DW - Sebelas tahun setelah gempa bumi dan tsunami yang berujung pada penutupan pembangkit listrik tenaga nuklir Fukushima, Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, negaranya saat ini sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang masa operasional dan membangun pembangkit listrik tenaga nuklir generasi baru.
"Jepang perlu mengingat skenario potensi krisis," kata Kishida.
Advertisement
Dikutip DW Indonesia, Kamis (25/8/2022), pengumuman Kishida pada Konferensi "Transformasi Hijau" yang dilakukannya secara virtual karena dirinya positif terinfeksi COVID-19, merupakan penyimpangan dari kebijakan resmi yang diumumkan sebelumnya di Jepang.
Negara akan memutuskan kebijakan barunya pada akhir tahun, katanya.
Setelah bencana Fukushima, kebijakan pemerintah dan opini publik tiba-tiba bergeser pada pengurangan penggunaan tenaga nuklir, mengingat aktivitas seismik yang signifikan di Jepang. Pembangkit listrik yang ada hanya diizinkan untuk digunakan selama 60 tahun lagi.
Setelah Fukushima, pihak berwenang menetapkan batas 40 tahun pada masa operasi pembangkit listrik tenaga nuklir, dengan kemungkinan tambahan 20 tahun jika langkah-langkah keamanan yang ketat dipatuhi.
Di tahun 2030, Jepang berharap dapat mengurangi konsumsi tenaga nuklir hingga mencapai sekitar seperlima dari kapasitas negara, pengurangan yang signifikan sebelum insiden Fukushima. Jepang telah menyatakan harapannya untuk menjadi netral karbon pada tahun 2050 mendatang.
Penggunaan Tenaga Nuklir
Pada akhir Juli, Jepang memiliki tujuh reaktor yang beroperasi, dengan tiga lainnya tidak dioperasikan karena alasan pemeliharaan. Pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengoperasikan kembali sembilan reaktor pada musim dingin serta tujuh reaktor tambahan pada musim panas mendatang.
Sementara reaktor lainnya masih menjalani proses perizinan di bawah standar keamanan yang lebih ketat yang diberlakukan setelah Fukushima. Saat ini Jepang memiliki 33 reaktor nuklir.
Pemerintah telah mendorong untuk kembali menggunakan tenaga nuklir karena pasokan energi global berada di bawah tekanan setelah invasi Rusia ke Ukraina dan lebih banyak pemerintah menyerukan pengurangan emisi global.
Perekonomian Jepang saat ini berada di urutan ketiga dunia. Selama musim panas, masyarakat diminta untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk menghemat listrik.
Advertisement
Jepang Putuskan Buang Air Terkontaminasi dari PLTN Fukushima ke Lautan
Dua tahun lalu, pihak berwenang Jepang telah memutuskan akan membuang lebih dari satu juta ton air dari pembangkit nuklir Fukushima yang rusak ke lautan. Keputusan tersebut diambil setelah selama beberapa dekade, dan penolakan keras dari nelayan setempat.
Air Fukushima yang akan dilepaskan ke lautan itu diketahui telah disaring dan diolah untuk mengurangi kadar radioaktivitasnya.
Menurut laporan Nikkei, Yomiuri, dan sejumlah media lokal lainnya, proses pelepasan air tersebut kemungkinan akan dimulai paling cepat pada 2022.
Selain itu, keputusan ini juga mengakhiri perdebatan selama bertahun-tahun tentang bagaimana membuang cairan termasuk air yang sebelumnya digunakan untuk mendinginkan pembangkit listrik tenaga nuklir karena dilanda tsunami besar pada 2011.
Pilihan Realistis
Pada awal 2020, sebuah panel pemerintah Jepang menyebutkan pelepasan air itu ke lautan atau menguapkannya merupakan "pilihan yang realistis".
"Kami tidak dapat menunda keputusan tentang rencana menangani ... air olahan, untuk mencegah penundaan dalam pekerjaan penonaktifan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima Daiichi," terang Kepala Sekretaris Kabinet, Katsunobu Kato.
Namun, Katsunobu Kato belum memberikan informasi lebih lanjut terkait rencana tersebut dan waktu pelaksanaannya. Menurut operator pembangkit nuklir Fukushima, TEPCO, ada sekitar 1, 23 juta ton air limbah yang disimpan di tangki di fasilitas Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima tersebut.
Advertisement