Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai, kenaikan harga Bahan Bakar Subsidi (BBM) subsidi jenis Pertalite memang realistis dilakukan agar beban pemerintah tidak semakin berat. Pemerintah telah menganggarkan subsidi energi sebesar Rp 502 triliun dan kemungkinan akan jebol,
Mamit pun menyarankan kepada pemerintah agar harga BBM naik untuk yang bersubsidi saja dahulu. Sebab, bila harga BBM nonsubsidi semisal Pertamax ikut naik, itu akan menimbulkan efek berimbas terhadap sektor lain.
Advertisement
"Pertamax jangan ikutan naik dulu, bisa repot ini pemerintah. Biarkan masyarakat untuk bernapas dulu. Kalau semua dinaikin bisa makin tinggi inflasi," kata Mamit kepada Liputan6.com, Kamis (25/8/2022).
Untuk harga Pertalite, ia pun menyarankan kenaikannya jangan sampai lebih dari Rp 10 ribu per liter. Selain bakal makin memberatkan kantong, itu juga akan membingungkan konsumen lantaran nilai jualnya tidak jauh berbeda dari Pertamax yang dibanderol Rp 12.500 per liter.
"Kalau saya mas maksimal Rp 10 ribu (per liter) ya, jangan di atas itu, akan sangat memberatkan bagi masyarakat," ujar Mamit.
"Misal di atas Rp 10 ribu ya sekalian aja dihapuskan Pertalite, langsung ke Pertamax. Toh sekarang Pertamax harganya masih di bawah keekonomian," ungkap dia.
Di sisi lain, Mamit juga tak ingin harga Pertalite terlampau rendah di bawah Rp 10 ribu per liter. Banyak risiko yang bakal dihadapi pemerintah jika banderol harga itu dipasang.
"Ya kalau di bawah Rp 10 ribu, ruang fiskalnya akan semakin sempit. Sedangkan kuota (Pertalite) semakin menipis," sebut dia.
"Risikonya akan ada kekosongan BBM subsidi di bulan Oktober-Desember. Nah, risikonya ini apa bisa dihadapi juga? Pokoknya pemerintah lagi pusing ini," keluhnya seraya tertawa kecil.
Sri Mulyani Ogah Tambah Subsidi Energi
Sebelumnya, Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso mengatakan para menteri kabinet kerja masih membahas wacana kenaikan harga BBM atau Bahan Bakar Minyak. Mengingat anggaran subsidi BBM pemerintah makin terbatas meski sudah mengalokasikan anggaran Rp 502,4 triliun.
"Ada kebutuhan mendesak karena masalah keterbatasan subsidi BBM yang harus dijaga di angka Rp 502 triliun," kata Susi di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Rabu (25/8) malam.
Susi mengatakan Menteri Keuangan Sri Mulyani telah memberikan penjelasan terkait jumlah yang sudah dikeluarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022. Dia pun memberikan sinyal kalau APBN tidak bisa memberikan tambahan lagi untuk subsidi BBM.
Jika subsidi ditambah, besar kemungkinan tingkat konsumsi masyarakat terhadap BBM bersubsidi makin meningkat. Disisi lain harga minyak dunia juga sangat fluktuatif dengan tren yang naik.
Maka menekan harga BBM tetap sama akan berdampak pada keuangan negara karena harus membayar selisih harga ditingkat konsumen dan nilai keekonomiannya.
"Kalau Bu Menkeu kan sudah jelasin, Rp 502 triliun itu sudah keluar, itu yang dijaga. Kalau harganya jauh seperti ini nanti konsumsinya melewati," kata dia.
Advertisement
Ikuti Dinamika
Di sisi lain, kata Susi pemerintah juga harus mempertimbangkan semua aspek dan dinamika yang berkembang sebelum mengambil keputusan soal harga BBM subsidi ini.
Ada tingkat inflasi dan daya beli masyarakat yang harus dijaga agar tidak mengganggu momentum pemulihan ekonomi nasional.
"Banyak hal yang harus dipertimbangkan karena dampaknya akan ke inflasi, daya beli masyarakat, dampak ke perekonomian," kata dia.
Susi mengatakan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian masih akan memanggil sejumlah menteri dan kepala lembaga yang akan diajak duduk bersama mengenai hal ini.
Setelah mendengar semua masukan dari berbagai pihak, baru akan diformulasikan dalam pilihan kebijakan.