Liputan6.com, Yogyakarta - Rumah Joglo merupakan rumah adat yang berasal dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Rumah Joglo menggunakan kayu jati sebagai material utamanya.
Kayu jati dikenal menjadi jenis kayu yang cukup mahal, sehingga biasanya Joglo dibangun oleh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Selain memiliki gaya arsitektur yang unik dan indah, rumah adat Joglo juga kaya akan makna filosofi.
Dikutip dari berbagai sumber, pengertian nama Joglo berasal dari kata Tajug Loro (Juglo) yang artinya dua gunung. Dalam filosofi Jawa, gunung adalah tempat yang tinggi dan sakral.
Baca Juga
Advertisement
Jika melihat bangunan rumah Joglo, maka akan ditemukan dua gunung yang dapat dilihat dari bentuk atap rumah Joglo. Namun dalam perkembangannya, penyebutan kata Juglo berubah menjadi Joglo seperti yang dikenal sekarang.
Seiring berkembangnya zaman, kini rumah Joglo juga bisa dibangun oleh berbagai kalangan dan sering digunakan pada gedung pemerintahan atau perkantoran. Di bawah atap Rumah Joglo yang terlihat unik, terdapat 4 tiang di tengah rumah yang berukuran lebih tinggi untuk menopang atau menyangga atap.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sarat Filosofi
Keempat tiang ini biasanya disebut dengan soko guru. Filosofi dari keempat tiang adalah gambaran kekuatan dari empat penjuru mata angin.
Oleh karena itu, masyarakat meyakini bahwa berlindung di Rumah Joglo dapat menghindari ketika ada bencana datang. Rumah adat Joglo memiliki 3 pintu utama, yaitu pintu utama di tengah, dan pintu lainnya di kedua sisi (kanan dan kiri) bawah.
Tata letak pintu ini melambangkan kupu-kupu yang sedang berkembang dan berjuang di dalam sebuah keluarga besar. Selain itu, filosofi dari pintu rumah yang ada di tengah adalah keterbukaan dan kedekatan antara penghuni rumah dengan tamu.
Uniknya, di dalam rumah ada Joglo ini biasanya terdapat ruangan khusus yang digunakan sebagai tempat perlindungan, tempat kepala keluarga mencari ketenangan batin, tempat beribadah, ataupun kegiatan sakral lainnya. Ruangan bernama Gedongan ini juga bisa digunakan sebagai ruang istirahat. Tak jarang, ruang ini juga digunakan sebagai kamar pengantin yang baru menikah.
Biasanya rumah adat Joglo memiliki teras dengan ukuran yang cukup luas. Teras yang luas ini memiliki fungsi tersendiri, sama seperti rumah adat Jawa Tengah lainnya.
Fungsi teras yang luas untuk melakukan interaksi sosial seperti silaturahmi antara penghuni rumah dengan masyarakat lain. Berbeda dengan pagar rumah tradisional, pagar pada rumah Joglo tidak terbuat dari bilah bambu.
Pagar rumah Joglo yang biasa disebut pagar mangkok ini berasal dari tanaman perdu dengan ketinggian kurang dari satu meter. Penggunaan pagar mangkok ini memiliki makna agar interaksi antar tetangga atau masyarakat lebih mudah terjadi dan terjalin dengan baik.
Penelitian paraahli menyebutkan keberadaan rumah adat Joglo bahkan menginspirasi bentuk candi-candi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Candi-candi di Pulau Jawa seperti Borobudur, Prambanan, Dieng, dan lain-lain pada umumnya baru berdiri pada abad ke-8.
Sedangkan, sebelum agama Hindu dan Buddha tiba di Pulau Jawa, nenek moyang pasti sudah punya tempat tinggal yang cukup permanen untuk melindungi diri dan keluarganya. Selain itu, adanya sebuah naskah kuno hasil tulisan tangan yang menceritakan tentang rumah-rumah orang Jawa terbuat dari bahan kayu, serta dimulai dari zaman Prabu Jayabaya berkuasa di Memenang
Pada sekitar abad ke-11, Adipati Harya Santang maupun Prabu Jayabaya menyetujui untuk membuat rumah dari bahan kayu. Sebab, kayu merupakan bahan yang ringan, mudah dikerjakan, gampang dicari, serta kalau rusak bisa diperbaiki.
Keberadaan rumah adat Joglo sudah pernah diteliti oleh sebuah lembaga ilmiah pada masa kolonial Belanda. Lembaga peneliti bangunan-bangunan yang masih asli di Jawa pada beberapa puluh tahun silam itu dikenal dengan sebutan 'Java Institut' yang berkantor di Weltevreden.
Advertisement