Liputan6.com, Jakarta - Harga BBM subsidi jenis Pertalite dan Solar diwacanakan akan segera naik. Hal ini karena beban pemerintah dalam menanggulangi subsidi energi semakin berat, dimana saat ini negara sudah mengeluarkan Rp 502 triliun.
Membaca kondisi tersebut, Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan, pemerintah akan terus mengikuti situasi terkini untuk menentukan harga BBM kepada masyarakat.
Advertisement
"Saya kira moderat asumsi dan targetnya. Harga tinggi pada level saat ini memang lebih banyak karena faktor non fundemantal," ujar Komaidi kepada Liputan6.com, Kamis (25/8/2022).
Menurut dia, harga BBM naik jelas akan mengikuti kisruh geopolitik antara Rusia dan Ukraina yang belum berkesudahan. Pasalnya, kedua negara tersebut memainkan peran penting dalam roda distribusi minyak dunia.
"Jika perang usai harga kemungkinan akan norma kembali," imbuh dia.
Komaidi pun menilai, dirinya tak bisa asal dalam melihat kemampuan pemerintah untuk menutup beban subsidi BBM, dan komoditas energi lain semisal LPG 3 kg.
"Untuk melihat cukup tidaknya sambil jalan saya kira. Tidak bisa dilihat secara pasti saat ini," ungkap dia.
"Anggaran umumnya akan bergerak atau disesuaikan jika kondisi eksternal mengalami perubahan," kata Komaidi.
Untung Rugi Lonjakan Harga Minyak Dunia Bagi Indonesia
Pengamat Energi sekaligus Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan, mengatakan kenaikan energi dunia pastinya akan berdampak positif dan negatif bagi APBN Kita terutama soal PNBP dan beban subsidi.
“Terkait dengan konflik Rusia-Ukraina yang pasti sudah mengerek harga minyak dunia secara signifikan. Kenaikan ini pastinya akan menyebabkan pemerintah mendapatkan windfall setiap dolar kenaikan ICP,” kata Mamit kepada Liputan6.com, Senin (7/3/2022).
Dia menjabarkan, setiap kenaikan USD 1 Indonesian Crude Price (ICP), berdampak terhadap penerimaan negara sebesar Rp 1,1 triliun, tetapi ini tidak diimbangi dengan beban subsidi yang meningkat.
“Berdasarkan data ESDM, kenaikan USD 1 ICP berdampak terhadap subsidi LPG sebesar Rp 1,47 triliun dan subsidi minyak tanah sebesar Rp 49 miliar, dan beban kompensasi sebesar Rp 2,65 triliun. Dengan demikian, beban subsidi lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan yang didapatkan,” jelasnya.
Tak hanya itu saja, kenaikan energi dunia ini juga berdampak terhadap keuangan Pertamina yang pastinya akan semakin berat terutama sektor hilir. Kenaikan ini pasti akan menaikan harga MOPS/Argus yang menjadi faktor utama pembentuk harga BBM.
“Harga minyak dunia merupakan komponen utama pembentuk harga yaitu 60 persen,” ucapnya.
Menurutnya, yang harus dilakukan pemerintah cukup berat dan sulit. Untuk BBM Mamit memperkirakan Pemerintah Indonesia bisa segera menjalankan program peningkatan populasi EV.
Advertisement
Konversi BBM
Selain itu, program konversi BBM ke Compressed Natural Gas (CNG) kembali digalakkan sehingga mengurangi impor BBM. Kemudian, program Refinery Development Master Plan (RDMP) dan Grass Roof Refinery (GRR) harus bisa dikejar agar bisa menjadi kemandirian energi kita.
“Program ini bisa mengurangi impor BBM dan LPG ke depannya. Untuk LPG, program DME bisa jalankan secepatnya karena bisa mengurangi impor. Selain itu, program jargas juga harus kembali digalakkan. Program kompor induksi PLN akan memegang peranan penting dalam mengurangi impor LPG ke depannya,” pungkas Mamit.