Liputan6.com, Jakarta Kedaulatan digital dinilai sangat penting agar pergerakan nilai dan arus data, baik secara nasional maupun global, dapat dikelola dengan baik. Pun demikian, upaya untuk mewujudkan kedaulatan itu masih menghadapi sejumlah tantangan.
Terkait kedaulatan digital, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini lebih memprioritaskan pada memperbaiki literasi digital masyarakat Indonesia, terutama menyangkut keamanan data pribadi.
Advertisement
Hal ini diakui oleh Devie Rahmawati, Tenaga Ahli Menteri Kominfo, di mana pemahaman tentang kedaulatan data pribadi masyarakat masih tergolong minim.
Menurutnya, setiap masyarakat memiliki tanggung jawab bersama untuk menjaga kedaulatan negara. Tidak semata-mata tugas pemerintah secara penuh. Meski demikian, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi setiap warga negara, termasuk konteks kedaulatan data.
"Ruang digital nyaris semuanya ruang publik. Menjadi tantangan, karena orang gemar untuk menampilkan informasi pribadi. Ini dilakukan oleh orang-orang yang sebenarnya sudah banyak menggunakan internet," ujar Devie dalam diskusi virtual Gizmotalk yang digelar Gizmologi bertema ‘Tantangan Membangun Kedaulatan Digital Indonesia’, belum lama ini.
Karena rekayasa sosial yang ada di internet memanfaatkan celah psikologis, ia menilai membuat kebanyakan masyarakat seolah tidak sadar untuk membagikan data pribadi ketika berpartisipasi.
Kominfo memandang literasi digital merupakan salah satu cara untuk membantu masyarakat memahami pelindungan data pribadi tingkat dasar.
Sejak 2021, pemerintah mencanangkan program “Makin Cakap Digital”. Program ini mengingatkan masyarakat untuk menjaga datanya, tak hanya sekadar terampil. Etika, budaya, dan keamanan digital adalah tiga poin utamanya.
"Dari target 10 juta orang, berhasil melampaui target hingga 14 juta orang. Targetkan 50 juta orang pada akhir 2024," ungkap Devie.
Ia juga menambahkan, program edukasi tidak akan terhenti di satu generasi. Banyak yang berpikir jika Gen Z adalah kaum yang melek dunia digital. Anak gen Z justru generasi paling baru yang juga paling abai terhadap sekuriti. Ini paling berbahaya karena merasa paling tahu, justru paling rentan.
Siapa pun pemimpin ke depan, hal ini akan selalu menjadi tantangan. Berbagai kondisi ini diakuinya menjadi salah satu PR (pekerjaan rumah -red) dengan terus keliling ke masyarakat untuk mengajarkan cakap digital.
Literasi Digital untuk Keamanan Data Pribadi
Melalui program literasi digital, warganet diharapkan bisa lebih menyadari dan bijak soal apa yang mereka bagikan di media sosial. Menurutnya, edukasi dan literasi digital tidak akan pernah berhenti karena masyarakat saat ini hidup di dua tempat, dunia nyata dan dunia maya, dan ruang digital yang terus berkembang.
Selain itu, Kemkominfo juga terus membenahi struktur digital, termasuk mengadakan regulasi PSE (Penyelenggara Sistem Elektronik), dirancang semata untuk melindungi warna negara supaya tidak dirugikan.
“Kami menyadari ketika masyarakat marah, kami justru bahagia karena kesadaran masyarakat ternyata cukup tinggi. Sehingga mereka telah memahami terkait kepentingan data. Sempurna atau tidak sempurnanya pemahaman warga merupakan tanggung jawab dari Kominfo,” ucap Devie menambahkan.
Edukasi mengenai perlindungan dan keamanan data pribadi, menurut Devie tidak hanya soal bagaimana supaya data tidak bocor, tapi juga apa yang harus dilakukan ketika data bocor.
Devie mengutip riset dari Universitas Gadjah Mada, pada tahun 2021, pinjol ilegal masif sekali beroperasi mendatangkan korban. Namun sayangnya, korban data pribadi memilih untuk pasrah, daripada melaporkan kejadian tersebut ke pihak berwenang.
"Padahal dengan laporan mereka bisa membantu atau memiliki modal menelusuri para penjahat digital. Korban kebanyakan memilih diam, karena malu dan memilih pasrah, bahkan ada yang menganggap ini takdir," imbuhnya.
Menurutnya, di sini tantangannya secara sosiologis, masyarakat perlu dibantu agar tidak memberikan kesempatan kepada siapapun untuk memberikan data pribadi yang ujungnya bisa memiskinkan masyarakat.
“Data OJK dari Tahun 2011-2020, tercatat kerugian ada sekitar Rp 114 triliun. Ada dana pensiun, tabungan haji, dan sebagainya yang hilang begitu saja dicuri akibat kesadaran literasi digital tidak dimiliki,” ungkapnya.
Advertisement
Pemerintah Wajib Melindungi Warga Negara
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengaku kaget dengan pernyataan Devie yang mengesankan Kominfo menyalahkan masyarakat atas terjadinya kebocoran data.
Ia menilai sebagai pemerintah yang berkuasa untuk membuat dan menegakkan aturan, seharusnya bisa memberikan solusi.
"Jadi seolah-olah kita yang salah atas kebocoran data. Kalau gitu, BPJS engga salah ya, ecommerce-ecommerce yang datanya bocor kemarin juga engga salah?," sindirnya.
Menurutnya, sudah tugas pemerintah untuk bisa melindungi warganya. Selain mempercepat pengesahan UU PDP, seharusnya pemerintah juga berupaya mempersempit gap digital.
'Kue' digital jangan terpusat hanya di kota besar, khususnya pulau Jawa. Ini intinya ada di infrastruktur digital di semua wilayah Indonesia sehingga semua bisa merasakan akses internet, bisa merasakan aplikasi digital, dan ekosistem digital lainnya.
"Pemerintah perlu segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Selain itu bisa membentuk Komisi Perlindungan Data Pribadi yang memiliki tugas untuk melakukan pembinaan dan pengawasan platform digital dalam penggunaan dan perlindungan data pribadi pengguna. Terakhir, membuat mekanisme perlindungan, pengelolaan, dan pengawasan data pribadi," paparnya.
Menurut Nailul, Perlindungan Data Pribadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan negara.
Selain bisa menjadi kerangka regulasi yang lebih kuat dan komprehensif, juga bisa menciptakan keseimbangan dalam tata kelola pemrosesan data pribadi dan jaminan perlindungan hak subjek data. Bahkan bisa menjadi instrumen hukum untuk mencegah dan menangani kasus pelanggaran data pribadi
"Tidak dipungkiri jika PDP bisa mempercepat pembangunan ekosistem ekonomi digital, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang haknya sebagai subjek data, dan menciptakan keseteraan dalam aturan perlindungan data pribadi di tingkat global," Nailul melanjutkan.
Syarat Terwujudnya Kedaulatan Digital
Nailul menambahkan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bila kedaulatan digital bisa terwujud. Syaratnya adalah infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM), Penggunaannya, serta segera disahkannya RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP).
"Pertama kurangi gapnya, bisa infrastruktur, SDM, dan penggunaannya. Pengguna digital ini kan masih rendah. E-commerce saja baru 15 persen pelaku usaha kita yang pakai itu. Fintech peer to peer landing masih berkutat di pulau jawa. SDM, digital knowledge masih rendah. Ini yang harus kita sinkronkan," kata Nailul.
Menurutnya, beberapa hal itu harus dilakukan secara pararel. Jangan ada ketimpangan yang tinggi di antara syarat-syarat tersebut.
Misalnya saja, terlalu memikirkan disahkannya RUU PDP saja, tak memperhatikan hal-hal teknis lainnya. Namun justru semua hal perlu adanya orkestrasi yang bagus.
"Seperti yang saya sampaikan harus dilakukan secara pararel. Kita mengejar ke parlemen juga untuk menegakan RUU PDP. RUU PDP elemen dalam hal perlindungan data pribadi. Ketika disahkan pun, itu sudah menunjukan perbaikan. Kedaulatan digital itu harus dilihat secara holistic. Bukan Cuma mengenai peraturan saja. Kita dorong semua agar selesai, pada akhirnya kedaulatan digital tercapai secara inklusif," jelasnya.
Inklusivitas digital, lanjut Nailul, dirasa sangat perlu untuk diterapkan. Pasalnya, di balik tumbuhnya ekonomi digital, ternyata masih ada masalah-masalah yang harus diselesaikan. Kemajuan teknologi bisa mengakibatkan ketimpangan serius.
Tantangan Menjaga Kedaulatan Digital
Sementara itu menurut Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institue, ada beberapa tantangan dalam menjaga kedaulatan digital. Salah satunya adalah masalah infrastruktur.
"Masalah infrastruktur perlu ada percepatan, ini menjadi krusial karena tahun 2025 tidak lama lagi sehingga harus ada percepatan," ujar Heru yang ikut dalam diskusi virtual Gizmotalk dari Belanda.
Di tingkat bisnis atau industri, Indonesia harus meningkatkan produk dalam negeri serta meningkatkan transformasi digital.
Heru Sutadi juga menyebut bahwa negara kita hanya menjadi pasar tanpa produk dalam negeri. Praktis, perkembangan ekonomi digital bukan di Indonesia karena kita hanya menjadi pasar.
Oleh sebab itu, kita harus membangun ekosistem, baik dari dalam maupun luar negeri. Harus ada regulasi yang memiliki keberpihakan terhadap lokal. Tantangan terakhir adalah menyangkut keamanan digital.
“Saya melihat kedaulatan digital itu dua sisi, negara berdaulat dengan negara lain, dan rakyat memiliki kedaulatan akan mereka bisa akses internet dan mendapatkan manfaat dari perkembangan digital,” Heru memungkaskan.
Advertisement