Pengusaha Angkutan Penyeberangan Tolak Harga BBM Naik

Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) menolak rencana harga BBM naik yang saat ini diwacanakan oleh pemerintah.

oleh Dian Kurniawan diperbarui 30 Agu 2022, 16:22 WIB
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo mengomentari mengenai rencana harga BBM naik (dok: Dian)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Umum Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Khoiri Soetomo mengaku, pihaknya menolak rencana harga BBM naik yang saat ini diwacanakan oleh pemerintah.

"Saat ini untuk tarif angkutan penyerangan yang berlaku saja masih berada di bawah perhitungan HPP yang telah dihitung oleh pemerintah, yaitu 35,1 persen di bawah HPP. Ini yang sedang dimintakan kenaikan supaya pengusaha dapat menutup biaya operasional yang ada," ujar Khoiri saat berbincang dengan Liputan6.com di Surabaya, Selasa (30/8/2022).

Khoiri mengungkapkan, bagaimana jika nantinya BBM yang pada struktur biaya angkutan penyebrangan merupakan biaya yang terbesar, mengalami kenaikan di kisaran 40 hingga 60 persen (berdasarkan data yang berkembang di masyarakat).

"Berapa tarif yang akan dikenakan kepada masyarakat? Daya beli masyarakat saat ini hanya cukup jika tarif tersebut naik sesuai dengan permintaan kami untuk menutup kekurangan tarif yang terdahulu," ucapnya.

Khoiri mengatakan, jika memang pemerintah berkeinginan menaikkan harga BBM bersubsidi, maka pihaknya minta agar hal tersebut tidak dikenakan untuk moda transportasi laut/ penyeberangan. "Karena segmen pasar dari angkutan laut penumpang/ penyeberangan adalah masyarakat kelas bawah yang terbatas daya belinya," ujarnya.

Selain itu, lanjut Khoiri, fungsi strategis angkutan penyeberangan adalah sebagai infrastruktur di negara maritim yang seharusnya fungsi tersebut dijalankan oleh pemerintah, tetapi untuk angkutan penyeberangan, fungsi tersebut dijalankan oleh para pengusaha.

Khoiri melanjutkan, sebagai fungsi infrastruktur dan juga angkutan super massal, harusnya nilai subsidi BBM lebih besar dibandingkan dengan moda transportasi yang tidak merangkap sebagai infrastruktur.

"Apalagi jargon dari Presiden Jokowi adalah pembangunan sektor maritim. Maka Pak Jokowi wajib membaca berita ini, supaya benar-benar mengetahui kondisi yang sebenarnya," ucapnya.

 


Kuota BBM Subsidi

Suasana sepi pelanggan saat stok pertalite habis di salah satu SPBU kawasan Galur, Johar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2022). Kekosongan pertalite diduga disebabkan oleh migrasi pengguna pertamax dan BBM nonsubsidi lainnya akibat disparitas harga yang cukup tinggi. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Khoiri menyebut, saat ini kuota BBM bersubsidi berdasarkan penyaluran BBM jenis Solar secara nasional hanya 1,36 persen dari yang seharusnya kurang lebih 1,5 persen.

"Dengan kuota tersebut diharapkan tidak dilakukan pengurangan jumlahnya dan untuk nilai subsidinya juga agar menjadi perhatian pemerintah," ujarnya.

Saat ini, kata Khoiri, kondisi pengusaha angkutan penyeberangan sudah demikian memprihatinkan. Banyak yang terlambat dalam memberikan gaji karyawannya hingga perusahaannya dijual karena tidak mampu mengoperasikannya.

"Kenaikan biaya operasional yang sangat tinggi sedangkan tarifnya masih belum cukup sebagai pemicunya. Jika angkutan penyeberangan mengalami kegagalan, maka tidak bisa tergantikan dengan moda transportasi yang lainnya," ucapnya.

 


Ajukan Penyesuaian Tarif

Salah satu kapal PT ASDP Indonesia Ferry yang melayani rute Kariangau-Penajam. (Istimewa)

Saat ini Gapasdap sedang mengajukan penyesuaian tarif kepada pemerintah untuk menutup kekurangan dari perhitungan sebelumnya yaitu 35,1 persen. Sehingga harapannya dengan kesulitan operasional yang ada bisa segera direalisasikan oleh pemerintah.

"Dan jika memang pemerintah tidak ingin kenaikan tarif tersebut tidak membebani masyarakat, maka diharapkan tidak terjadi kenaikan tarif pelabuhan maupun jasa asuransi," ujar Khoiri.

Khoiri menegaskan, jika kondisi seperti ini tidak diperhatikan oleh pemerintah, pengusaha akan kesulitan memenuhi standar pelayanan minimum dan juga standar keselamatan internasional, karena yang penting kapal bisa beroperasi.

"Dan jika terjadi kecelakaan maka pemerintah juga ikuta bertanggung jawab terhadap rendahnya tarif sehingga tidak mampu untuk menutup biaya operasional," ucapnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya