Resistensi Antibiotik Masih Jadi Tantangan Global, WHO: Banyak Negara Kurang Data dan Diagnostik

Sebagian besar negara masih kekurangan data dan diagnostik terhadap kejadian resistensi antibiotik.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 29 Agu 2022, 14:00 WIB
Delegasi yang hadir, salah satunya WHO Assistant Director - General Hanan Balkhy saat memberikan pernyataan Side Event Health Working Group 3 - G20, yang mengangkat tema, Tackling Antimicrobial Resistance: Curing the AMR Pandemic di Hilton Resort, Nusa Dua Bali pada Rabu, 24 Agustus 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Bali Upaya menekan laju resistensi antimikroba atau resistensi antibiotik akibat mikroba (antimicrobial resistance/AMR) masih menjadi tantangan global. Sebab, ada kesenjangan (gap) di berbagai negara, salah satunya kekurangan data dan diagnostik dalam mendeteksi kejadian resistensi antibiotik.

Padahal, data dan keakuratan diagnostik, menurut WHO Assistant Director - General Hanan Balkhy termasuk kunci prioritas untuk membantu pemerintah mengambil kebijakan tepat menangani resistensi antibiotik. Upaya ini sekaligus memperkuat surveilans kejadian kasus.

“Ada kesenjangan pengetahuan, yang mana sebagian besar negara kekurangan data strategis yang diperlukan untuk membentuk intervensi kebijakan yang dibutuhkan dan untuk menilai tren, periodik secara nasional prevalensi,” jelas Hanan dalam pertemuan Side Event Tackling Antimicrobial Resistance: Curbing The AMR Pandemic di Hilton Resort, Nusa Dua Bali, ditulis Senin (29/8/2022).

“Selain itu, ada juga survei yang akan dilakukan bagaimana menghasilkan data dan tren AMR yang kuat sekaligus memperkuat surveilans AMR harian. Proses ini penting dan kritis. Kita harus menyadari bahwa mungkin diperlukan lebih dari satu dekade sebelumnya (dalam pengumpulan data akurat).”

Berkaitan dengan survei data resistensi antimikroba, Indonesia turut andil ikut melakukan survei. Dari hasil survei nanti, ada uji coba protokol yang akan diterapkan di beberapa negara untuk menangani resistensi antimikroba.

Negara-negara, khususnya anggota G20 juga diharapkan terus berjuang membangun sistem pemerintahan multi-sektoral dan sektor-spesifik yang efektif sehingga dapat dimintai pertanggungjawaban untuk pengembangan, implementasi dan kebijakan nasional dalam upaya berbagi penanganan resistensi antimikroba.

“Hal ini akan menghasilkan data negara yang representatif dan akurat untuk pengembangan kebijakan. Sementara survei akan menghasilkan data dan tren kejadian kasus. Kami kritis telah menetapkan protokol terpadu dan mendukung uji coba protokol di beberapa negara,” lanjut Hanan.

“Kami sangat berterima kasih kepada Pemerintah Indonesia karena telah menerima menjadi salah satu negara untuk survei ini, yang diharapkan akan dimulai akhir tahun ini.”


Penyalahgunaan Antimikroba Berlebihan

Ilustrasi obat /dok. Unsplash Myriam

Pada poin kesenjangan diagnostik, Hanan Balkhy menegaskan, kondisi gap tersebut berdampak terhadap perawatan pasien dan pelaksanaan pencegahan dan pengendalian infeksi yang tidak efektif. Kemunculan gap ini melalui penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan.

“Ini memungkinkan penyebaran resistensi multidrug dalam komunitas. Inisiatif diagnostik AMR setidaknya dapat membantu negara-negara untuk memperkuat dan berinovasi mendiagnosis infeksi bakteri dan jamur,”

“Proses diagnostik termasuk tes di tempat pelayanan kesehatan yang sangat menjanjikan dan berpotensi membawa diagnosis bakteri yang mudah ke level negara dan komunitas yang lebih luas lagi.”

Di sisi lain, Hanan mengakui, muncul anggapan bahwa deteksi untuk mendiagnosis resistensi antibiotik akibat mikroba terbilang mahal. Hal ini berkaitan dengan investasi dan pembiayaan masing-masing negara.

“Anggapan diagnostik akan terlalu mahal itu tidak dapat diterima. Kondisi ini berujung adanya kesenjangan investasi dan pembangunan dengan kumpulan dana dari donor global. G20 dan komunitas global dapat membantu dengan mendukung penyertaan, intervensi awal kami dalam instrumen pembiayaan yang relevan,”

WHO bersama mitra global telah membentuk pembangunan berkelanjutan, kerangka kerja korporasi, yang merupakan panduan khusus untuk mendukung penanganan AMR secara global dengan terencana. Kemudian menghubungkannya dengan masalah pembangunan yang lebih luas dari sisi kesehatan, kesiapsiagaan dan respons pandemi. 

“Rencana mencakup bidang kesehatan universal, sistem pelayanan kesehatan primer, sistem pangan dan isu-isu lingkungan. Terakhir, ada gap yang menurut saya sangat serius, yakni potensi keragu-raguan, ya keragu-raguan transparansi,” papar Hanan.

“Problem tersebut hanya akan membuat kita mundur. Kenyataannya, kita semua bertanggungjawab atas AMR ini.”


Negara Harus Berani Transparan

Delegasi negara G20 yang hadir saat Side Event Health Working Group 3 - G20, yang mengangkat tema, Tackling Antimicrobial Resistance: Curing the AMR Pandemic di Hilton Resort, Nusa Dua Bali pada Rabu, 24 Agustus 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Dalam upaya menekan penyebaran resistensi antibiotik, WHO Assistant Director - General Hanan Balkhy menekankan, tantangan seluruh negara dan sektor hanya dapat diselesaikan dengan pengakuan yang berani dan transparan.

Setiap negara dapat berbagi keberhasilan dan kegagalan penanganan resistensi antibiotik akibat mikroba, sehingga dapat bergerak maju bersama dan lebih cepat. Komunitas global telah belajar banyak dari pandemi tentang manfaat transparansi isu-isu relevan dengan isu-isu kesehatan masyarakat global.

“Juga dipelajari pentingnya ketahanan dan sistem pelayanan kesehatan di pelayanan kesehatan sekunder dan primer. Pemerataan pelayanan kesehatan penting untuk akses ke diagnostik dan vaksin demi pencegahan dan pengendalian infeksi kesehatan,” terang Hanan.

“Penelitian dan pengembangan mitra yang memobilisasi juga perlu dukungan relevansi solidaritas global. Pelajaran ini kita bisa lakukan bersama dengan pengalaman panjang dalam menangani penyakit lain yang sangat penting seperti HIV dan tuberkulosis (TB).”

Pembelajaran dan saling berbagi pengalaman menangani penyakit lain termasuk resistensi antimikroba dapat membangun respons yang lebih baik di tiap negara. Hal ini juga membuka peluang dunia untuk membangun sistem kesehatan global yang lebih kuat menangani resistensi antimikroba.

“Dengan pembelajaran dan pengalaman yang ada, harus digunakan untuk memberi tahu kita tentang respons menangani kejadian kasus resistensi antibiotik dengan lebih baik. Saya berharap kehadiran kita akan memungkinkan kita untuk membangun sistem kesehatan yang lebih kuat untuk mengatasi AMR,” pungkas Hanan.

“Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Indonesia dan G20 atas komitmen, kepemimpinan, dan keuangan yang berkelanjutan untuk mendukung respons AMR kita secara global. Saya berharap untuk merenung dan menyimak berbagai refleksi tentang keberhasilan dan tantangan menghadapi resistensi antimikroba.”

Hanan turut menyuarakan penting mencegah resistensi antimikroba melalui Rencana Aksi AMR di tiap negara. Rencana implementasi ini termasuk panduan komprehensif pada pendekatan program yang komprehensif mencakup semua tingkat sistem kesehatan dan diagnosis dini dan berkualitas.

Selain itu, kemudahan akses pengobatan yang tepat, obat-obatan yang terjangkau, serta surveilans, penelitian dan analisis data yang komprehensif.


WHO Bentuk Task Force AMR

Ilustrasi Obat-obatan Credit: pexels.com/Karolina

Baru-baru ini, WHO mengumumkan seruan untuk mengekspresikan minat dari para penyintas dan perawat (caregivers) dari penyintas untuk melayani dalam Gugus Tugas (Task Force) WHO yang pertama untuk Penyintas AMR (AMR Survivors). Mereka yang selamat dari infeksi resistan terhadap obat atau merupakan caregivers langsung dari pasien yang terkena infeksi resistan terhadap obat didorong untuk mendaftar.

Orang yang selamat dari infeksi AMR dan anggota keluarga serta caregivers-nya memiliki perspektif unik tentang deteksi, diagnosis, pengobatan, dan perawatan yang mereka terima (atau tidak terima). Ide dan pengalaman mereka tentang bagaimana pasien, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat dapat menangani infeksi yang resisten terhadap obat dengan lebih baik dinilai WHO sangat berharga.

Pengalaman tersebut dapat membantu membentuk perawatan yang berpusat pada pasien. Para penyintas juga memiliki legitimasi untuk mengadvokasi upaya mitigasi AMR yang dipercepat dan investasi yang lebih besar dalam AMR. Para penyintas dapat membuat pemimpin dan pembuat kebijakan nasional dan internasional peka untuk berinvestasi lebih banyak dalam mencegah dan menangani AMR. 

Sebagaimana pengumuman resmi WHO pada 15 Agustus 2022 berjudul, Apply to be a member of the WHO Task Force of Antimicrobial Resistance (AMR) Survivors: Call for expressions of interest, para penyintas dan caregivers dapat meminta peninjauan dan penguatan legislasi, regulasi dan mekanisme penegakan. Kisah pasien akan menjadi sebuah tantangan kesehatan dan perkembangan yang kompleks dan teknis penanganan resisten antibiotik akibat mikroba ke depannya.

Resistensi antimikroba terjadi secara alami dari waktu ke waktu, biasanya melalui perubahan genetik. Organisme resisten antimikroba ditemukan pada manusia, hewan, makanan, tumbuhan dan lingkungan (air, tanah dan udara). Mereka dapat menyebar dari manusia ke manusia atau antara manusia dan hewan, termasuk dari makanan yang berasal dari hewan. 

Penyebab utama resistensi antimikroba, sesuai informasi yang dihimpun WHO, yaitu penyalahgunaan dan penggunaan antimikroba yang berlebihan, kurangnya akses terhadap air bersih, sanitasi dan kebersihan, baik untuk manusia maupun hewan, pencegahan dan pengendalian infeksi dan penyakit yang buruk di fasilitas perawatan kesehatan dan peternakan.

Selanjutnya, akses yang buruk terhadap obat-obatan, vaksin dan diagnostik yang berkualitas dan terjangkau tidak memadai serta kurangnya kesadaran dan pengetahuan juga lemahnya penegakan hukum atau kebijakan pengaturan terkait penanganan antimikroba dan penggunaan antibiotik.

Infografis 7 Tips Paling Efektif Kurangi Penyebaran Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya