Huru-Hara Libya: Puluhan Orang Tewas, Ibu Kota Mencekam

Kondisi ibu kota Libya mencekam usai huru-hara yang melibatkan militia antara dua administrasi.

oleh Tommy K. Rony diperbarui 29 Agu 2022, 09:30 WIB
Dampak huru-hara di ibu kota Libya, Sabtu (27/8/2022). Dok: AP Photo/Yousef Murad

Liputan6.com, Tripoli - Ibu kota Libya mencekam usai terjadinya huru-hara yang melibatkan militia dari dua pemerintahan. Menurut laporan AP News, Senin (29/8/2022), lebih dari 30 orang tewas akibat peristiwa di ibu kota Tripoli tersebut.

Bentrokan antara kedua belah pihak terjadi pada Sabtu (27/8) antara pasukan yang loyal terhadap pemerintahan di Tripoli dan pemerintah tandingan di timur. Warga pun tidak berani keluar rumah pada hari Minggu, meski ada juga yang buru-buru ke supermarket karena khawatir dampak dengan tindakan militia.

Kondisi politik di Libya sedang buntu karena gagalnya pemilihan umum pada Desember 2021. Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah juga menolak turun. Sebagai respons, Perdana Menteri tandingan Fathy Bashagha berusaha untuk mengambil alih pemerintahan di Tripoli.

Konflik pada Sabtu kemarin berlangsung di pusat kota dan artileri berat juga digunakan. Ratusan orang terjebak, dan berbagai bangunan rusak, mulai dari rumah sakit, gedung pemerintah, dan bangunan tempat tinggal.

"Kami melihat kematian di hadapan mati kami sendiri dan di mata anak-anak kami," ujar seorang wanita yang terjebak di apartemen. "Dunia harusnya melindungi orang-orang yang tak bersalah seperti yang mereka lakukan di zaman Gadhafi."

Pada hari Minggu, militia pro Dbeibah tampak berpatroli di jalanan pada Minggu dini hari. Sementara, pasukan lawan berada di pinggiran kota. 

Libya masih dalam keadaan kacau ketika diktator Muammar Gadhafi dilengserkan oleh pasukan yang didukung NATO. Gadhafi tewas pada 2011, empat dekade usai ia melancarkan kudeta pada Raja Idris I.


Tolak Serahkan Jabatan, PM Libya Abdul Hamid Dbeibah Diusir hingga Picu Perang Saudara

Pasukan GNA berlindung dalam pertempuran dengan Tentara Nasional Libya (LNA) di Tripoli, Libya (25/3/2020). Menteri Kesehatan pemerintah Libya yang didukung PBB Ehmid Bin Omar pada Selasa (24/3) mengumumkan infeksi COVID-19 pertama di negara tersebut. (Xinhua/Amru Salahuddien)

Sebelumnya dilaporkan DW Indonesia, pada Selasa 17 Mei 2022 pagi, pertempuran antara kedua pasukan bersenjata meletus di ibu kota Libya dan berlangsung selama setidaknya hingga pukul 07.00 waktu setempat. Perdana Menteri Baru Libya Fathi Bashagha membawa pasukan bersenjata memasuki ibu kota Tripoli guna memaksakan pengunduran diri PM Transisi, Abdul Hamid Dbeibah.

Upayanya hanya berlangsung beberapa jam menyusul perlawanan bersenjata milisi pemerintah.

Selang beberapa jam kemudian, rombongan dari timur itu dilaporkan menarik diri dari Tripoli, "demi melindungi keselamatan warga sipil," tulis kantor Bashagha.

Libya saat ini dipimpin pemerintahan transisi di bawah Perdana Menteri Abdul Hamid Dbeibah. Namun mandatnya dianggap berakhir Desember 2021, ketika dia gagal menepati tenggat akhir penyelenggaraan pemilu. 

Hingga kini, pemerintah transisi di Tripoli belum mengumumkan tanggal baru kapan akan digelarnya pemilihan umum.

Sejak Februari lalu, parlemen di timur Libya, yang dikuasai Jendral Khalifa Haftar, memilih Fathi Bashagha sebagai perdana menteri baru. Namun Dbeibah menolak mundur dan mengklaim hanya akan menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan yang terpilih melalui pemilu.

Selasa 17 Mei 2022, seperti dilaporkan DW Indonesia, Bashagha akhirnya memasuki ibu kota dengan ditemani sejumlah menteri dan pasukan bersenjata, lengkap dengan kendaraan lapis baja. "Kedatangan perdana menteri di ibu kota Tripoli dimaksudkan untuk memulai masa jabatannya di sana," menurut keterangan pers yang dirilis di Tobruk, markas parlemen kelompok timur.


Eskalasi

Ledakan sisa-sisa bahan peledak di Al-Hira, sekitar 65 km sebelah barat daya Tripoli, Libya (22/7/2020). Kementerian Pertahanan Libya dari pemerintahan yang didukung PBB pada Rabu (22/7) menghancurkan bahan peledak sisa perang dari berbagai daerah konflik di Tripoli selatan. (Xinhua/Hamza Turkia)

Pertempuran di Tripoli berpotensi menyeret Libya kembali ke jurang perang saudara. Media-media lokal melaporkan, pertempuran juga terjadi antara milisi-milisi bersenjata di Tripoli dan wilayah sekitar.

"Kami tiba di ibu kota dengan damai dan aman," kata Bashagha dalam sebuah video. "Penyambutannya sangat baik," imbuhnya tanpa membahas pertempuran yang berkecamuk di ibu kota.

Misi PBB untuk Libya (UNSMIL) mengecam pertempuran antara kedua kelompok lantaran melibatkan "tembakan membabi-buta dan dugaan penggunaan senjata berat," di wilayah pemukiman padat penduduk.

Menurut perjanjian damai yang dimediasi PBB, pemerintahan transisi Libya seharusnya menggelar pemilu pada Desember lalu. Akibat penundaan pemilu, Bashagha kini diimbau untuk membentuk pemerintahan tandingan di Kota Sirte yang dikuasai Jendral Khalifa Haftar.

Bersama Ketua Parlemen, Aguila Saleh, Bashagha bulan lalu mengumumkan pemadaman produksi minyak di wilayah timur, yang merupakan sumber pendapatan terbesar pemerintah di Tripoli. Penutupan itu disebutkan baru akan dibuka jika kedua pihak menyepakati kerangka bersama perihal belanja negara.


Perundingan Soal Dasar Negara

Pasukan dari Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Haftar meluncurkan serangan hampir dua pekan lalu untuk merebut Tripoli (AFP/Mahmud Turkia)

Hingga Senin (16/5) kemarin, kedua pihak melanjutkan perundingan di ibu kota Mesir, Kairo, dalam putaran yang dimediasi PBB. Agenda utama perundingan yang dimulai Minggu (15/5) adalah amandemen konstitusi untuk mempercepat penyelenggaraan pemilu.

Sebanyak 12 anggota Majlis al-Nuwaab dari timur dan 11 penasehat pemerintahan di barat Libya terlibat dalam negosiasi tersebut, kata Abdullah Bilheg, juru bicara parlemen. 

Putaran pertama yang digelar di Kairo bulan lalu gagal menghasilkan kata sepakat menyusul perbedaan dasar hukum. 

Parlemen di timur dan pemerintahan transisi di barat secara umum meributkan tentang siapa yang berhak mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum. 

Kedua pihak juga belum menemukan konsensus perihal batas kekuasaan presiden dan parlemen. Dikhawatirkan, kekuasaan presiden yang terlalu besar di negara dengan institusi demokrasi yang lemah itu akan kembali mengarah pada autoritarianisme seperti di masa lalu.

Infografis 6 Cara Hindari Covid-19 Saat Bepergian dengan Pesawat. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya