Liputan6.com, Jakarta - Hans (30) tengah asyik duduk sambil membaca buku, berkutat dengan deretan huruf dan kata-kata di depannya. Ia berada di sebuah ruang perpustakaan yang cukup hening, dipakainya sebagai tempat sehari-hari berkegiatan. Tak hanya ditemani buku tebal bersampul abu-abu, ada laptop yang juga dibawanya untuk menyelesaikan pekerjaan kantor.
Inilah pemandangan umum yang terlihat di sebuah perpustakaan modern, Baca di Tebet. Perpustakaan bukan lagi tempat yang kaku. Di dalamnya bahkan ada kafe, tempat memesan makanan dan minuman, sambil bisa bersantai menikmati kesibukan diri mengikuti alur cerita dari buku bacaannya.
"Karena tempat saya bekerja menerapkan Work From Home (WFH) dan Work From Anywhere (WFA) saya mencari tempat yang nyaman untuk bekerja," cerita Hans yang sudah menjadi anggota tetap Baca di Tebet kepada Liputan6.com, Jumat 26 Agustus 2022.
Baca Juga
Advertisement
Bukan hanya Hans, Baca di Tebet sejak dibuka untuk umum Februari 2022 lalu sudah didatangi sekitar belasan ribu orang. Tak sedikit pengunjung merupakan orang terkenal, para penulis, aktris, pemain film, bahkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno dan olahragawan seperti Bambang Pamungkas.
Berbagai acara besar juga sempat berkolaborasi dengan Baca di Tebet, terbaru Festival literasi JALIJALIFEST22 yang diselenggarakan pada 3--7 Agustus 2022 lalu, sehingga tempat ini pun makin dikenal dan ramai. Pernah sangat penuh hingga di atas 60 pengunjung per hari, padahal Baca di Tebet memiliki banyak ruangan dan berlantai dua.
Terlepas dari fungsi perpustakaan yang kini lebih merangkul kegiatan literasi, Kanti W. Janis dan Wien Muldian, pendiri Baca di Tebet mengaku sangat senang dengan antusiasme pengunjung. "Orang merindukan tempat nongkrong yang tidak komersil, berdekatan dengan konsumerisme seperti kalau ke mal," tutur Kanti.
Wien pun bercerita pengunjung perpustakaan tak bisa ditebak kapan menjadi ramai dan sepi. Itu sebab pembaca buku tidak memiliki ritme kapan mereka ingin pergi ke perpustakaan.
Bermula dari Koleksi Pribadi
Melihat antusiasme warga dari berbagai tempat untuk datang, Kanti dan Win ingin Baca di Tebet terus bisa eksis dengan mengadakan acara rutin dengan penulis, memperluas ruangan, termasuk ruang-ruang privat.
Melihat latar belakang pendirinya Kanti W. Janis merupakan penulis yang sempat mendapat penghargaan penulis berbakat Kusala Award untuk novelnya berjudul Saraswati pada 2006. Setelah aktif di kegiatan kepenulisan, Kanti memutuskan melanjutkan sekolah ke Belanda dan menjadi pengacara. Sementara, Wien Muldian dulu kuliah Ilmu Perpustakaan di FIB UI dan terus aktif berkegiatan di bidang literasi.
"Kalau ada kesempatan ke luar negeri yang selalu dicari adalah perpustakaan, di sana tempat yang seru perpustakaannya asyik banget," sebut Kanti. Ia menambahkan, "Kok di Jakarta nggak ada perpustakaan yang menjawab kebutuhan itu. perpustakaan kaku, tidak ada interaksi manusia, padahal buku akan bisa berguna ketika dibaca, didiskusikan. Ketika buku-buku ini hanya dipajang jadi nggak bermanfaat."
Sebagian besar, hampir 90 persen buku-buku Baca di Tebet merupakan koleksi milik Win. Tempat yang kini jadi perpustakaan dan kafe itu dulunya adalah rumah keluarga milik Kanti yang sudah tidak ditinggali. Letaknya yang strategis di dekat jalan raya Tebet, membuat Baca di Tebet juga dijadikan kantor Indonesia Writers Inc (IWI).
Advertisement
Referensi Buku, Musik, dan Film
Bagi anak-anak muda di Bandung, Kineruku bukan cuma perpustakaan biasa. Tapi seperti rumah kedua, tempat bersosialisasi, mencari referensi bacaan dan berdiskusi dengan pecinta buku lainnya sambil menikmati kopi. Dari namanya, "kine" memiliki arti "cinema" atau film dan "ruku" dipakai sebagai singkatan dari "rumah buku".
Berlokasi di Jl Hegarmanah No.52 Bandung, Kineruku ada sejak 2003. Seperti halnya Baca di Tebet, perpustakaan ini mulanya adalah rumah keluarga yang diubah si pemilik sebagai sarana untuk berbagi referensi mengenai buku, musik, dan film.
Buku-buku yang tersedia mencapai sekitar 3.000 judul dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, mulai dari genre sastra, sejarah, filsafat, seni, hingga arsitektur. "Beberapa koleksi perpustakaan kami mungkin tidak banyak ditemukan di tempat-tempat lain. Juga ada taman belakang yang asri, sehingga pengunjung bisa membaca buku dengan suasana outdoor yang sejuk di bawah pepohonan rindang," kata Ariani Darmawan, pemilik Kineruku lewat pesan tertulis.
Selama pandemi Kineruku belum membuka lagi keanggotaan baru. Untuk saat ini, koleksi perpustakaan bisa dibaca di tempat, secara gratis dan tidak ada iuran tahunan. Siapa pun, baik anggota perpustakaan maupun bukan, boleh berkunjung.
Minat Generasi Z
Kineruku bisa diakses oleh siapa saja, setiap Selasa sampai dengan Minggu, pukul 11:30-17:30 WIB, namun libur di hari Senin. Di sini penggunjung juga bisa menikmati kopi dan teh, juga makanan dan minuman khas rumahan. Ada pula buku-buku yang dijual, kebanyakan bekerja sama dengan penerbit-penerbit lokal Indonesia.
Bercerita mengenai perpustakaan di Indonesia, tentu jangan membandingkan dengan yang ada di luar negeri ataupun negara maju. Tiongkok sudah lebih maju karena Asosiasi Penulis saja didanai oleh negara, bahkan mereka punya kantor tujuh tingkat.
"Di Korea perpustakaannya sebesar mal. Mereka negara penghasil teknologi namun tetap mementingkan membuat perpustakaan yang modern bagi warganya agar generasi muda betah berlama-lama di dalamnya," tutur Kanti.
Bahwa teknologi telah membuat gen Z, yang kini masih usia belasan lebih tertarik menyimak tayangan YouTube atau game online, menurut Kanti masih bisa diperdebatkan. Pasalnya, banyak juga pengunjung Baca di Tebet yang masih pelajar SMP dan SMA yang menjadi pengunjung tetap.
Begitu pun dengan Kineruku yang juga memiliki pelanggan setia pelajar dan mahasiswa usia belasan. "Pengunjungnya berasal dari berbagai kalangan usia dan kebanyakan dari anak muda, yaitu pelajar, mahasiswa, dan pekerja kantor," kata Ariani.
Advertisement