Liputan6.com, Aceh - Wacana pembuatan qanun alias peraturan daerah soal legalisasi ganja medis muncul di Aceh, usai Komisi V Bidang Kesehatan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) melontarkan usulan tersebut.
Advertisement
"Sebuah keharusan Aceh melakukan sebuah kajian dan ini tentunya akan melahirkan sebuah regulasi, tentunya karena kita berbicara Aceh adalah qanun," kata Ketua Komisi V DPRA M Rizal Falevi Kirani, di Banda Aceh, Rabu (24/8/2022).
Falevi mengatakan, baru-baru ini Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan Nomor 16 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Produksi dan/atau Penggunaan Narkotika untuk Kepentingan Pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Permen tersebut, kata Falevi, menjadi dasar pihaknya melakukan kajian yang lebih komprehensif terhadap rencana legalisasi ganja medis.
"Saya pikir karena Aceh mempunyai literatur ganja yang sangat komprehensif, dan juga memiliki berkualitas terbaik, tentu ini menjadi penting dikaji untuk melahirkan sebuah regulasi," ujarnya.
Falevi menyampaikan, peluang yang ada tersebut harus dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh dengan cara melegalkan-nya. Apalagi saat ini masih banyak negara yang tidak bisa tumbuh tanaman ganja berkualitas seperti di Aceh.
Karena itu, perlu mengatur mekanisme dan tata cara apa saja yang dilarang dan dibolehkan. Sehingga nantinya tanaman ganja tersebut benar-benar dimanfaatkan untuk kepentingan medis.
"Ini juga menjadi salah satu prospek ke depan untuk peningkatan PAD (pendapatan asli daerah) Aceh. Karena ini akan menjadi barang ekspor untuk negara-negara luar," katanya.
Libatkan Tim Riset
Falevi menuturkan, saat ini pihaknya bersama unsur lainnya terus menganalisis secara detail positif dan negatifnya penerapan qanun tersebut nantinya.
Dalam waktu dekat, lanjut Falevi, Komisi V DPRA segera memanggil para tenaga ahli untuk mengkaji secara regulasi-nya, serta juga melibatkan berbagai unsur baik itu orang kesehatan serta tim riset.
Secara literatur, tambah Falevi, tanaman ganja bukan barang asing dan tabu bagi masyarakat Aceh. Hanya saja bagaimana itu kemudian dikemas dalam sebuah regulasi agar tidak menyalahi aturan bernegara.
"Disini lah hadirnya pemerintah untuk mengatur tersebut, sehingga rakyat tidak disalahkan. Tentunya sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan berlaku," demikian Falevi Kirani.
Advertisement
Wacana Ganja Medis di Tanah Air
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materi Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika terhadap UUD 1945 terkait Penggunaan Ganja Medis untuk Kesehatan. Walau begitu, MK menekankan untuk mendorong adanya penelitian atau kajian penggunaan ganja medis.
Terkait putusan MK, Juru Bicara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia Mohammad Syahril menyampaikan, Kemenkes segera menindaklanjuti hal tersebut. Bahwa ganja yang masuk kategori 'Narkotika Golongan I' ini membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk kemungkinan melihat pemanfaatan secara medis.
"Sesuai dengan pendirian (putusan) MK, Kemenkes akan menindaklanjutinya (penelitian ganja untuk medis)," kata Syahril saat dikonfirmasi Health Liputan6.com beberapa waktu lalu.
MK menolak gugatan perkara Nomor 106/PUU-XVIII/2020 yang diajukan Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, Nafiah Murhayanti, Perkumpulan Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dan Perkumpulan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat atau Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Menurut MK, pihaknya tidak berwenang mengadili materi legalisasi ganja untuk medis yang dimohonkan. Sebab, permohonan para pemohon merupakan bagian dari kebijakan terbuka DPR dan Pemerintah untuk mengkaji, apakah ganja bisa digunakan untuk medis.
“Mengadili, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar ketua MK Anwar Usman dalam persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Rabu (20/7/2022) silam.