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung (MA) yang terbit tahun ini ternyata menguntungkan keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha. Mereka diprioritaskan memperoleh hak milik tanah, sedangkan warga Elos terancam digusur.
MA dalam putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022, dirujuk Liputan6.com melalui Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, menyatakan para tergugat atau lebih dari 300 warga dianggap melakukan perbuatan melawan hukum.
Advertisement
Warga Elos diminta pergi dari kampung yang kini mereka tinggali. Jika menolak, maka sangat mungkin alat berat dan beserta aparat negara itu dikerahkan. Secara paksa, dan dan tak jarang secara brutal.
“Menghukum para tergugat (Tergugat I sampai dengan Tergugat CCCXXXV) atau siapa saja yang memperoleh hak dari padanya untuk mengosongkan dan membongkar bangunan yang berdiri di atasnya serta menyerahkan tanah objek sengketa tanpa syarat apapun kepada PT Dago Inti Graha selaku Penggugat IV, bilamana perlu melalui upaya paksa dengan menggunakan bantuan alat keamanan negara,” demikian penggalan putusan tersebut.
Warga Elos dipaksa meruntuhkan rumah dan menyerahkan tanah kepada PT Dago Inti Graha, tanpa syarat. Namun, warga enggan menyerah, kini mereka memilih menjaga kampung untuk melawan penggusuran, sambil mengintip celah hukum lain yang mungkin masih bisa ditempuh.
* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Antara Bandung - Mahkamah Agung
Sengketa di dekat apartemen mewah The Maj Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, itu bermula sekitar November 2016 lalu. Warga tiba-tiba digugat generasi ke empat keluarga Muller yang mengaku ahli waris lahan seluas 6,3 hektare melingkup permukiman Dago Elos-Cirapuhan.
Saat itu, warga digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Bandung oleh empat pihak atas nama Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, dan PT Dago Inti Graha.
Mereka mengklaim memiliki Eigendom Verponding, bukti kepemilikan lahan di era Hindia Belanda, diwariskan kakek mereka, George Henrik Muller. Haknya lalu dioper kepada PT Dago Inti Graha, 1 Agustus 2016, lewat direktur utama Orie August Chandra.
Tanggal 24 Agustus 2017, majelis hakim PN Bandung, memenangkan gugatan keluarga Muller. Sejumlah bukti dari warga dimentahkan, dianggap tak cukup kuat untuk jadi alas hak.
“Para Penggugat telah berhasil membuktikan riwayat asal usul kepemilikan tanah objek gugatan a quo menurut hukum pertanahan, Para Penggugat berhak untuk mengajukan permohonan hak kepada Kantor Pertanahan Nasional,” dikutip dari salinan putusan Nomor 454/PDT.G/2016/PN.Bdg.
Bersama Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, warga naik banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Majelis hakim saat itu, terdiri dari hakim ketua Arwan Byrin, hakim anggota Achmad Sobari dan Ridwan Ramli, pun merilis putusannya pada 5 Februari 2018. Hasilnya, warga tetap kalah.
Selepas itu, warga mengajukan Kasasi ke MA. Warga memohon agar pengadilan bisa membatalkan dua putusan awal dari PN Bandung dan Pengadilan Tinggi Bandung.
29 Oktober 2019, jadi titik sejarah bagi warga Elos. Majelis hakim MA saat itu, terdiri dari hakim ketua Yakup Ginting, serta hakim anggota Ibrahim dan Yunus Wahab mengabulkan permohonan warga. Dua putusan sebelumnya digugurkan. Warga Elos bernapas lega dan merasakan kemenangan, meski untuk sesaat.
Advertisement
Klaim Lapuk Zaman 'Baheula'
Menurut klaim pihak keluarga Muller, tanah sengketa itu dulunya milik sebuah pabrik semen tempo dulu, PT Tegel Semen Handeel “Simoengan”. Singkat cerita, kepemilikannya diserahkan pada Goerge Hendrikus Wilhelmus Muller.
Selanjutnya, diwariskan lagi kepada George Hendrik Muller. Bukti kepemilikan tanah itu, katanya, diterbitkan oleh Kerajaan Belanda pada 1930-an silam.
Barulah pada 23 Januari 2014, waris itu menitis ke Heri Hermawan Muller, Dodi Rustendi Muller, Pipin Sandepi Muller, melalui Pengadilan Agama Kelas I Cimahi. Perkembangan berikutnya, mereka mengklaim telah mengoper hak milik kepada Direktur Utama PT Dago Inti Graha, Orie August Chandra, 1 Agustus 2016.
Klaim tanah itu didasarkan pada Eigendom Verponding, bukti kepemilikan tanah yang berlaku pada era Hindia Belanda. Namun, aturan pertanahan peninggalan kolonial itu sudah lapuk atau kadaluwarsa. Di antaranya, ditandai terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Tanah bekas Eigendom yang tidak dikonversi ulang otomatis dinasionalisasi menjadi tanah yang dikuasai negara. Dalam hal ini, termasuk tanah sengketa di Dago Elos-Cirapuhan.
Tanah Elos Milik Warga
Dalam putusan Kasasi pada 2019, majelis hakim menilai, klaim Eigendom Verponding keluarga Muller tidak berkekuatan hukum karena sudah berakhir dan tidak dikonversikan paling lambat 24 September 1980.
Majelis hakim mendasarkan putusannya sesuai Kepres Nomor 32 Tahun 1979 tentang Pokok-Pokok Kebijaksanaan dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat, serta Permendagri Nomor 3 Tahun 1979 tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat.
Dengan demikian, tanah Elos dinyatakan tanah yang dikuasai negara. Keluarga Muller atau PT Dago Inti Graha dinilai tidak berhak mengklaim, selain alas hak Eigendom Verponding kadaluwarsa, mereka pun tidak menempati atau menguasainya secara langsung.
Sebaliknya, yang lebih berhak atas tanah Elos adalah warga, sebab terbukti menguasai atau menempati tanah sejak lama.
“Telah terbukti Para Tergugat sudah menguasai objek sengketa dalam kurun lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik, penguasaan mana patut dan adil untuk diberikan hak milik atau diberikan hak prioritas untuk memohon hak atas tanah,” dikutip dari salinan putusan Mahkamah Agung.
Disampaikan LBH Bandung dalam pernyataan tertulis, pasca putusan Kasasi, terhitung sejak 21 Januari 2021, warga mengajukan permohonan sertifikasi pendaftaran tanah kepada Kantor Agraria dan Pertanahan (ATR/BPN) Kota Bandung, tapi tak kunjung ditanggapi.
Hingga akhirnya, putusan PK pun kadung terbit, menjungkirbalikkan kemenangan singkat yang sebelumnya sempat diraih warga.
Advertisement
Di Ujung Penggusuran
MA dalam putusan PK nomor 109/PK/Pdt/2022, menyebut jika alas hak Eigendom Verponding yang diklaim keluarga Muller memang sudah kadaluwarsa karena tidak pernah diajukan pembaharuan hak. Sesuai dengan putusan Kasasi sebelumnya, tanah Elos dipandang sebagai tanah yang dikuasai negara.
Namun, putusan PK 2022 turut menyertakan pertimbangan yang menyatakan bahwa karena Elos-Cirapuhan merupakan tanah negara, "sehingga siapa pun berhak untuk mendapatkan hak atas tanah obyek sengketa”.
Selain itu, putusan PK 2022 menegaskan, warga yang telah menempati lahan sengketa itu tidak serta merta memiliki hak, sebab mereka dianggap tidak mengantongi alas hukum yang sah.
"(1) Para Tergugat (warga) dinyatakan tidak memiliki bukti sah penggarapan lahan obyek sengketa; (2) Para Penggugat (keluarga Muller) dinyatakan belum memperbaharui hak Eigendom atas obyek sengketa".
Dalam pertimbangannya, majelis hakim mendudukkan tanah tersebut dalam posisi netral.
Selanjutnya, terdapat poin krusial, MA menimbang bahwa keluarga Muller dan PT Dago Inti Graha adalah pihak yang lebih diprioritaskan atas tanah tersebut, sebab dianggap lebih dulu mengajukan permohonan sertifikasi tanah. Sedangkan, warga disebut tidak pernah terbukti mengajukannya. Pertimbangan itulah yang menempatkan warga Elos ke ujung penggusuran.
"Maka Penggugat memiliki alas hak yang lebih kuat daripada Para Tergugat yang tidak memiliki bukti penguasaan ataupun alas hak, sehingga Penggugat telah dapat membuktikan dalilnya dalam perkara a quo sebagai pihak yang lebih berhak mendaftarkan atas tanah obyek sengketa".
Bertahan 'Sabubukna'
Belakangan hari, Dago Elos pun selalu semarak. Acara demi acara bergantian dihelat di pelataran Balai RW 02 itu. Dari mulai lapak buku dan pasar gratis, konser musik, pameran seni rupa, pertunjukan singa depok, acara diskusi atau olahraga, salat serta doa bersama, dan lainnya.
Semua acara terselenggara atas swadaya warga juga jaringan solidaritas yang turut tergerak. Di balik keramaian itu, memang ada penggusuran yang mengancam.
Kemeriahan di pelataran Balai RW tak cuma seru-seruan, jadi bagian dari ikhtiar dan merawat ikrar bersama untuk mempertahankan kampung, sabubukna, istilah mereka yang artinya sepadan dengan sampai hancur lebur.
“Ada gosip bulan depan kita digusur, ada juga gosip enam bulan lagi kita digusur,” ungkap warga Elos, saat diskusi bertajuk ‘Kita Masih Dijajah’, di Balai RW 02 Dago Elos, pekan lalu.
Bambang, salah satu pemateri diskusi tersebut, menilai, pertimbangan MA dalam putusan PK itu tidak lengkap. Putusannya dinilai hanya cenderung bersandar pada aspek formalitas pemberkasan, mengenyampingkan realitas sungguhan.
“Selain pertimbangan yuridis atau berkas-berkas, harusnya melihat secara sporadis di lapangan. Jika semangatnya (UUPA) untuk kemakmuran rakyat, maka lihatlah siapa yang paling lama menggarap, itu yang diutamakan,” katanya.
Di samping itu, Bambang menegaskan, selain pertarungan di pengadilan, juga yang penting ialah tetap bertahan mendiami kampung. Warga jangan terpecah belah, selalu berunding dan memutuskan langkah ke depan secara bersama-sama.
“Bertarung di pengadilan memang penting, juga lebih penting tetap tinggal disini. Tetap mempertahankan kampung, tetap mengurus kampung, tetap memelihara kampung,” katanya.
Kepala Divisi Riset dan Kampanye LBH Bandung, Heri Pramono menyebut, tim hukum dan warga masih mencari celah litigasi yang bisa ditempuh. Senada dengan Bambang, selagi mempersiapkan langkah itu, warga tak mesti kecil hati, tetap menjaga nyala juang bersama-sama.
“Di atas kertas mungkin kita kalah, tapi jangan kalah di atas tanah sendiri,” katanya.
“Untuk mempertahankan rumah dan tanah, juga tempat usaha, Insyaallah kita sanggup, sabubukna!” timpal seorang ibu warga Elos.
Advertisement