Liputan6.com, Semarang - Candi Tugu terletak di sebuah bukit di Kelurahan Tugurejo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang. Sesuai namanya, kawasan ini berbentuk sebuah tugu dan bangunan candi.
Jika dari perkampungan Tugurejo, untuk dapat sampai ke lokasi ini pengunjung harus menaiki sebanyak 99 anak tangga dan akan melawati gapura candi. Sedangkan, jika melalui jalan lain atau sisi utara candi, anak tangga yang harus dilewati pengunjung hanya berjumlah 20 anak tangga.
Lokasi yang menawarkan suasana tenang, angin semilir, pemandangan sawah, laut, gunung, dan perkotaan ini memiliki beberapa fakta menarik. Berikut beberapa fakta tentang Candi Tugu:
1. Tugu dikaitkan dengan perbatasan Kerajaan Majapahit-Pajajaran
Baca Juga
Advertisement
Juru kunci Candi Tugu, Sumarto mengatakan, dari keterangan yang dia ketahui, ada keterkaitan lokasi tersebut dengan perbatasan Kerajaan Majapahit-Pajajaran. Keterangan yang diperolehnya secara turun-temurun mengungkapkan, tugu di lokasi tersebut pernah roboh sebelum dibangun kembali pada 1938.
Konon, tugu tersebut juga pernah menjadi bekas tambatan kapal. Bahkan, disebut ada makam di dekat tugu, yaitu makam yang dikenal sebagai Kiai Tugu.
Sumarto juga menunjukkan sebuah buku berukuran HVS yang berisi cerita sejarah monumen atau tugu tersebut. Buku tersebut menceritakan asal muasal tugu dipercaya sebagai perbatasan Kerajaan Majapahit dan Pajajaran.
Singkatnya, konon hal itu terjadi karena anak kandung beda ibu dari Raja Pajajaran, Munding Wangi berseteru, yang memiliki putra penerus bernama Raden Tanduran. Disebutkan, ia juga memiliki putra dari seorang selir yang kemudian dihanyutkan di Sungai Krawang dan diasuh oleh pencari ikan.
Setelah dikirim ke Kerajaan Pajajaran untuk belajar, anak raja dari selir dikenal dengan nama Banyak Wedi. Ia semakin mahir dalam hal membuat barang dari besi dan baja.
Banyak Wedi pun dekat dengan sang raja yang tidak lain adalah ayahnya. Tak lama, ia pun membuat sebuah kurungan besi berukuran besar.
Ketika raja mencoba kurungan tersebut, Banyak Wedi pun menutup dan membakarnya. Namun, disebutkan pula ada yang mengisahkan kurungan itu dibuang ke laut Selatan.
Banyak Wedi juga mengungkapkan jati dirinya yang sebenarnya. Banyak Wedi kemudian mengambil alih kerajaan dan mendapat nama Ciung Wanara.
Masih dari buku yang sama, Raden Tanduran dan tiga pengikutnya melarikan diri ke Gunung Cermai dan tiba di distrik Wirasaba. Dikisahkan, ia melihat pohon buah Maja yang rasanya pahit, yang selanjutnya membuat dirinya mendirikan Majapahit.
Cerita tersebut cukup unik karena selama ini dari sejarah yang diketahui, Kerajaan Majapahit didirikan oleh Raden Wijaya. Orang-orang dari Pajajaran disebutkan menuju ke wilayah Majapahit yang dipimpin Raden Tanduran.
Mereka membawa 80 pandai besi dan Ciung Wanara meminta Raden Tanduran menyerahkan para pandai besi, tetapi hal itu ditolak dan terjadilah peperangan. Pasukan Majapahit ada di daerah Ungaran dan Pajajaran ada di Kaliwungu, yang kemudian disepakati dibuat batas Utara dan Selatan.
Cerita-cerita dalam buku tersebut bersumber dari beberapa buku, diantaranya 'History of Java jilid II' karya Thomas Stamford Raffles serta buku 'Java: Geographisch, Ethnologisch, Historisch' karya Prof P J Veth.
Sementara itu, sejarawan Semarang, Rukardi mengatakan, saat ini arkeolog masih hanya bisa menduga terkait kabar wilayah atau tugu tersebut sebagai pembatas Kerajaan Majapahit dan Pajajaran. Ia menegaskan, soal keberadaan Tugu sendiri hanya disebut sedikit dalam buku History of Java.
Ia menyebutkan, sumber sejarah terkait hal ini sangat minim. Hanya Raffles yang memuat objek purbakala tersebut di bukunya 'History of Java', yang hanya berupa gambar ilustrasi dan caption sangat singkat.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Cagar Budaya
2. Terdapat cagar budaya yang dilindungi
Meski terkait perbatasan Majapahit-Pajajaran masih sebatas desas-desus, tetapi di kawasan ini terdapat cagar budaya yang dilindungi, yaitu tugu setinggi 2,5 meter. Tugu batu andesit itu berdiri di atas umpak tatanan kosod balok batu andesit.
Pada masing-masing sisi dinding umpak semenan tersebut terdapat sejumlah prasasti. Dua prasasti berhuruf latin berbahasa Belanda, dua prasasti menampilkan huruf Jawa, dan terdapat pula prasati berupa tapak kaki di sekitar tugu.
Dari prasasti tersebut, dapat menceritakan sebuah peristiwa sejarah. Prasasti pertama menyampaikan kabar bahwa bangunan ini didirikan oleh Dinas Purbakala pada tahun 1938.
Sedangkan, prasasti berikutnya bisa diartikan bahwa bangunan ini didirikan oleh dinas purbakala dengan menggunakan biaya dari Pemerintah Desa Toegoeredjo. Tugu tersebut diduga merupakan struktur cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Terkait candinya, ternyata candi tersebut bukan merupakan peninggalan Kerajaan manapun. Candi tersebut merupakan replika dari candi Gedong Songo yang ada di Kabupaten Semarang.
Pada dinding candi diberi keterangan dengan tinta emas bertuliskan "Duplikat Candi Gedung 9 Atas Prakarsa PT Tanjung Mas Semarang Bp Djamin CH Dibuat Tahun 1984-1985 Karya R T D Djayaprana Muntilan. Dilindungi Dinas Purbakala". Secara keseluruhan, model bangunan tersebut persis menyerupai candi 1 gedong songo, baik dari batur hingga bagian puncaknya.
Dengan demikian, bangunan candi ini bukan merupakan cagar budaya yang dilindungi oleh Undang-undang nomor 11 tahun 2010.
Advertisement
Lokasi Uji Nyali
3. Digunakan berdoa hingga uji nyali
Beberapa ritual atau acara doa-doa beberapa kali digelar di sana. Namun, untuk kegiatan berbau klenik justru banyak dilakukan di gua yang lokasinya ada di bawah candi.
Gua itu sudah diberi dinding layaknya Candi. Adapun, kegiatan berdoa dengan Tawasul di sekitar candi juga dilakukan.
Hal tersebut dimaksudkan untuk 'menguri-uri' budaya. Sejauh ini, tujuan kedatangan warga ke lokasi tersebut tak jauh dari sekadar berwisata, berdoa, mencari wangsit, dan uji nyali.
Setiap hari Minggu, di lokasi tersebut rutin dilakukan kegiatan bersih-bersih. Hal itu bertujuan untuk menjaga dan merawat kawasan Candi Tugu.
4. Lahan dihibahkan ke Pemkot Semarang
Kini, Pemerintah Kota Semarang sudah bisa melakukan pengelolaan terhadap kawasan tersebut karena pemilik lahan, PT Tanah Mas Panggung, telah menghibahkannya ke Pemkot Semarang untuk dikelola. Penandatanganan kesepakatan hibah dilakukan 24 Agustus lalu di Balai Kota Semarang.
Selanjutnya, diharapkan kawasan tersebut bisa menjadi destinasi wisata. Tak hanya sebagai destinasi wisata, diharapkan kawasan tersebut juga bisa menjadi destinasi edukasi dan penelusuran sejarah terkait aset purbakala.
Penulis: Resla Aknaita Chak