Krisis Sri Lanka, IMF Temui Presiden Ranil Wickremesinghe Bahas Bailout dan Utang

IMF melakukan pertemuan dengan Presiden Ranil Wickremesinghe, membahas restrukturisasi utang Sri Lanka.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 25 Agu 2022, 12:00 WIB
Orang-orang membeli bawang merah dan bawang putih impor di sebuah pasar di Kolombo, Sri Lanka, Minggu (26/6/2022). Perdana Menteri Ranil Wickremesinghe mengungkapkan bahwa ekonomi Sri Lanka telah bangkrut setelah berbulan-bulan berjuang menghadapi kekurangan pasokan makanan, bahan bakar dan listrik. (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Liputan6.com, Jakarta - Sebuah tim dari Dana Moneter Internasional (IMF) melakukan pertemuan dengan Presiden Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, untuk pembicaraan tentang bailout. Termasuk restrukturisasi utang sekitar USD 29 miliar atau setara Rp 430 triliun.

Seperti diketahui, Sri Lanka tengah berjuang memulihkan ekonominya yang dilanda krisis terburuk dalam lebih dari 70 tahun.

Dilansir dari Channel News Asia, Kamis (25/8/2022) pembahasan utama dalam pertemuan IMF dengan pejabat Sri Lanka kali ini adalah tentang bagaimana menangani utang Sri Lanka, yang mencapai 114 persen dari PDB pada akhir tahun lalu.

"Selanjutnya diputuskan untuk mengadakan putaran diskusi lagi pada hari Jumat, dan untuk membahas masalah teknis dengan pejabat Bank Sentral di masa depan," demikian pernyataan Kantor Presiden Sri Lanka, terkait pertemuan itu.

"Masalahnya adalah bagaimana utang China dan domestik akan dimasukkan dalam pembicaraan," kata Timothy Ash, ahli strategi senior pasar negara berkembang di BlueBay Asset Management.

Sri Lanka memiliki utang bilateral senilai USD 9,6 miliar dan kredit swastanya, yang mencakup obligasi internasional, mencapai USD 19,8 miliar (Rp 293,6 triliun), menurut data kementerian keuangan negara itu.

Jepang dan China adalah pemegang utang bilateral terbesar Sri Lanka, dengan yang terakhir menyumbang sekitar USD 3,5 miliar (Rp 51,9 triliun).

Secara keseluruhan, ketika utang komersial ditambahkan, China memegang sekitar seperlima dari portofolio utang Sri Lanka.


Pembicaraan Restrukturisasi Utang Internasional dengan Jepang

Seorang buruh menarik gerobak di pasar grosir di Kolombo, Sri Lanka, Minggu (26/6/2022). PM Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada Parlemen bahwa Sri Lanka juga menghadapi situasi yang jauh lebih serius, serta memperingatkan "kemungkinan jatuh ke titik terendah." (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Selama berbulan-bulan, Sri Lanka dengan populasi 22 juta telah berjuang dengan lonjakan inflasi, kontraksi ekonomi dan kekurangan pangan, bahan bakar hingga obat-obatan yang disebabkan oleh rekor penurunan cadangan devisa.

Krisis keuangan terparah sejak kemerdekaan Sri Lanka dari Inggris ini juga merupakan dampak gabungan dari pandemi Covid-19.

Presiden Ranil Wickremesinghe, yang juga menteri keuangan, berencana meminta Jepang untuk memimpin pembicaraan mengenai restrukturisasi utang bilateral setelah Sri Lanka mendapat dukungan dari IMF.


Terjerat Krisis, Sri Lanka Siapkan Kebijakan Potong Utang hingga Genjot Ekonomi 25 Tahun

Pemerintah Indonesia mengirimkan 5.000 metrik ton beras untuk masyarakat Sri Lanka yang sedang mengalami krisis pangan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Presiden baru Sri Lanka Ranil Wickremesinghe, mengungkapkan bahwa pemerintahnya sedang mempersiapkan kebijakan nasional untuk memotong utang publik dan menjadikan negaranya ekonomi ekspor yang kompetitif dalam 25 tahun ke depan.

Rencana ekonomi itu datang ketika Sri Lanka sedang dalam perjuangannya keluar dari krisis ekonomi terburuk dalam 70 tahun.

Dalam pidatonya di depan Parlemen Presiden Ranil Wickremesinghe mengatakan bahwa Sri Lanka membutuhkan solusi jangka panjang dan landasan yang kuat untuk menghentikan terulangnya krisis ekonomi.

Wickremesinghe mengatakan pemerintahnya telah memulai negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) tentang rencana penyelamatan ekonomi Sri Lanka dalam empat tahun, serta finalisasi rencana restrukturisasi utang.

"Kita akan mengajukan rencana ini ke Dana Moneter Internasional dalam waktu dekat, dan bernegosiasi dengan negara-negara yang memberikan bantuan pinjaman. Selanjutnya negosiasi dengan kreditur swasta juga akan mulai mencapai mufakat," kata Wickremesinghe, dikutip dari Associated Press, Kamis (4/8/2022).

Lebih lanjut Wickremesinghe menyebut, krisis listrik telah memulai masa pemulihan, serta pasokan pupuk dan distribusi gas untuk memasak juga mulai membaik.

"Langkah-langkah keamanan telah diambil untuk menghindari kekurangan pangan. Distribusi obat-obatan esensial dan peralatan medis ke rumah sakit juga sudah dimulai. Sekolah telah dibuka kembali. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi kendala yang dihadapi oleh industri dan sektor ekspor," jelasnya.

Wickremesinghe telah mengatakan sebelumnya bahwa negosiasi dengan IMF sempat berjalan sulit karena kebangkrutan Sri Lanka dan target awal untuk bulan Agustus tidak mungkin tercapai.

Sekarang, pembicaraan pemerintah Sri Lanka dan IMF diharapkan kembali berjalan pada bulan September mendatang.


Sri Lanka Hemat BBM untuk Redam Krisis

Pedagang bahan makanan impor menunggu untuk memperdagangkannya di pasar grosir di Kolombo, Sri Lanka, Minggu (26/6/2022). PM Ranil Wickremesinghe mengatakan kepada Parlemen bahwa Sri Lanka juga menghadapi situasi yang jauh lebih serius, serta memperingatkan "kemungkinan jatuh ke titik terendah." (AP Photo/Eranga Jayawardena)

Alih-alih mengandalkan pinjaman luar negeri untuk impor BMM, Wickremesinghe menyarankan, Sri Lanka harus memulai sistem di mana pendapatan ekspor dan pengiriman uang pekerja asing digunakan untuk pembelian.

"Kami juga harus membatasi impor tertentu untuk menyeimbangkan pembayaran BBM. Di sisi lain, pasokan BBM harus dibatasi. Kesulitan ini harus ditanggung sampai akhir tahun ini," dia mengakui.

Wickremesinghe pun menyampaikan terima kasih kepada Perdana Menteri India Narendra Modi yang telah menyalurkan bantuan kepada Sri Lanka melalui jalur kredit dan pinjaman untuk membeli pangan, obat-obatan dan BBM.

Sang presiden pun membeberkan target Sri Lanka menciptakan surplus dalam anggaran primer pada tahun 2025 mendatang, dan menurunkan utang publik, yang saat ini mencapai 140 persen dari PDB, menjadi kurang dari 100 persen pada tahun 2032.

"Ekonomi harus dimodernisasi. Stabilitas ekonomi harus dibangun dan ditransformasikan menjadi ekonomi ekspor yang berdaya saing. Dalam konteks ini, kami sekarang sedang menyiapkan laporan, rencana, peraturan, undang-undang dan program yang diperlukan," pungkasnya.

"Jika kita membangun negara, bangsa, dan ekonomi melalui kebijakan ekonomi nasional, kita akan dapat menjadi negara yang sepenuhnya maju pada tahun 2048, ketika kita merayakan peringatan 100 tahun kemerdekaan," tutur Wickremesinghe.

Infografis Ragam Tanggapan Ancaman Ekonomi Global Akan Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya