Sebelum Pensiun, Menkes Budi Ingin Seluruh Provinsi Bisa Operasi Bedah Jantung

Seluruh provinsi di Indonesia ditargetkan mampu operasi bedah jantung.

oleh Fitri Haryanti Harsono diperbarui 29 Agu 2022, 13:00 WIB
Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin saat meninjau gelaran tahunan Pekan Raya Jakarta (PRJ) atau Jakarta Fair 2022 dengan membuka booth transformasi digital kesehatan dan menyediakan layanan kesehatan gratis seperti vaksinasi booster COVID-19 di Hall B2 di JIExpo Kemayoran, Jakarta pada 11 Juli 2022. (Dok Kementerian Kesehatan RI)

Liputan6.com, Jakarta - Tidak semua provinsi di Indonesia mampu melakukan operasi bedah jantung. Per 29 Juni 2022, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, dari 34 provinsi, operasi bedah jantung hanya bisa dilakukan di 22 provinsi.

Saat berdiskusi dengan wartawan beberapa waktu lalu, Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan, selain bisa operasi bedah jantung, kabupaten/kota ditargetkan bisa melakukan pasang ring jantung. Layanan Catheter Laboratory (Cath Lab) atau kateterisasi juga harus dimiliki.

Dia ingin, Cath lab didukung peralatan canggih dan modern. Alat-alat tersebut membantu dokter lebih mudah melakukan prosedur diagnostik dan intervensi dengan invasi minimal. Prosedur cath lab sendiri lebih banyak dimanfaatkan untuk masalah jantung, seperti pemasangan ring jantung (stent) dan angiografi koroner untuk melihat penyempitan atau penyumbatan atau struktur pembuluh darah koroner.

“Saya mau sebelum pensiun (tahun 2024 – masa akhir jabatan sebagai Menteri Kesehatan), seluruh provinsi dan setengah kabupaten/kota di 514 daerah itu sudah bisa pasang ring. Mesti punya alat yang namanya cath lab. Seluruh provinsi mesti ada layanan bedah jantung,” ucap Budi Gunadi di Gedung Kementerian Kesehatan RI Jakarta, ditulis Senin (29/8/2022).

“Jadi, kalau sudah ada cath lab, lalu pasien enggak selamat (kondisi membaik), sudah pasang ring enggak selamat kan mesti operasi bedah jantung. Saya mau 34 provinsi bisa operasi bedah jantung. Sekarang cuma 22 provinsi (yang bisa bedah jantung).”

Peralatan cath lab dapat diperbanyak. Walau begitu, ada kendala yang dialami, yakni untuk melakukan cath lab dan operasi bedah jantung membutuhkan dokter spesialis jantung atau bedah toraks. Jumlah dokter spesialis pun terbilang minim.

“Saya tanya ke ahli-ahli jantung, beli alatnya (cath lab) berapa? Murah, ya sudah beli. Terus saya dibalas lagi, ‘Nanti beli alatnya bisa mangkrak Pak, kan alatnya butuh dokter?’ Oh, kurangnya berapa banyak? Banyak ya,” imbuh Budi Gunadi.

“Kalau (pendidikan) dokter spesialis bisa enggak 12 bulan? Dijawabnya, ‘Ya enggak bisa Pak, itu butuh 4 tahun. Setahun produksi dokter spesialis itu 10 orang.’ Saya mikir, gimana itu jumlah dokter spesialis bedah toraks (yang juga jumlahnya masih sedikit).”


28 Provinsi Punya Cath Lab

Ilustrasi Pemeriksaan Medis Credit: pexels.com/AndreaPiacquadio

Dari sisi jumlah provinsi, hanya ada 28 provinsi yang mempunyai peralatan cath lab. Alhasil, pasien jantung yang membutuhkan layanan cath lab harus mengantre lama. Terlebih, mereka berpacu dengan waktu demi keselamatan nyawa.

Upaya memperbanyak cath lab termasuk dalam pemerataan layanan rujukan, yang menjadi pilar Transformasi Sistem Kesehatan Layanan Rujukan Kemenkes. Pemerataan dioptimalisasi di 54 RS jejaring kardiovaskular nasional.

Kemenkes menargetkan, sebanyak 50 persen kabupaten/kota sebelum 2024 memiliki cath lab dan 100 persen sebelum 2026. Rincian meningkatkan ketersediaan dan cakupan layanan RS rujukan untuk penyakit jantung dengan visi, antara lain:

  • 34 provinsi: mampu cath lab dan bedah jantung terbuka
  • 514 kabupaten/kota: mampu cath lab

“Saya tanya, orang sakit jantung diapain sih? Dijawabnya, ‘Pak, kalau sakit jantung layanannya dua. Jenis sederhana adalah dipasang ring.’ Oh ya, canggih tuh. Dimasukin alat cath lab dan pasang ring. Jadi, enggak bisa didiamkan (tanpa tindakan) satu bulan kan masalah hari,” beber Menkes Budi Gunadi Sadikin.

“Kalau gitu bisa dong cath lab di 34 provinsi? Dijawab, ‘Enggak bisa Pak, (sekarang) cuma 28 provinsi yang bisa.’ Lalu, kalau (pasiennya) di Maluku Utara kena sakit jantung mesti dibawa ke Makassar dan Manado kan. Nah, kita enggak tahu, apakah pasiennya masih hidup dan ada tempat di rumah sakit sananya atau enggak. Antreannya panjang juga.”

Estimasi meningkatkan pelayanan kesehatan jantung atau kardiovaskular nasional mencakup dibutuhkan 7 cath lab dan penambahan 274 tenaga kesehatan. Rincian kebutuhan tenaga kesehatan, antara lain:

  1. Spesialis bedah toraks 34
  2. Anestesi 20
  3. Intensivis post operation 20
  4. Perfusionis (perawat khusus bedah jantung) 40
  5. Scrubb ners 40
  6. Perawat anestesi 20
  7. Perawat ICU 100

Banyak Pasien Tak Terlayani

Ilustrasi pasien. Foto oleh Kampus Production dari Pexels

Budi Gunadi Sadikin menambahkan, penyakit jantung termasuk yang paling menyedot pembiayaan tertinggi BPJS Kesehatan. Tercatat, data BPJS Kesehatan tahun 2020, beban pembiayaan terbesar diduduki penyakit jantung sebesar Rp10,3 triliun.

Kendala cath lab dan tenaga kesehatan yang kurang berujung pada banyak pasien jantung yang tak terlayani. Akibatnya, penyakit jantung juga menyumbang angka kematian tinggi di Indonesia.

Berdasarkan data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2019, penyakit jantung iskemik – penyakit yang terjadi karena ada penyempitan pembuluh darah arteri jantung – berada di urutan kedua penyumbang angka kematian (28,3 persen) setelah stroke (25,9 persen).

“Pelayanan di rumah sakit rujukan kita reformasi. Kita fokus paling banyak penyakit yang menimbulkan angka kematian dan biaya mahal. Itu ada jantung, cancer, stroke, dan ginjal,” beber Menkes Budi Gunadi.

“Menurut saya, kita urus empat penyakit itu aja. Sebagian besar rakyat Indonesia sudah selamat. Tapi memang kan masalahnya jumlah dokter, distribusi dokter, alat, dan kualitas layanan. Jadi, banyak orang Indonesia yang tidak terlayani.” 

Kendala pelayanan penyakit jantung dilihat dari lokasi tempat tinggal pasien yang bersangkutan. Belum banyak rumah sakit besar atau RSUD yang bisa pasang ring, punya cath lab, dan bedah jantung, sehingga pasien harus dirujuk ke luar daerah, bahkan lintas pulau.

Persoalan penyakit jantung tak hanya menimpa dewasa, melainkan anak-anak dengan penyakit jantung bawaan (congenital heart disease). Ada lebih dari 50.000 anak yang mengidap penyakit jantung bawaan, menurut data Kemenkes.

Sayangnya, banyak anak yang tidak tertangani. Apabila tindakan operasi dilakukan, anak-anak harus menunggu 4 - 12 bulan mengantre. 

“270 juta rakyat punya uang dan akses dengan BPJS Kesehatan. Masalahnya, suplai enggak ada. Misal, tinggal di pelosok dan punya sakit jantung yang harus pasang ring, itu harus jauh dirujuk ke rumah sakitnya,” ujar Budi Gunadi.

“Belum lagi, sekian tahun anak-anak kita kena penyakit yang namanya congenital heart disease, penyakit jantung bawaan. Sekitar 40 persen dari mereka harus dioperasi, kalau enggak mereka bisa meninggal. Ada 20.000 anak-anak kita harus dioperasi dalam setahun.”

 


Cath Lab di 207 Kabupaten/Kota

Ilustrasi Alat Medis Credit: pexels.com/pixabay

Budi Gunadi Sadikin menargetkan layanan kateterisasi atau cath lab dapat terpenuhi di 207 kabupaten/kota di 34 provinsi. Hal itu disampaikan saat Rapat Kerja Pengurus Pusat Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia (AIPKI) periode 2022 - 2025 di Surabaya, Jawa Timur, Kamis (7/7/2022).

Salah satu penyakit yang paling banyak di Indonesia adalah jantung. Alat medis yang dibutuhkan untuk pengobatan jantung adalah layanan kateterisasi jantung (cath lab). Target layanan cath lab ke depan bisa dipenuhi di semua provinsi dan setengah dari seluruh kabupaten/kota.

“Yang bisa melakukan layanan cath lab hanya di 28 provinsi dari 34 provinsi. Provinsi yang belum bisa melakukan layanan cath lab antara lain, Bangka Belitung, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat,” kata Budi Gunadi.

“Penanganan penyakit jantung harus bisa dilakukan di 34 provinsi dan 207 kabupaten/kota mampu melakukan layanan cath lab dan bedah jantung terbuka.”

Selain pemenuhan alat medis seperti cath lab, Menkes Budi Gunadi menekankan, pelayanan penyakit jantung harus diiringi dengan pemenuhan dokter spesialis. Posisi dokter spesialis berada di pelayanan sekunder yang menerima rujukan dari pelayanan primer.

“Namun, yang kurang adalah dokter spesialisnya. Teman-teman AIPKI bisa bantu memenuhi SDM-nya,” tuturnya melalui pernyataan resmi. “Layanan rujukan yang penting buat saya adalah masyarakat bisa terlayani. Penyakit yang paling banyak di kita di antaranya jantung, stroke, kanker, dan ginjal.

Pemenuhan dokter spesialis dapat dilakukan melalui desain program Academic Health System (AHC). Dalam AHC terdapat 4 level strategi, yakni mahasiswa, dosen, wahana (rumah sakit pendidikan, pengampuan program studi atau fakultas kedokteran).

Penambahan kuota mahasiswa kedokteran dan dokter spesialis harus dilakukan. Selanjutnya, dari sisi dosen harus dilakukan peningkatan jumlah dosen.

Level berikutnya dari sisi RS Pendidikan, yaitu peningkatan jumlah RS Pendidikan serta level fakultas kedokteran juga dilakukan dengan peningkatan jumlah prodi atau fakultas kedokteran baru.


Hanya 6 RS yang Bisa Operasi Jantung

Jantung (Image by Raman Oza from Pixabay)

Saat sesi diskusi Transformasi Kesehatan, Menkes Budi Gunadi Sadikin menargetkan, fasilitas layanan rumah sakit rujukan untuk pasien stroke, jantung, kanker, dan ginjal tersedia di seluruh provinsi di Indonesia pada 2024. 

Hal tersebut melihat bahwa stroke, jantung, kanker, dan ginjal merupakan daftar penyakit terbanyak di Indonesia yang menghilangkan nyawa serta menghabiskan dana. Dari laporan Rumah Sakit Harapan Kita Jakarta sebagai fasilitas rujukan nasional bagi pasien gangguan jantung, ada sekitar 50.000 anak dengan penyakit jantung bawaan yang harus dioperasi.

Sementara itu, menurut Budi Gunadi, rumah sakit yang melayani operasi jantung saat ini hanya 6 RS. Jumlah pasien yang terlayani hanya sekitar 6.000 hingga 10.000 orang per tahun.

"Lihat antreannya di RS Harapan Kita, bisa mencapai 12 bulan antre operasi jantung. Saya mau di 2024, seluruh provinsi sudah bisa melakukan pelayanan pasien stroke, jantung, kanker, ginjal,” terangnya di Jakarta, Rabu (8/6/2022).

“Artinya, bisa sampai bedah. Misalnya jantung, selain bisa pasang ring, tapi bisa bedah jantung terbuka.”

Layanan kateterisasi jantung sebagai operasi bedah sederhana menangani gangguan jantung, hingga saat ini baru bisa dilakukan di 28 rumah sakit di Indonesia. Target ke depan, separuh dari total 514 kota/kabupaten di Indonesia harus dilengkapi dengan layanan dasar pasien stroke, jantung, kanker, dan ginjal.

Sebagai informasi, kelompok penyakit penyebab kematian tertinggi di Indonesia selama 10 tahun terakhir dari data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) tahun 2019, antara lain:

  1. Stroke Penyakit jantung iskemik
  2. Diabetes Sirosis
  3. Tuberkulosis
  4. Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK)
  5. Diare
  6. Penyakit jantung hipertensi
  7. Kanker paru
  8. Infeksi saluran pernapasan bawah 

Adapun kelompok penyakit yang menimbulkan beban pembiayaan besar BPJS Kesehatan per tahun (data tahun 2020), yakni:

  1. Jantung Rp10,3 triliun
  2. Kanker Rp3,5 triliun
  3. Stroke Rp2,5 triliun
  4. Gagal ginjal Rp2,3 triliun
  5. Thalassemia Rp509,2 miliar
  6. Hemofilia Rp405,7 miliar
  7. Leukemia Rp361,1 miliar
  8. Hepatitis sirosis Rp310,9 miliar
Infografis 3 Tips Cuci Masker Kain untuk Cegah Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya