Liputan6.com, Jakarta - Rancangan Undang-undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) didorong untuk segera disahkan. Salah satu dampaknya jika RUU ini disahkan akan mampu menegakkan supremasi sipil di tahun politik.
"UU Kamnas ini akan melahirkan nasional security council. Hari ini Presiden kita itu tidak punya dewan yang mengarahkan bagaimana kebijakan politik luar negeri, padahal dunia sedang bergolak. UU Kamnas ini nantinya sekaligus 'bertindak' dengan kebijakan pertahanan," ujar akademisi yang juga pengamat militer Connie Rahakundinie Bakrie pada diskusi 'Dialog Hankam: Urgensi Tata Kelola Pertahanan Nasional di Tahun Politik', Kamis (29/9/2022).
Advertisement
Selain itu, lanjut Connie, guna menjaga kemurnian hak yang telah diberikan negara kepada Presiden dan menggerus kepentingan politik, mekanisme pengangkatan Panglima TNI harus dikembalikan lewat proses di Dewan Kepangkatan dan Jabatan Tinggi (Wanjakti).
Menurutnya, selama ini, menjelang pergantian tampuk pimpinan tertinggi di organisasi TNI sering disusupi dinamika politik. Padahal TNI harus terbebas dan terpisah dari politik praktis.
"Setiap kali menjelang penentuan Panglima TNI kerap dibumbui nuansa politik yang kental," ujarnya.
Sekjen Kementerian Pertahanan (Kemhan) 2019-2020 Laksdya TNI (Purn) Agus Setiadji menyatakan, Indonesia saat ini harus siap menghadapi perang generasi keenam.
"Serangan hacker Bjorka itu bukan perang cyber lagi. Sekarang kita sudah harus siap menghadapi perang generasi keenam. Kita nggak tahu apa-apa tapi tahu-tahu perang sesama anak bangsa," ujar Agus.
Sipil-Militer Harus Seimbang
Sementara itu, Ketum PB HMI Raihan Ariatama mengatakan, Indonesia adalah negara sipil, namun keberadaan militer tidak bisa dinafikan karena juga bagian penting dari negara.
"Menurut kami hubungan antara sipil dan militer harus seimbang. Harus terjalin dengan bagus. Jangan sampai terjadi dikotomi antara militer dan sipil harus berjalan beriringan agar kedepan tidak ada pertentangan. Semua harus bersama-sama," ujarnya.
Advertisement