DW - Seiring laju perubahan iklim, apa yang saat ini secara resmi dianggap sebagai cuaca "panas berbahaya", dalam beberapa dekade mendatang mungkin akan melanda sebagian besar dunia setidaknya tiga kali lebih sering, demikian menurut sebuah studi terbaru.
Dilansir DW Indonesia, Minggu (28/8/2022), di sebagian besar bagian dunia utara, suhu dan kelembapan yang melonjak hingga 39,4 derajat Celsius) atau lebih tinggi yang secara statistik seharusnya terjadi 20 hingga 50 kali setahun pada pertengahan abad, kini lebih sering terjadi, ungkap sebuah studi yang baru saja diterbitkan di Jurnal Communications Earth & Environment.
Advertisement
Namun di tahun 2100, indeks suhu panas yang brutal ini diperkirakan akan bertahan selama sebagian besar musim panas di berbagai tempat seperti di Amerika Serikat wilayah tenggara, kata penulis studi tersebut.
Keadaannya pun diprediksi akan jauh lebih buruk untuk daerah tropis yang lembab.
Dalam studi ini, para peneliti memperkirakan potensi paparan panas dan kelembapan yang berbahaya. Mereka menggunakan proyeksi statistik untuk memprediksi tingkat emisi karbon dioksida dari aktivitas manusia dan tingkat pemanasan global yang dihasilkan.
Studi tersebut mengatakan indeks panas dianggap "sangat berbahaya" kala panas terasa melebihi 51 derajat Celsius. Meski saat ini jarang terjadi, kemungkinan indeks panas ini akan menyerang wilayah tropis yang mencakup India dalam rentang waktu satu hingga empat minggu dalam setahun pada akhir abad ini.
"Jadi itu hal yang mengerikan tentang ini," kata penulis studi Lucas Zeppetello yang adalah ilmuwan iklim di Harvard.
"Ini adalah saat ketika miliaran orang berpotensi terekspos cuaca panas yang sangat berbahaya secara rutin."
Berkali-kali Lipat
Zeppetello dan rekannya menggunakan lebih dari 1.000 simulasi komputer untuk melihat probabilitas di dua tingkat panas tinggi yang berbeda, yakni indeks panas 39,4 Celsius dan di atas 51 Celsius, yang merupakan ambang batas berbahaya dan sangat berbahaya menurut Layanan Cuaca Nasional AS.
Mereka menghitung untuk tahun 2050 dan 2100 dan membandingkannya dengan seberapa sering panas semacam itu terjadi setiap tahunnya di seluruh dunia dari 1979 hingga 1998.
Studi ini menemukan peningkatan tiga sampai sepuluh kali lipat dalam terjadinya suhu 39,4 derajat Celsius di pertengahan garis lintang. Ini bahkan terjadi bila dikalkulasi menggunakan skenario terbaik yang tidak mungkin dari pemanasan global terbatas, yakni 2 derajat Celsius sejak zaman praindustri.
Hanya ada 5% kemungkinan pemanasan global akan menjadi serendah itu dan ini jarang terjadi. Yang justur lebih mungkin terjadi adalah bahwa panas hingga 39,4 derajat Celsius panas akan membekap daerah tropis "selama hampir setiap hari pada tiap tahunnya" pada 2100, demikian temuan studi tersebut.
Advertisement
Berbagai Isu Iklim
Sayangnya, betapapun terdengan mengerikan, gelombang panas bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi umat manusia akibat perubahan iklim. Masih ada kenaikan permukaan laut, kelangkaan air, dan perubahan ekosistem secara keseluruhan, kata Zeppetello, yang melakukan banyak penelitian di negara bagian University of Washington selama gelombang panas tahun 2021.
"Sayangnya, prediksi mengerikan yang ditunjukkan dalam penelitian ini dapat dipercaya," ilmuwan iklim Jennifer Francis dari Woodwell Climate Research Center, yang bukan bagian dari tim studi ini mengatakan dalam sebuah email.
"Dua musim panas terakhir telah membuka pandangan ke masa depan kita yang gerah, dengan gelombang panas mematikan di Eropa, Cina, Amerika Utara bagian barat laut, India, AS bagian selatan-tengah, Inggris, Siberia tengah, dan bahkan New England," ujarnya.
"Daerah-daerah yang memang sudah panas akan menjadi tidak dapat lagi dihuni karena indeks panas melebihi ambang batas berbahaya, yang mempengaruhi manusia dan ekosistem. Daerah di mana panas ekstrem sekarang jarang terjadi juga akan semakin menderita, karena infrastruktur dan makhluk hidup tidak beradaptasi dengan panas yang menghancurkan."
Dampak Gelombang Panas
Studi ini cerdas karena berfokus pada indeks panas dan dikombinasi dengan kelembaban yang merugikan kesehatan, begitu kata Dr. Renee Salas, seorang profesor di Harvard School of Public Health, yang juga bekerja sebagai dokter di ruang gawat darurat.
''Kala indeks panas meningkat, kita semakin sulit untuk mendinginkan tubuh,'' ujar Profesor Salas yang bukan bagian dari tim peneliti.
"Heat stroke adalah bentuk penyakit akibat panas yang berpotensi mematikan yang terjadi ketika suhu tubuh naik ke tingkat yang berbahaya."
Studi ini didasarkan pada probabilitas matematis alih-alih berdasarkan pada penelitian iklim lainnya yang melihat apa yang terjadi pada berbagai tingkat polusi karbon. Karena itulah, ilmuwan iklim Universitas Pennsylvania, Michael Mann, bersikap lebih skeptis terhadap penelitian ini.
"Hambatannya pada saat ini adalah politik … Tapi ada alasan untuk tetap bersikap optimis secara hati-hati," ujar Michael Mann.
Advertisement