Liputan6.com, Seoul - Korea Selatan menyebut pesawat tempur Rusia memasuki zona udaranya tanpa pemberitahuan dan mengatakan pihaknya menanggapi dengan “tindakan taktis” -- sebuah istilah yang biasanya mengacu pada upaya mengusir pesawat asing.
Kepala Staf Gabungan Korea Selatan mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa langkah itu bertujuan untuk mencegah bentrokan yang tidak disengaja di sepanjang zona identifikasi pertahanan udaranya.
Militer Korea Selatan tidak mengkonfirmasi laporan media Rusia bahwa mereka mengerahkan jet tempur F-16 sebagai tanggapan atas dua pesawat tipe Tu-95 Rusia yang dikawal oleh jet tempur Sukhoi Su-30.
Baca Juga
Advertisement
Insiden itu terjadi sehari setelah Korea Selatan dan Amerika Serikat memulai latihan militer gabungan terbesar mereka dalam beberapa tahun sebagai tanggapan terhadap ancaman nuklir Korea Utara.
Latihan Ulchi Freedom Shield, yang berlanjut hingga 1 September, melibatkan pesawat, kapal perang dan tank serta berpotensi puluhan ribu tentara.
Zona identifikasi pertahanan udara biasanya meluas di luar wilayah suatu negara untuk memberikan lebih banyak waktu untuk menanggapi pesawat yang berpotensi menyerang.
Normalnya, pesawat militer yang memasuki zona identifikasi pertahanan udara negara lain harus memberitahukannya terlebih dahulu.
Pesawat tempur Rusia dan China sering memasuki zona identifikasi pertahanan udara Korea Selatan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2019, Korea Selatan mengatakan bahwa jet tempurnya menembakkan ratusan tembakan peringatan ke arah pesawat militer Rusia yang dikatakannya dua kali melanggar wilayah udara nasional di lepas pantai timurnya.
Meski begitu, Rusia membantah bahwa pesawatnya memasuki wilayah Korea Selatan.
* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
Pesawat Rusia dan China Terobos Zona Udara Korea Selatan
Sejumlah pesawat perang Rusia dan China dilaporkan menerobos zona udara Korea Selatan yang digunaka untuk identifikasi. Militer Korea Selatan telah mengambil persiapan taktis untuk antisipasi.
Zona yang diterobos adalah Zona Identifikasi Pertahanan Udara Korea (KADIZ). Pada zona itu pesawat asing harus mengidentifikasi diri supaya bisa menghindari kecelakaan. Insiden itu terjadi pada Selasa (24/5).
"Sebelum masuknya mereka ke KADIZ, militer kita mengerahkan petarun Angkatan Udara untuk melaksanakan langkah-langkah taktis melawan situasi-situasi potensi kecelakaan," ujar Kepada Staf Gabungan di pemerintah Korea Selatan, dilansir Yonhap, Kamis (26/5/2022).
Ada dua pesawat milik China dan empat milik Rusia yang masuk KADIZ, namun mereka dilaporkan tidak melanggar wilayah udara Korsel.
Peristiwa terjadi pada pagi dan sore hari. Pada pukul 07:56 pagi ketika dua pesawat bomber H-6 China masuk KADIZ. Titik masuk berada 126 kilometar barat daya Ieodo, sebelah selatan Pulau Jeju.
Pesawat milik China itu bergerak menuju Laut Timur dan keluar zona sekitar pukul 09.33 pagi.
Kemudian, muncul lagi dua kapal perang China bersama empat pesawat perang Rusia, termasuk dua pesawat bomber TU-95. Keduanya masuk KADIZ pada 09:58 pagi, kemudian keluar zona pada 10:15.
Kejadian serupa berulang sekitar pukul 15:40 sore, meski tak menembus KADIZ. Empat pesawat China dan dua milik Rusia terpantau terbang di tenggara Ieodo.
Pada April 2022, pesawat milik China dan Rusia juga menembus KADIZ. Insiden itu terjadi di tengah invasi Rusia ke Ukraina. Posisi Korea adalah membela Ukraina, sementara China lebih condong ke Rusia.
* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Advertisement
Pakar Disinformasi: China Bantu Sebar Narasi Rusia
Terkait invasi Rusia, pakar disinformasi dan jurnalis senior Peter Pomerantsev menyorot adanya kepentingan bersama antara Rusia dan China. Selama invasi Rusia ke Ukraina, China juga setia menyebarkan informasi dari Rusia.
"Cerita-cerita yang diliput media China sesuai dengan narasi-narasi Rusia. Jurnalis-jurnalis China menempel dengan miiter Rusia," ujar Peter Pomerantsev dalam acara Views From Ukraine, dikutip Rabu (25/5).
"Kita juga melihat pernyataan dari atas bahwa pada dasarnya Rusia dan China memiliki agenda global dan informasi yang sama," lanjut Pomerantsev.
Pomerantsev aktif sebagai Senior Fellow at the SNF Agora Institute at Johns Hopkins University. Ia mengurus proyek Arena Initiative yang fokus pada disinformasi dan polarisasi era digital.
Menurut Pomerantsev, narasi Rusia yang populer adalah Rusia menyerang Ukraina karena "kolonialisasi" Barat di Eropa Timur.
Pomerantsev menyebut ada "metanarasi" antara Rusia dan China.
Di Rusia, Pomerantsev berkata bahwa tidak banyak warga Rusia yang menolak perang. Berdasarkan survei yang dilihat Pomerantsev, jumlah penolak invasi selalu konsisten 30 persen. Namun, Pomerantsev berkata semestinya warga Rusia bisa melihat fakta tentang invasi apabila mereka mau.
"Orang-orang tidak suka mendengarkan hal-hal buruk tentang negara mereka," ujar Pomerantsev.
Kedua negara itu juga kompak selalu menyalahkan Barat, misalnya seperti upaya demokratisasi Hong Kong ketika China menyalahkan Amerika Serikat. Rusia-China juga dinilai punya kesamaan dalam hal kekuatan sentralisasi negara dan pemantauan penuh kepda masyarakat.
Diplomat Rusia di PBB Mundur karena Malu Atas Kebohongan Negaranya
Diplomat senior Rusia di PBB memilih mundur akibat malu atas aksi pemerintahan Vladimir Putin yang menyerang Ukraina. Diplomat bernama Boris Bondarev itu menyebut aksi Rusia sebagai "perang agresif".
"Selama dua puluh tahun karier diplomatik saya telah melihat berbagai belokan dari kebijakan luar negeri kita, tetapi tak pernah saya merasa malu atas negara saya pada 24 Februari tahun ini," tulis pernyataan Boris Bondarev, dilansir UN Watch, Selasa (24/5).
"Perang agresif ini yang dikerahkan oleh Putin terhadap Ukraina, dan faktanya terhadap seluruh dunia Barat, itu tidak hanya kejahatan kepada rakyat Ukraina, tetapi juga mungkin kejahatan paling serius kepada rakyat Rusia," jelas Bondarev.
Narasi dari pemerintah Rusia adalah mereka menyerang Ukraina karena menolak ekspansi NATO hingga menyerang Neo-Nazi. Akan tetapi, Bondarev menyorot motif kekuasaan.
"Mereka yang mencetuskan perang ini hanya menginginkan satu hal - agar tetap berkuasa selamanya, hidup di istana-istana yang megah tak berselera, berlayar di kapal pesiar yang ukuran dan biayanya setara dengan seluruh Angkatan Laut Rusia, menikmati kekuasaan tanpa batas, dan kekebalan menyeluruh. Demi meraih hal itu mereka mau mengorbankan nyawa sebanyak mungkin," tulis Bondarev.
Tidak hanya itu, Bondarev juga mengakui level kebohongan dan sikap tak profesional telah meningkat di Kementerian Luar Negeri. Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov disorot oleh Bondarev.
"Menteri Lavrov adalah ilustrasi yang baik untuk degradasi sistem ini. Selama 18 tahun, ia berubah dari intelektual profesional dan terdidik, yang dipandang tinggi oleh banyak kolega, menjadi orang yang terus-terusan menyebar pernyataan yang saling berkonflik dan mengancam dunia (Rusia juga) dengan senjata-senjata nuklir!" ujar Bondarev.
"Hari ini, Kementerian Luar Negeri bukan tentang diplomasi. Ini tentang menggelora perang, kebohongan, dan kebencian," ujar diplomat senior itu.
Advertisement