DW - Enam bulan sejak Rusia melancarkan apa yang diharapkan sebagai invasi kilat, perang di Ukraina kini mengeras menjadi konflik berkepanjangan tanpa harapan bisa berakhir dalam waktu dekat.
Dikutip DW Indonesia, Selasa (23/8/2022), Rusia, yang membentengi diri di wilayah selatan dan timur, berusaha menutup akses Ukraina terhadap pesisir Laut Hitam yang berperan vital bagi ekspor produk pertanian.
Advertisement
Sejauh ini, embargo dan sanksi ekonomi yang diputuskan Dunia Barat gagal memaksa Presiden Putin mengakhiri petualangan militernya dan menarik diri dari wilayah yang diduduki.
Namun meski menderita kerugian besar, tidak satu pihak pun bersedia mendeklarasikan gencatan senjata. Ukraina enggan menyerah demi melindungi keutuhan negeri, yang oleh Putin dianggap sebagai produk kekeliruan sejarah.
"Dalam situasi seperti ini, tidak ada yang bisa menang," kata Konstantin Kalachev, analis politik di Moskow, Rusia.
"Apa yang disebut sebagai operasi militer spesial ini bisa berlangsung bertahun-tahun."
"Rusia berharap bisa merontokkan moral Ukraina. Waktu sedang tidak berpihak kepada Ukraina dan perekonomian mereka bisa ambruk setiap saat," imbuhnya kepada AFP.
Marie Dumoulin, Direktur Hubungan Luar Negeri di Dewan Eropa, mengatakan totalitas dukungan Barat mendorong Ukraina atau Rusia untuk tidak mengendurkan serangan.
"Kedua pihak yakin mampu mencatatkan kemajuan militer, jadi sulit dibayangkan konfliknya akan berakhir cepat," tuturnya.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Rusia Kian Kuat
Presiden Putin mengklaim invasi dilancarkan sebagai bentuk perlawanan Rusia terhadap ekspansi NATO. Sebab itu pula "kapitulasi” tidak bisa menjadi opsi, katanya.
Rusia hingga kini belum sepenuhnya memutus akses Ukraina ke Laut Hitam. Karena kota pelabuhan terbesar, Odessa, masih berada di bawah kekuasaan Kyiv. Namun, Putin setiap saat bisa memerintahkan militernya menduduki kota tersebut.
Ketika fron mengeras, Presiden Ukraina, Volodomyr Zelensky, justru mengincar kemenangan taktis seperti penenggelaman kapal penjelajah rudal Rusia, Moskva, April silam.
Dengan cara itu, "dia bisa memotivasi serdadu dan penduduk Ukraina, serta menjadi pembenaran untuk meminta lebih banyak bantuan militer dari Eropa dan NATO,” kata Dumoulin.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Kaitan dengan NATO
Suplai senjata dan informasi intelijen dari NATO memang berhasil membantu Ukraina memperlambat gerakan Rusia di Donbas dan pesisir Laut HItam. Tapi untuk benar-benar menghentikan invasi, Zelensky menyaratkan persenjataan yang lebih canggih dan mumpuni dari Barat.
Tapi sejauh ini, lobi diplomasinya menemui jalan buntu. "Penduduk Ukraina bersatu mendukung pemerintah. Tapi stabilitas ini sangat bergantung pada angapan bahwa Barat akan setia membantu Ukraina dalam perang ini,” kata Dimitri Minic, analis di Institut Hubungan Luar Negeri Prancis.
Kedatangan musim dingin akan menguji kemampuan Ukraina untuk bertahan hidup. Selain suplai bahan bakar, pemerintah juga harus memastikan kerusakan infrastruktur tidak semakin menyusahkan warga saat dingin tiba.
Menurut Dumoulin, sebanyak 40 persen sekolah di Ukraina mengalami kerusakan parah dan tidak lagi layak digunakan. Kondisi ini bisa memicu dampak psikologis terhadap penduduk.
"Banyak akan bergantung pada kapasitas Ukraina menyintasi musim dingin ini, terutama untuk mereka yang berada di belakang medan perang. Situasinya akan sulit,” kata dia.
Sanksi Ekonomi
Kendati sanksi ekonomi Barat, Rusia terkesan sanggup membiayai perang panjang di Ukraina.
"Pemasukan dari ekspor minyak, gas, batu bara dan komoditas lain tidak hanya terus mengalir, bahkan melampaui perkiraan,” kata Chris Weafer, analis Rusia di lembaga konsultan, Macro-Advisory.
Menurutnya, Rusia tergolong berhasil memitigasi dampak sanksi yang sudah dijatuhkan Barat sejak aneksasi Krimea. "Ekonomi, industri dan warga biasa punya waktu delapan tahun untuk beradaptasi terhadap sanksi,” kata dia.
"Sehingga sekarang, negara dan masyarakat Rusia lebih siap dan berswasembada, meski masih dalam level dasar,” imbuhnya.
Wafer meyakini, dampak terbesar embargo ekonomi Barat baru akan terasa dalam beberapa tahun ke depan, ketika pemerintah akan terpaksa memindahkan anggaran investasi untuk membiayai perang.
"Kita akan mulai merasakan dampak maksimalnya dalam sekitar lima tahun," imbuh Konstantin Kalachev, analis politik Rusia di Moskow.
Advertisement