Perang Rusia-Ukraina, Citigroup Bakal Hengkang dari Rusia

Imbas perang Rusia-Ukraina, bank asal AS Citigroup akan menutup bisnis perbankan konsumen dan komersialnya di Rusia.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 26 Agu 2022, 11:37 WIB
Citi Indonesia (Dok: Citi)

Liputan6.com, Jakarta - Bank asal Amerika Serikat, Citigroup akan menutup bisnis perbankan konsumen dan komersialnya di Rusia. 

 

 

Langkah tersebut, yang mempengaruhi 2.300 staf Citigroup di negara itu, mengikuti eksodus bisnis dari negara Barat karena konflik Rusia-Ukraina.

Rencana keluarnya Citi dari Rusia sebenarnya sudah diumumkan sejak April 2022, tetapi belum ada pembeli untuk bisnisnya.

 

 

Dilansir dari BBC, Jumat (26/8/2022) seorang juru bicara mengatakan bahwa sementara bisnis lokalnya akan ditutup, Citigroup akan terus mendukung klien institusional multinasional di Rusia.

"Terutama mereka yang sedang menjalani operasi mereka di negara ini," terang juru bicara Citigroup.

"Kami telah menjajaki beberapa opsi strategis untuk menjual bisnis ini selama beberapa bulan terakhir," kata CEO Citi Titi Cole.

Citigroup, yang memiliki 15 cabang di Rusia memperkirakan akan dikenakan biaya sekitar USD 170 juta atau setara Rp 2,5 triliun (kurs Rp 14.900) selama 18 bulan ke depan. Biaya ini merupakan konsekuensi atas keputusannya.

 

Pada akhir Juni 2022, sisa eksposur Citigroup ke Rusia mencapai USD 8,4 miliar atau setara Rp 124,3 triliun.

Pada April 2021, Citigroup mengumumkan akan menutup banyak cabang ritelnya.

Hengkangnya Citigroup menambah daftar panjang bisnis yang keluar dari Rusia, baik karena alasan moral maupun sanksi Barat yang membuat mereka tidak mungkin beroperasi di negara itu. 

Bank sentral Rusia mengatakan langkah itu akan mempengaruhi rekening simpanan pelanggan, investasi, pinjaman kartu kredit dan debit.

 


Sejumlah Negara Manfaatkan Perang Rusia dan Ukraina untuk Keuntungan Ekonomi

Balok beton dengan karung pasir menutupi jalan di Odesa, Ukraina selatan, dengan latar belakang berdiri Katedral Preobrazhensky, pada 22 Maret 2022. Perang Rusia yang tak henti-hentinya di Ukraina memaksa lebih banyak pengungsi untuk meninggalkan rumah mereka. (AP Photo/Petros Giannakouris)

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan fakta menarik. Ternyata ada sebagian negara yang denga sengaja memanfaatkan situasi perang Rusia dan Ukraina  dan konflik China dengan Taiwan untuk kepentingan ekonomi.

"Terkait konflik Ukraina sama Rusia, ada beberapa negara yang memanfaatkan ekonomi dari kondisi itu. Ada," ujar Bahlil Lahadalia dalam konferensi pers Ekonomi Pulih Lebih Cepat, Bangkit Lebih Kuat di Kantor BKPM Jakarta, Senin (8/8/2022).

Tak berbeda jauh dengan konflik geopolitik terbaru yaitu antara China dan Taiwan. ada beberapa negara juga menggunakan kesempatan konflik tersebut untuk keuntungan ekonomi. Konflik antara China dan Taiwan dimulai saat Ketua DPR Amerika Serikat (AS) Nancy Pelosi ke Taiwan.

Bahlil menerangkan, perang sendiri tidak sepenuhnya menghentikan aktivitas ekonomi. Mengingat, perang justru akan menimbulkan potensi ekonomi baru yang dapat dimanfaatkan oleh sejumlah negara.

"Ingat ada satu cerita di dunia sekarang, perang itu bukan berarti ekonomi tidak jalan. Bahkan, ada sebagian yang mencari manfaat (ekonomi) positif," tandasnya.


IMF: Ekonomi Asia Bakal Hadapi Stagflasi Imbas Perang Rusia Ukraina

Warga antre tes virus corona di pusat pengujian sementara di Hong Kong, 23 Februari 2022. Warga Hong Kong menjadi semakin terganggu dengan desakan pemerintah untuk tetap berpegang pada strategi "nol-COVID" ketika kota itu mencatat rekor jumlah kasus baru lainnya pada hari Rabu. (AP Photo/Vincent Yu)

Kawasan Asia diperkirakan menghadapi prospek "stagflasi" dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, dan inflasi yang lebih tinggi imbas dampak konflik Rusia Ukraina.

Hal itu diungkapkan oleh Acting Director IMF (Dana Moneter Internasional) Asia and Pacific Department, Anne-Marie Gulde-Wolf dalam sebuah konferensi pers pada Selasa (26/4/2022).

"Pengetatan moneter akan dibutuhkan di sebagian besar negara, dengan kecepatan pengetatan tergantung pada perkembangan inflasi domestik dan tekanan eksternal," kata Anne-Marie, dikutip dari Channel News Asia, Selasa (26/4/2022).

Prospek regional, yang mengikuti Outlook Ekonomi Dunia yang dirilis pekan lalu, menunjukkan perkiraan pertumbuhan ekonomi Asia dipotong menjadi 4,9 persen, dipengaruhi oleh perlambatan pelonggaran lockdown di China, yang memiliki efek besar pada ekonomi lainnya.

Inflasi Asia sekarang diperkirakan akan naik hingga 3,2 persen tahun ini, satu poin penuh lebih tinggi dari yang diperkirakan pada Januari 2022, menurut Anne-Marie.

Tetapi Anne-Marie juga menyampaikan, bahwa "Meskipun terjadi penurunan peringkat, Asia tetap menjadi kawasan paling dinamis di dunia, dan sumber penting pertumbuhan global".

Namun konflik Rusia-Ukraina dan sanksi ekonomi dari negara Barat terhadap Moskow telah menaikkan harga pangan dan bahan bakar di seluruh dunia, sementara bank sentral utama menaikkan suku bunga untuk memerangi inflasi, yang akan menekan negara-negara dengan beban utang yang tinggi.

Anne-Marie menambahkan, lockdown Covid-19 yang berkepanjangan di China, dan kemerosotan yang lebih lama dari perkiraan di pasar properti juga menghadirkan "risiko signifikan bagi kawasan (Asia)".

"Ini adalah waktu yang menantang bagi pembuat kebijakan ketika mereka mencoba untuk mengatasi tekanan pada pertumbuhan ekonomi dan mengatasi kenaikan inflasi," kata pejabat IMF itu.

Infografis Ragam Tanggapan Ancaman Ekonomi Global Akan Ambruk. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya